Meninggal di Kapal China, Jenazah ABK Asal Sumut Hendak Dilarung
Anak buah kapal berbendera China, Riki Samosir (29) meninggal di kapal. Dua tahun bekerja di kapal dan tidak bisa memberi kabar, keluarga mendapat informasi Riki meninggal. Perusahaan sempat meminta jenazah Riki dilarung
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Setelah dua pekan meninggal di kapal berbendera China Taihong 6, jenazah Riki Ansiah Samosir (29), anak buah kapal asal Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara, itu belum juga dipulangkan. Perusahaan sempat meminta pada keluarga agar jenazah dilarung, tetapi keluarga menolak dan meminta jenazah dipulangkan.
”Sudah dua tahun Riki bekerja di kapal itu, tetapi tidak bisa memberi kabar apa pun karena tidak ada sarana komunikasi. Tiba-tiba kami mendapat kabar dari perusahaan dia sudah meninggal,” kata Yusna Samosir, kakak kandung Riki di Pematang Siantar, saat dihubungi dari Medan, Jumat (16/7/2021).
Sejauh ini perusahaan sudah berkomunikasi dengan pihak keluarga. Awalnya perusahaan meminta agar jenazah Riki dilarung. Namun, karena keluarga tidak setuju, perusahaan sepakat akan memulangkan jenazah Riki melalui Kota Batam, Kepulauan Riau.
Yusna menuturkan, keluarga pertama kali mendapat informasi Riki telah meninggal pada Selasa (29/6/2021) dari perwakilan perusahaan, Jhony Albert Situmeang. Awalnya, Jhony memberitahukan lewat telepon. Lalu ia menjelaskan kronologi mulai dari Riki sakit, penanganan yang telah dilakukan di kapal, hingga akhirnya meninggal. Ia juga mengirimkan foto-foto jenazah Riki lewat aplikasi pesan Whatsapp.
Melalui pesan itu, Jhony menjelaskan, Riki mulai sakit pada 21 Juni dengan gejala antara lain demam, sakit di dada, bengkak pada kedua kaki. Riki kemudian dikirim dari Kapal Taihong 6 menuju kapal Taixiang 11 agar dibawa ke darat untuk perawatan medis.
Kondisi Riki menurun pada Senin (28/6/2021). Ia disebut tidak bisa buang air kecil, sesak napas, dan akhirnya meninggal. ”Perwakilan perusahaan sempat menyebut kapal mereka sudah berada di Somalia lalu di Afrika. Namun, kemarin mereka menyebut sedang di perairan Singapura,” kata Yusna.
Perwakilan perusahaan menyebut mereka tidak bisa bersandar di Singapura karena pandemi Covid-19. Mereka juga tidak mau bersandar di Batam karena risiko Covid-19. Mereka pun sepakat agar jenazah Riki dijemput kapal Indonesia di perairan Batam.
Dia tidak bisa dihubungi lagi sampai akhirnya kami mendapat informasi dia meninggal. Saat ibu kami meninggal, kami juga tidak bisa memberitahunya. (Yusna Samosir)
Yusna mengatakan, Riki berangkat dari Pematang Siantar ke Jakarta pada Juni 2019 karena ada tawaran bekerja di kapal. Perusahaan penyalur tenaga kerja pertama yang merekrutnya pun tidak memberi kejelasan sehingga ia berganti perusahaan. Setelah beberapa bulan di Jakarta dan mengikuti pelatihan, ia menelepon keluarga pada Oktober 2019 dan memberitahukan akan bekerja di kapal China.
”Itu komunikasi kami terakhir. Dia tidak bisa dihubungi lagi sampai akhirnya kami mendapat informasi dia meninggal. Saat ibu kami meninggal, kami juga tidak bisa memberitahunya,” kata Yusna.
Selama bekerja di kapal, kata Yusna, keluarga dua kali mendapat kiriman uang dari perusahaan Riki, total senilai Rp 20 juta. Keluarga pun berharap agar jenazah Riki segera dipulangkan dan semua haknya dipenuhi perusahaan.
Keluarga juga tidak tahu Riki bekerja di kapal bidang apa. Keluarga juga tidak diberitahukan apa saja pekerjaan Riki sehari-hari, apa saja haknya, dan tidak diberikan akses untuk berkomunikasi.
Wali Kota Pematang Siantar Hefriansyah mengatakan, pihaknya sudah mengirim surat ke Kementerian Luar Negeri agar bisa membantu pemulangan jenazah Riki. ”Kami berupaya agar jenazah Riki tidak dilarung ke laut. Kami akan membantu proses pemulangannya,” katanya.
Dalam catatan Kompas (20/5/2020), Migrant Care-organisasi masyarakat yang mengadvokasi hak-hak pekerja-menyebut, kerentanan pekerja migran Indonesia di sektor kelautan dan perikanan bukan hal baru. Global Slavery Index yang dikeluarkan Walk Free tahun 2014-2016 (Migrant Care bagian dari inisiatif ini) juga menempatkan pekerja migran sektor kelautan dan perikanan sebagai praktik perbudakan modern yang terburuk.
Dalam pemeringkatan ini, ada ratusan ribu anak buah kapal (ABK) Indonesia di kapal-kapal penangkap ikan yang berada dalam perangkap perbudakan modern. Para ABK direnggut kebebasannya, bekerja dalam kondisi tidak layak, tidak mendapat hak atas informasi, hingga hak yang paling mendasar yakni hak hidup.