PPKM Darurat di Jawa Timur Minim Kurangi Pergerakan
PPKM darurat di Jawa Timur belum secara signifikan menekan mobilitas untuk menurunkan potensi penularan Covid-19, Situasi pandemi masih memburuk di mana ledakan kasus kembali terjadi.
Oleh
AMBROSIUS HARTO/AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat di Jawa Timur kurun waktu 3-20 Juli 2021 bertujuan menekan mobilitas untuk meredakan pandemi Covid-19. Namun, hampir dua pekan kebijakan dijalankan, pergerakan publik belum terlalu berkurang. Kontribusi terhadap penurunan kasus Covid-19 belum signifikan.
Menurut catatan Kepolisian Daerah Jawa Timur, hampir dua pekan PPKM darurat berlangsung, mobilitas publik berkurang 30 persen. Angka itu di bawah target minimal 50 persen. Idealnya, PPKM dapat menekan mobilitas 70-75 persen sehingga efektif untuk mempercepat situasi pandemi Covid-19 kembali landai dan berangsur mereda.
”Untuk itu, kami lebih tingkatkan lagi kegiatan pembatasan,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jatim Komisaris Besar Gatot Repli Handoko di Surabaya, Rabu (14/7/2021).
Dari hasil operasi penegakan disiplin protokol kesehatan hampir dua pekan ini, petugas gabungan se-Jatim telah melakukan lebih dari 1,1 juta penindakan terhadap 814.000 pelanggar.
Pelanggaran terbanyak terjadi di rumah makan (46.000 kasus) diikuti di pusat perbelanjaan (31.000 kasus), pasar (25.000 kasus), tempat ibadah (23.000 kasus), obyek wisata (16.000 kasus), dan prasarana transportasi umum, yakni terminal, stasiun, bandar udara, pelabuhan (15.000 kasus). Pelanggaran didominasi keengganan pelanggar bermasker (berpelindung diri), tidak menjaga jarak, dan melewati batas jam operasional.
Di Surabaya, ibu kota Jatim, berdasarkan analisis epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo, PPKM darurat hanya menurunkan mobilitas maksimal 15 persen. Pergerakan yang masih tinggi memicu penularan Covid-19. Penularan karena kontak dekat antarorang yang terpapar ditambah pengabaian protokol kesehatan.
Secara data, situasi pandemi kian memburuk. Dalam sehari atau situasi Rabu ini, di Jatim bertambah 6.869 kasus baru sehingga kumulatif sejak 17 Maret 2020 menjadi 210.241 kasus. Kesembuhan bertambah 1.699 orang menjadi totalnya 170.533 orang berhasil pulih.
Kematian bertambah 213 orang sehingga kumulatif menjadi 15.090 orang. Kasus aktif atau jumlah pasien dirawat bertambah 4.957 orang menjadi totalnya 24.618 orang. Tingkat kesembuhan (case recovery rate) 81,1 persen, sedangkan fatalitas (case fatality rate) 7,1 persen.
Untuk diketahui, penambahan 6.869 kasus baru itu memecahkan rekor sehari sebelumnya yang 6.269 kasus. Rekor sebelumnya lagi pada Senin lalu penambahannya 2.731 kasus. Secara statistik, tidak terbantahkan sedang terjadi ledakan kasus Covid-19 di Jatim. Kontribusi terbesar dua hari ini disumbang oleh Surabaya dengan 1.621 kasus (Selasa) dan 1.778 kasus (Rabu).
Ada korelasi antara masih tingginya mobilitas dan kenaikan kasus. Menurut Windhu, kenaikan kasus amat signifikan juga ditunjang oleh gencarnya petugas gabungan melaksanakan pengetesan, pelacakan, dan penanganan (testing, tracing, treatment atau 3T). Dari sini, jika mobilitas bisa terus ditekan, dampak penurunan kasus akan terasa setelah tiga pekan.
”Virus itu hidup dan berkembang memerlukan inang atau menginfeksi tubuh. Jika kita menekan potensi penularan dengan menahan mobilitas setinggi-tingginya, infeksi oleh virus akan terhambat,” ujar Windhu.
Untuk itu, memahami PPKM darurat, masyarakat terutama perlu secara utuh. Kebijakan bukan berarti melarang aktivitas dan ”membunuh” penghidupan. Sektor-sektor kritikal dan esensial yang menopang kehidupan masyarakat tetap diperbolehkan beraktivitas, tetapi disiplin protokol kesehatan.
Pengamatan Kompas di Surabaya, potensi penularan tetap besar ketika protokol dilanggar. Selama PPKM darurat, misalnya, usaha makan dan minum seharusnya tidak melayani konsumen untuk menikmati hidangan di tempat (dine in) alias cuma untuk dibawa pergi (take away).
Namun, sejumlah kedai kopi, warung makan, bahkan gerobak makanan minuman ada saja yang melayani makan di tempat. Padahal, sulit dipastikan diri tidak tertular ketika seseorang memaksa makan di tempat apalagi berkumpul sambil mengopi, merokok, dan sudah pasti lepas masker serta tidak jaga jarak.
Jika kita menekan potensi penularan dengan menahan mobilitas setinggi-tingginya, infeksi oleh virus akan terhambat. (Windhu Purnomo)
Secara terpisah, dosen kebijakan publik Unair, Gitadi Tegas Supramudyo mengingatkan, potensi besarnya mobilitas masyarakat kembali terjadi mendekati Idul Adha yang bertepatan dengan berakhirnya PPKM darurat pada 20 Juli 2021. Di Jatim, kalangan masyarakat menilai Idul Adha lebih agung sehingga mendorong tradisi toron atau mudik.
”PPKM darurat pada dasarnya ingin mengurangi mobilitas sehingga yang dibutuhkan dalam konteks Idul Adha adalah mengoptimalkan implementasi kebijakannya,” kata Gitadi.
Optimalisasi bisa ditempuh hingga ke komunitas warga di RT/RW atau setara Kampung Tangguh Semeru atau kampus, kantor, dan institusi. Ada seseorang yang hendak mudik, misalnya, komunitas perlu mengingatkan dan sebisa mungkin menahannya. Jika ada yang telanjur pergi untuk mudik, komunitas perlu memastikan seseorang yang datang segera memeriksakan diri, karantina, atau isolasi karena terpapar.
Di kampung-kampung, lanjut Gitadi, penutupan prasarana seperti ditempuh petugas terpadu di Jatim juga perlu dilakukan. Penutupan atau penyekatan lalu lintas di perbatasan antarprovinsi dan antardaerah kabupaten/kota sebaiknya dilengkapi dengan layanan tes cepat antigen dan tes usap PCR. Di kampung-kampung juga perlu diaktifkan lagi fasilitas isolasi mandiri bagi pemudik yang terlanjur datang dan ternyata terpapar.