Otsus Jilid II Dinilai Tak Selesaikan Pelanggaran HAM di Papua
Pemerintah melakukan pembahasan dan bersepakat meningkatkan anggaran dana otonomi khusus di Papua. Hal itu ditolak mahasiswa asal Papua. Menurut mereka, hal itu tak selesaikan masalah kemanusiaan dan pelanggaran HAM.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Badan Koordinasi Mahasiswa Papua di Kalimantan Tengah menolak pembahasan Revisi Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Bagi mereka peningkatan anggaran dana otonomi khusus tidak menyelesaikan masalah kemanusiaan di Papua.
Hal itu disampaikan Koordinator Badan Koordinasi Mahasiswa Papua (BKMP) Wilayah Kalimantan Tengah Alte Gwijangge di Palangkaraya, Rabu (14/7/2021). BKMP merupakan organisasi mahasiswa Papua yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka mencurahkan perhatian mereka pada konflik dan isu lainnya di tanah Papua.
Sebelumnya, DPR dan anggota legislatif daerah sepakat untuk meningkatkan dana otonomi khusus dengan merevisi UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Berdasarkan Pasal 34 yang direvisi, dana otsus yang sebelumnya 2 persen kini menjadi 2,25 persen dari dana alokasi umum. Namun, tidak semuanya berbentuk dana hibah seperti diatur dalam UU No 21/2001. Pencairan dana dibagi menjadi dua bagian, yakni 1 persen block grant dan 1,25 persen specific grant.
Pengawasan terhadap pengelolaan penerimaan dana otsus dilakukan secara koordinatif sesuai dengan kewenangannya oleh kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian, pemerintah daerah, DPR, DPD, Badan Pemeriksa Keuangan, dan perguruan tinggi negeri (Kompas, Selasa 13/7/2021).
Menurut Alte, penolakan tersebut bukan tanpa dasar. Hingga kini, setidaknya terdapat 110 organisasi di tanah Papua yang menolak keputusan itu karena menilai segelintir elite politik di Papua mengatasnamakan kepentingan pribadi dan kelompok bukan kepentingan masyarakat Papua.
”Pengesahan ini terlalu terburu-buru. Padahal sudah banyak penolakan tetapi tidak didengar,” kata Alte.
Menurut Alte, dalam pembahasan revisi UU Otonomi Khusus Papua Jilid II ini dilakukan tanpa melibatkan orang asli Papua (OAP), tokoh adat, tokoh pemuda, bahkan tokoh perempuan. ”Mereka harusnya ikut hadir karena ini membahas masa depan dan nasib orang Papua,” ujarnya.
Ketua Lembaga Kajian Otonomi Khusus Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Zakarias Wilil mengungkapkan, otonomi khusus sejarahnya merupakan kebijakan pemerintah pusat agar masyarakat Papua berhenti berteriak ”merdeka”, tetapi kebijakan itu justru memperparah keadaan karena menjadi salah satu lahan korupsi pejabat korup.
”Dana yang turun memang triliunan, tetapi tidak dirasakan masyarakat, kehidupan orang Papua masih menderita. Pelanggaran HAM terjadi di mana-mana, uang tidak bisa menyelesaikan masalah kemanusiaan di Papaua,” ungkap Zakarias.
Dengan komunikasi dan dialog yang baik, kami merasa pembangunan Papua ke depan akan jauh lebih baik. (Ferdinando)
Masalah kemanusiaan di Papua, lanjut Zakarias, hanya bisa selesai jika pemerintah memiliki niat dan melaksanakan penyelesaian konflik dengan membuka keran dialog bahkan dengan melibatkan tokoh-tokoh Papua yang selama ini dianggap kelompok bersenjata dan teroris.
”Penyelesaian pelanggaran HAM nomor satu, selesaikan itu dulu. Buka dialog di tengah, pasti ada jalan,” kata Zakarias.
Hal serupa juga disampaikan oleh anggota Himpunan Mahasiswa (HIMA) Papua di Kalteng, Ferdinando Tenau. Menurut dia, negara Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, tetapi dalam urusan Papua nilai tersebut hilang.
”Dengan komunikasi dan dialog yang baik, kami merasa pembangunan Papua ke depan akan jauh lebih baik,” kata Ferdinando.
Dikonfirmasi dari Papua, Wakil Ketua Pansus Otsus Papua Yan Mandenas mengatakan, agenda perubahan UU Otsus Papua adalah bagian dari kolaborasi bersama pemerintah dan DPR serta DPR Papua dalam perumusannya
Sejak pansus dibentuk, lanjut Yan, pihaknya telah melakukan konsultasi dan komunikasi publik, khususnya dengan pihak-pihak yang berkepentingan di Papua dan Papua Barat demi menampung aspirasi seluruh elemen masyarakat.
”Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri, awalnya hanya akan merevisi tiga pasal. Namun, berdasarkan masukan dan pendapat dari pansus, pemerintah menetapkan perubahan terhadap 19 pasal, yakni tiga pasal usulan pemerintah dan 16 pasal di luar usulan pemerintah,” paparnya.