Pergulatan Memakamkan Jasad Pasien Covid-19 di Surabaya
Saat sakit atau meninggal, orang yang terjangkit Covid-19 dan keluarga atau orang terdekat mereka merasakan susahnya mengakses layanan yang dibutuhkan. Lonjakan kasus membuat semua pihak kewalahan.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA
·5 menit baca
”Ini bapak napasnya sudah satu-satu. Dari kemarin sudah lapor 112 minta ambulans, sampai hari ini belum juga datang”, pesan Novi (56), ibu rumah tangga warga Medokanayu Utara, Surabaya, Kamis (8/7/2021), yang beredar di grup percakapan Whatsapp pengurus Paroki Gereja Katolik Roh Kudus Surabaya, Jawa Timur.
Beberapa saat kemudian pesan lain juga masuk. ”Maaf bu, bisa minta tolong ke mana lagi ya, ini kantong mayat sudah habis. Sementara ada 25 jenazah lagi yang belum bisa dimakamkan karena ambulans hanya 5 dari 8 unit yang beroperasi”, tulis seorang pegawai Dinas Sosial Kota Surabaya kepada Kompas, Jumat (9/7/2021).
Kabar duka akibat terjangan gelombang kedua pandemi-Covid-19 di Kota Surabaya, dua pekan terakhir benar-benar campur aduk tak menentu. Belum lagi saat bersamaan juga tengah memantau perkembangan anggota keluarga yang sedang menjalani isolasi di Hotel Asrama Haji Sukolilo.
”Hasil swab negatif, dan malam ini juga harus keluar dari sini karena antrean pasien yang terpapar Covid-19 sangat panjang”, kabar saudara dari Asrama Haji yang terbaca di layar di telepon seluler.
Dari berbagai laporan melalui 112, banyak jenazah baru dimakamkan 10 hingga 19 jam kemudian. Sekarang modin yang bertugas di pemakaman mendoakan 5-10 jenazah sekaligus.
Si pengirim pesan gembira karena bisa secepatnya menyingkir dari Asrama Haji. Meskipun ia sempat agak protes ke Pemerintah Kota Surabaya karena diminta harus pulang malam itu juga. ”Antrean mau masuk Asrama Haji sampai 50 orang, maka begitu ada penghuni yang (hasil) swab negatif secepatnya angkat kaki dari situ,” kata Wakil Sekretaris Satgas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya Irvan Widyanto.
Sampai Sabtu (10/7/2021) petang, laporan terkait penanganan pasien Covid-19 di Kota Surabaya masih mendominasi melalui 112. ”Bapaknya sudah meninggal dari kemarin, sampai sekarang belum juga ada petugas dan ambulans yang datang”, lapor Fabiola Ponto ke 112.
Selang beberapa menit, seorang dokter juga menginformasikan bahwa ada tetangganya yang kritis, tapi bala bantuan belum jua datang. ”Semua petugas sedang melayani pasien, segera kami infokan, harap bersabar,” respons dari petugas 112.
Tutik (54), warga Gunung Anyar, pada Kamis lalu sempat seharian berkeliling beberapa rumah sakit di Surabaya untuk mendapatkan tabung oksigen. ”Semua rumah sakit penuh, saya sesak napas maka terpaksa beli tabung oksigen dan isolasi mandiri di rumah. Sekarang saya dipantau secara daring oleh dokter,” kata ibu dari dua anak ini.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya Febria Rachmanita pun berusaha terus meladeni laporan butuh pertolongan pada pasien Covid-19 yang di rumah. ”Kalau semua rumah sakit penuh. Apa ada tempat isolasi mandiri selain di rumah. Pasiennya bukan warga Surabaya”, bunyi pesan dari anggota di WAG Pentahelix.
Merespons kabar itu, Febria pun langsung mengirimkan informasi terkait beberapa rumah sakit yang menyediakan layanan isolasi mandiri di rumah dengan tarif termurah Rp 8,5 juta. Pelayanan yang diklaim bisa memenuhi segala kebutuhan selama menjalani isolasi mandiri, termasuk konsultasi dokter secara rutin secara virtual.
Situasi genting
Entah sampai kapan angka kasus Covid-19 akan mereda. Situasi sekarang di Kota Surabaya benar-benar genting karena warga yang terpapar Covid-19 terus bertambah. Pemkot Surabaya mendapat bantuan pinjaman 5 ambulans untuk menambah armada yang ada. Semua kini beroperasi selama 24 jam tanpa henti. Namun, tetap saja permintaan akan ambulans tetap lebih tinggi dari yang tersedia.
Sekarang ada 11 ambulans yang dipakai untuk membawa jenazah, baik yang dibawa dari rumah maupun rumah sakit sakit ke pemakaman di TPU Keputih dan TPU Babat Jerawat. Sementara lima ambulans dioperasionalkan oleh Dinas Kesehatan Kota Surabaya khusus untuk memberikan pelayanan kepada warga yang terpapar Covid-19 di rumah.
Situasi rumah sakit di kota ini masih penuh, meski sudah menyediakan tenda pelayanan darurat. Sebagian RS bahkan hingga kini belum juga membuka pintu instalasi gawat darurat (IGD) karena kapasitasnya masih penuh terisi. Akibatnya, keluhan lambatnya penanganan pasien Covid-19 masih berseliweran di grup-grup percakapan media sosial.
Hampir semua kabar di grup percakapan berisi keprihatinan, kemarahan, penyesalan, hingga putus asa. Seolah semua kesalahan ada di pundak pemerintah, yang dinilai tak becus mengurus warga.
Rumah sakit pun menjadi bulan-bulanan karena sampai kini sulit menampung pasien baru. Saat bersamaan pula tenaga kesehatan, pengemudi ambulans, dan para personel yang terlibat dalam penanganan Covid-19 terus bertumbangan.
Pengemudi ambulans yang membawa jenazah ke TPU Keputih dan TPU Babat Jerawat kini bertugas dalam tiga sif. Dengan ambulans yang hanya 6 unit khusus untuk jenazah dari Dinas Sosial, semua petugas tetap saja keteteran. Ditambah pula sering kali kehabisan kantong jenazah.
Dari berbagai laporan melalui 112, banyak jenazah baru dimakamkan 10 hingga 19 jam kemudian. Sekarang modin yang bertugas di pemakaman mendoakan 5-10 jenazah sekaligus.
Beginilah gentingnya situasi di Kota Surabaya, ketika kian banyak warga yang terpapar Covid-19 dan lantas sebagian di antara mereka berpulang sebelum bala bantuan datang. Lebih menyedihkan lagi, harga peti mati pun menjulang, bagi warga yang meninggal bukan akibat Covid-19.
Kabarnya peti mati berapa pun jumlahnya diborong oleh pemkot, yang sejak sepekan berupaya menambah pasokan dengan membuat peti mati di belakang Balai Kota Surabaya. Angka kematian di Surabaya yang tak kurang dari 100 orang per hari yang didominasi pasien Covid-19 seolah-olah mengabarkan virus korona baru dan varian-varian anyarnya kian cepat menular.
Maka tak ayal ambulans pun terseok-seok untuk mengangkut jenazah ke pemakaman, karena armada itu menggilas jalan 24 jam penuh. Petugasnya yang bekerja secara bergantian, tetapi armadanya itu dan itu lagi. Jadi, jangan langsung mencaci Pemkot Surabaya, karena lambatnya laporan kematian lewat 112 atau Satgas Covid-19 Rukun Tetangga (RT) direspons.
Asal tahu saja, meski jenazah sudah dibawa ke TPU, tidak lantas langsung dimakamkan karena ada proses pemulasaran, yang tenaganya juga tak kenal rehat. Tukang gali kubur jumlahnya terbatas. Meskipun kini mereka juga menggunakan ekskavator mini untuk menggali liang lahat, tetapi jumlah jasad yang hendak dimakamkan tetap jauh lebih banyak dari kemampuan para tukang gali kubur ini.
Kadang iring-iringan jenazah dalam peti mati yang diangkut oleh ambulans telah tiba beberapa jam di TPU, sementara lubang kubur belum tersedia. Antrean jasad masuk ke liang lahat memang tidak terelakkan lagi.
Singkatnya, untuk dimakamkan saja, jasad dengan Covid-19 di kala pandemi gelombang kedua ini di Surabaya melewati jalan berliku dan memakan waktu berjam-jam.
Dalam situasi yang kusut ini, baik yang terjangkit maupun yang telah meninggal sama-sama menghadapi proses panjang untuk ditangani. Kiranya, siapa saja yang kini masih sehat, jaga baik-baik karunia itu dengan disiplin melaksanakan protokol kesehatan. Meminimalkan diri sendiri terinfeksi sama artinya melindungi orang lain dan bisa mengurangi potensi menambah kekusutan situasi ini.