Direhabilitasi di Sulut, 107 Satwa Endemik Dipulangkan ke Tanah Papua
107 satwa endemik dari Papua dan Papua Barat akan dikembalikan ke habitat alaminya setelah hampir setahun direhabilitasi di Sulawesi Utara. Hewan-hewan itu sudah dipastikan sehat.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
MANADO, KOMPAS — Sebanyak 107 satwa endemik dari Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat akan dikembalikan ke habitat alaminya setelah hampir setahun direhabilitasi di Sulawesi Utara. Hewan-hewan yang direpatriasi dari Filipina setelah dibawa oleh penyelundup tersebut telah dipastikan bebas dari penyakit sehingga aman untuk dilepasliarkan.
Melalui siaran pers, Rabu (14/7/2021), Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara Rima Christie Hutajulu mengatakan, sebagian dari 107 ekor hewan itu diselamatkan dari perdagangan satwa liar di Davao, Filipina. Satwa-satwa itu tiba di Pelabuhan Bitung pada 30 Juli 2020. Setelah itu mereka direhabilitasi di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki, Minahasa Utara.
Satwa-satwa endemik itu terdiri dari 33 ekor nuri kepala hitam (Lorius lory), 11 kakatua rawa (Cacatua sanguinea), dua kasuari gelambir tunggal (Casuarius unappendiculatus), tiga angsa boiga (Anseranas semipalmata), dan dua walabi (Macropus agilis). Kelompok ini berasal dari Provinsi Papua dan akan dikirim ke Jayapura.
Selain itu, ada pula 47 kakatua koki (Cacatua galerita), empat julang papua (Rhyticeros plicatus), dua nuri kabare (Psittrichas fulgidus), dua mambruk ubiaat (Goura cristata), dan seekor nuri kepala hitam akan dikirim ke Sorong, Papua Barat. ”Mereka akan dikembalikan ke BKSDA Papua Barat,” kata Rima.
Rima menambahkan, sembilan dari 10 jenis satwa itu termasuk kategori dilindungi. Karena itu, mereka seharusnya berada di habitatnya masing-masing untuk menjaga keseimbangan dan keanekaragaman ekosistem. ”Satwa-satwa liar itu akan dilepasliarkan di beberapa kawasan konservasi di Papua dan Papua Barat,” ujarnya.
Kepala Subdirektorat Keamanan Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Lu’lu’ Agustina mengatakan, masyarakat kerap ingin memelihara satwa liar hanya untuk kesenangan dan kebanggaan diri. Di samping itu, perdagangan satwa liar terus menggiurkan karena harga hewan-hewan endemik yang sangat tinggi berkat keunikannya.
”Satwa liar tempatnya bukan di kandang, tetapi di alam. Janganlah mereka dikerangkeng hanya untuk memuaskan hati manusia saja,” kata Lu’lu’. Ia menambahkan, Bitung masih menjadi daerah yang harus diwaspadai karena statusnya sebagai pintu masuk-keluar pelayaran di Sulut, bahkan kawasan timur Indonesia.
Sementara itu, Kepala Kantor Karantina Pertanian Manado Donni Muksydayan Saragih mengatakan, staf dokter hewan di wilayah kerja Bitung telah rutin memantau dan memeriksa kesehatan hewan di Tasikoki yang dipersiapkan untuk dipulangkan ke daerah asalnya. Ini penting dilakukan agar hewan tersebut tidak menyebarkan penyakit dari Sulut ke daerah lain.
Semua satwa tersebut rutin diperiksa fisik maupun laboratorium untuk mendeteksi beberapa penyakit, terutama rabies bagi walabi dan flu burung bagi satwa unggas. ”Kami bertugas memastikan bahwa selama proses rehabilitasi dan habituasi satwa dalam kondisi baik dan sehat,” kata Donni.
Winanda, dokter hewan PPS Tasikoki, mengatakan, selama ini satwa-satwa liar itu ditempatkan di kandang habituasi untuk mengembalikan sifat liarnya. Langkah ini dapat mengurangi interaksi satwa dengan manusia. Pelepasliaran dari Tasikoki, satu-satunya pusat rehabilitasi di kawasan timur Indonesia, hanya dilakukan setelah sifat liar hewan kembali.
”Sebelum satwa dilepasliarkan ke habitatnya, kondisinya baik secara fisik dan klinis harus dipastikan sehat. Di samping itu, lokasi pelepasliarannya harus dijamin memiliki ketersediaan pakan alami yang cukup,” kata Winanda.