Jerit Batin Tenaga Kesehatan Layani Pasien Covid-19
Meski lelah dan kewalahan, tenaga kesehatan tetap berupaya total melayani pasien Covid-19 demi kemanusiaan dan panggilan hati. Kepada mereka yang cuek pada Covid-19, batin mereka pun menjeritkan seruan empati.
Menjadi tenaga kesehatan demi merawat mereka yang sakit merupakan tugas mulia kemanusiaan. Di tengah pandemi Covid-19 ini, nyawa menjadi taruhannya. Profesi yang juga panggilan hati untuk melayani ini adalah ujung tombak yang rentan tertulari.
Ironisnya, ketika mereka berjuang melayani pasien yang datang bertubi-tubi, melihat kematian yang begitu dekat di depan mata, pada saat yang sama justru masih saja ada orang-orang yang tidak percaya bahwa wabah ini nyata sekaligus berbahaya. Saat itulah, batin mereka menjerit.
Virgita Nangoi (29) tidak ingat berapa pasien yang sudah dia rawat dan layani selama 9 tahun menjadi perawat di sejumlah kota. Kini, saat pandemi Covid-19 membuncah, Virgita bekerja di IGD salah satu rumah sakit swasta di Purwokerto. Ia berduka ketika ada pasien yang dirawatnya meninggal dunia.
”Sejenak duduk diem. Dapat berita duka dari (meninggalnya) orang yang bukan siapa-siapaku,” tulis Virgita di unggahan Facebook mengawali kisahnya bagaimana menerima dan merawat pasien perempuan berusia sekitar 30 tahun, tapi kemudian meninggal dunia, Rabu (14/7/2021) sore.
Baca juga : Waspadai Penularan Covid-19 pada Anak di Banyumas
Virgita mengisahkan, beberapa hari lalu ketika dirinya bertugas dinas malam, sang pasien perempuan berberat badan 90 kilogram itu datang ke IGD. Pasien diantar adik iparnya setelah beberapa hari menjalani isolasi mandiri akibat Covid-19. ”Waktu itu saturasi oksigennya 70, sesak (nafas) berat,” kata Virgita.
Namun karena kondisi ruangan yang penuh dengan pasien, si pasien perempuan ditempatkan di salah satu bilik isolasi rungan IGD. Dalam semalam, lebih dari 10 kali si pasien memanggil Virgita.
”Aku tahu dia sedang tidak baik-baik saja, gelisah, panik sampai akhirnya aku genggam tangannya dan dia gemetar kenceng. Aku lapor dokter saturasinya sudah naik dan dia dilanda kecemasan juga dengan dua anak balitanya di rumah, cemas dengan keluarganya yang isoman, cemas dengan suaminya yang masih dirawat di rumah sakit terpisah,” papar Virgita.
Baca juga : Kasus Masih Tinggi, Jalan Utama di Purwokerto Ditutup Total
Saat itu, lanjut Virigita, dalam semalam dengan kondisi lelah dan mengantuk, dirinya bolak-balik lebih dari 3 kali mengganti popok sang pasien. Ia juga memasang kateter untuk membantu pasien saat harus buang air kecil supaya tidak terlalu banyak bergerak. Malam pertama itu pun berlalu.
Aku shock dan ternyata betul… aku berpamitan dengan orang yang akan pergi selama-lamanya. Cuma mau bilang, selamat jalan ibu. Damai Tuhan bersama ibu dan keluarga. Terima kasih sudah mengizinkan saya melayani ibu dengan keterbatasan saya di akhir waktu ibu. (Virgita Nangoi)
Pada dinas malam kedua, Virgita melihat si pasien makin gelisah. Selang kateter sampai lepas dua kali. Setiap memanggil dan ditanya, di pasien hanya menangis dan berkata, ”Suster capek ya?”
Virgita pun menjawab, ”Tidak apa-apa Bu, sudah tugas saya.” Ia pun menjelaskan bahwa setiap kali dipanggil, dirinya tidak bisa segera datang karena memang kondisi ruang perawatan pasien di sana sedang penuh.
Setelah bertugas pada malam kedua itu, Virgita libur selama tiga hari untuk istirahat. Oleh karena itu, dia menyempatkan untuk menyapa sang pasien dan menyampaikan bahwa dirinya akan libur agak panjang. Ia pun berpesan sehingga si ibu bisa meminta tolong teman-teman perawat lainnya jika butuh sesuatu.
Namun, kabar mengejutkan diterima Virgita, Rabu sore. Pasien ibu-ibu itu telah mengembuskan napas terakhir.
”Aku shock dan ternyata betul… aku berpamitan dengan orang yang akan pergi selama-lamanya. Cuma mau bilang, selamat jalan ibu. Damai Tuhan bersama ibu dan keluarga. Terima kasih sudah mengizinkan saya melayani ibu dengan keterbatasan saya di akhir waktu ibu,” tutur Virgita.
Bagi Virgita, beberapa hari ini kematian seperti menjadi sangat dekat. Setiap hari, di depan mata, setiap waktu, rekan sesama tenaga kesehatan melihat orang yang sengsara berjuang sekadar untuk menarik nafas.
Perpisahan dengan pasien ibu-ibu yang bukan keluarganya itu memberikan kesan yang mendalam. ”Kesan perpisahan hari ini menggelitik hatiku yang paling dalam. Kita enggak pernah tahu kita akan selesai di mana, tapi setidaknya lakukan yang terbaik seakan besok kita akan berpulang,” ujarnya.
Kepada Kompas, Virgita berharap kisah yang dibagikan di Facebook itu bisa kian digaungkan kepada banyak orang. Ia berharap, semakin banyak orang yang menyadari bahwa virus penyebab Covid-19 ini nyata dan berbahaya. Hatinya terasa miris dan sedih ketika melihat ada orang yang tidak percaya Covid-19, menghujat, dan tidak bermasker di tempat publik.
”Satu hari aku ke toko di sekitar Grendeng (Purwokerto Utara), blas tidak ada satu pun yang memakai masker. Mau menegur, tidak enak dan malas debat. Aku cuma bisa mengelus dada. Semoga kisah ini bisa sedikit memberi pencerahan buat yang belum pecaya Covid19,” tutur Virgita.
Disambut cibiran
Jika Virgita berjuang melayani pasien yang butuh perawatan di rumah sakit, Maria Rhosari (34), tenaga kesehatan di salah satu puskesmas di Kabupaten Banyumas, berjuang sebagai ujung tombak penelusuran mereka yang kontak erat dengan pasien Covid-19. Tidak jarang cibiran diterimanya saat di lapangan.
”Sampai saat ini topiknya masih 3T: testing, tracing, treatment. Lelah? Pasti. Bosen? Ya. Dapatnya apa? Tidak jarang dimarahi, diprotes, dibilang lebay dan bahasa lain yang kalau diingat, mah, makin bikin sakit hati. Tapi ada juga pasien atau keluarga yang support, kasih doa, wejangan, semangat, dan senyum,” kata Rhosari mengawali curhatannya yang diunggah di Instagram.
Rhosari menyebutkan bahwa dirinya bersama teman-teman tenaga kesehatan lainnya bukanlah siapa-siapa. ”Kami bekerja atas dasar kemanusiaan, panggilan hati kami. Ndak perlu disanjung-puji, Kami bukan garda terdepan, haloo.. Masyarakatlah yang sebenenarnya garda terdepan, naik turunnya kasus yang kami 3T tadi semua tergantung masyarakat,” katanya.
Rhosari pun mengajak siapa pun untuk saling menjaga supaya orang-orang berkostum alat pelindung diri seperti dirinya tidak lagi berkeliaran di tengah masyarakat. ”Kan katanya kehadiran kami bikin resah, makanya dikondisikan bagaimana caranya kasus ini mereda, Covid-19 berlalu, dan kami bekerja lagi di tempat masing-masing,” katanya.
”Jangan lagi buka masker buat selfie, makan-makan di hajatan sana-sini, nongkrong habisin waktu nongki, berenang di keramaian, jelong-jelong di pertokoan. Duuh, jangan dululah please.... Tunjukkan empatinya untuk pasien maupun keluarga terdampak,” imbuh Rhosari.
Menurut Rhosari, kesabaran dan keikhlasan dibutuhkan oleh semua orang untuk dapat mengatasi pandemi ini. Ketaatan untuk disiplin protokol kesehatan dan mengikuti aturan pemerintah juga jadi kunci menyelesaikan kondisi darurat pandemi ini.
”Yang terpenting kudu berempati. Masih enggak percaya Covid-19 silakan, tapi jangan nyusahin orang lain dong ya,” ujarnya.
Perjuangan Nopi Norita (30) bidan di salah satu kelurahan di Banyumas juga total melayani kemanusiaan. Di saat dirinya terkonfirmasi positif Covid-19 dan harus menjalani isolasi mandiri, Nopi tetap melayani konsultasi secara daring terhadap pasien-pasien atau ibu hamil yang mengeluh sakit untuk segera ditindaklanjuti tim puskesmas setempat.
”Saya sempat melarang istri saya memikirkan pekerjaan karena di awal positif, dia sangat drop. Namun, ternyata dia tidak tega melihat ada pasien yang sakit dan kritis untuk dapat rujukan segera,” kata Anang Firmansyah (30), suami Nopi.
Anang mengisahkan, sang istri yang sudah bertugas menjadi bidan selama 8 tahun terakhir berupaya total melayani pasiennya. Pernah sebelum isolasi mandiri, istrinya mengunjungi rumah pasien Covid-19 karena menggantikan teman perawatnya yang sakit.
”Malam-malam saya antar pakai motor. Saya tunggu di luar, istri saya masuk pakai APD lengkap dan saya menangis mrebes mili melihatnya,” kata Anang.
Para tenaga kesehatan, seperti Virgita, Rhosari, Nopi, dan Anang, sebagai keluarga tenaga kesehatan sama-sama berharap pandemi ini segera usai. Kelelahan batin dan fisik terus dialami bertubi-tubi.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas Sadiyanto juga mengakui bahwa tenaga kesehatan sudah kelelahan dan kewalahan. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran bersama untuk taat bermasker, hindari kerumunan, rajin cuci tangan, serta kurangi mobilitas untuk memutus penularan Covid-19.
Jumlah kasus Covid-19 di Banyumas terus meningkat setiap hari. Hingga 14 Juli 2021, di Banyumas terdapat 13.717 orang terkonfirmasi positif. Dari jumlah itu, 12.382 orang sembuh, 541 orang meninggal dunia, dan 794 orang masih dirawat atau menjalani isolasi.
Data itu bukanlah sekadar angka, melainkan nyawa yang berharga karena mereka adalah sesama manusia yang sama-sama punya cerita dan cita-cita untuk menang melawan pandemi ini.