Keterisian Rumah Sakit di Jabar Turun, tetapi Kasus Aktif Masih Tinggi
Setelah sempat di atas 90 persen, keterisian tempat tidur rumah sakit untuk pasien Covid-19 di Jawa Barat turun menjadi 81,94 persen. Namun, kasus aktif atau pasien yang dirawat masih tinggi mencapai 107.580 orang.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Keterisian tempat tidur rumah sakit untuk pasien Covid-19 di Jawa Barat konsisten turun dalam beberapa hari terakhir. Namun, kasus aktif atau pasien yang menjalani perawatan masih terbilang tinggi. Warga diimbau meningkatkan protokol kesehatan untuk menekan potensi penularan.
Okupansi rumah sakit rujukan Covid-19 di Jabar mencapai 81,94 persen, Jumat (16/7/2021). Tingkat keterisian ini menjadi yang terendah dalam 29 hari terakhir. Keterisiannya sempat melonjak di atas 90 persen pada 27 Juni-5 Juli. Saat itu, sejumlah pasien Covid-19 kesulitan mendapatkan ruang perawatan di rumah sakit.
Jumlah kasus aktif di Jabar saat ini 107.580 orang. Jumlah itu bertambah 5.838 orang dibandingkan sehari sebelumnya. Jadi, penurunan okupansi rumah sakit bukan disebabkan berkurangnya pasien yang dirawat.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil menyebutkan, ada tiga strategi menurunkan keterisian rumah sakit. Pertama, memanfaatkan ruang isolasi di desa untuk orang tanpa gejala dan pasien bergejala ringan sehingga tidak perlu ke rumah sakit.
Kedua, menaikkan jatah tempat tidur pasien Covid-19. Rumah sakit diminta meningkatkan rasio hingga 60 persen. Ketiga, adalah memindahkan pasien yang sudah membaik atau hendak sembuh ke pusat pemulihan, seperti di hotel dan gedung pemerintah.
Harus bisa seperti sebelum Lebaran, di mana keterisian rumah sakit rujukan Covid-19 di bawah 30 persen. Kuncinya jaga prokes. (Ridwan Kamil)
”Harus bisa seperti sebelum Lebaran, di mana keterisian rumah sakit rujukan Covid-19 di bawah 30 persen. Kuncinya jaga prokes (protokol kesehatan),” ujarnya.
Saat Idul Fitri pada 13 Mei 2021, keterisian tempat tidur rumah sakit untuk pasien Covid-19 hanya 29,93 persen. Namun, tidak sampai 1,5 bulan berselang, keterisiannya melonjak tiga kali lipat menjadi 90,32 persen pada 26 Juni.
Lonjakan itu salah satunya disebabkan tingginya mobilitas warga pada libur Lebaran. Peningkatan kasus dipicu juga oleh Covid-19 varian Delta yang memiliki daya tular lebih tinggi.
Oleh sebab itu, penurunan mobilitas masyarakat menjadi kunci untuk mengendalikan penularan Covid-19. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat yang saat ini sedang berjalan diharapkan dapat menekan pergerakan warga.
Pekan ini, Kamil menyebutkan mobilitas warga turun 10-20 persen. Namun, angka penurunannya masih fluktuatif. Lebih dari 5.000 orang dan 130 perusahaan diberi sanksi administratif karena melanggar aturan PPKM darurat.
Hingga Jumat siang, kasus Covid-19 di Jabar berjumlah 488.686 kasus. Sebanyak 374.078 orang sembuh, 107.580 orang masih dirawat atau diisolasi, dan 7.028 orang meninggal. Mayoritas kasus tersebar di kawasan Bogor, Depok, Bekasi (Bodebek) dan Bandung Raya.
Dari 107.580 kasus aktif, lebih dari 70 persen merupakan pasien isoman (isolasi mandiri). Mereka mendapatkan bantuan obat-obatan dan layanan telekonsultasi gratis. Namun, belum semua warga yang mengajukan bantuan terlayani.
Pasien isoman perlu dipantau secara intens agar kondisi kesehatannya tidak memburuk. Apalagi, lebih dari 160 warga Jabar meninggal saat menjalani isoman.
Penasihat Senior untuk Urusan Gender dan Pemuda untuk Direktur Jenderal WHO Diah S Saminarsih menyebutkan, terdapat sejumlah faktor penyebab meninggalnya pasien isoman. Salah satunya akibat kasusnya terlambat ditemukan karena kemampuan tracing di puskesmas menurun.
”Kasus kematian dilaporkan terjadi karena penurunan saturasi mendadak saat pasien melakukan isolasi mandiri,” ujarnya.
Faktor lainnya adalah tidak segera mendapatkan pertolongan karena rumah sakit sudah penuh dan pasien terlambat datang ke fasilitas kesehatan ketika kondisinya memburuk. Ke depan, pelacakan harus ditingkatkan dengan melibatkan banyak sukarelawan.
”Lalu harus dilakukan dukungan untuk layanan terintegrasi, bukan hanya dibebankan pada puskemas. Ada aparat kewilayahan, komunitas, dan klinik swasta yang bisa bekerja sama,” ujar pendiri Centre for Indonesia\'s Strategic Development Initiatives itu.