Kasus Korupsi Pembangunan Masjid Sriwijaya Segera Disidangkan
Kejaksaan Tinggi Sumsel melimpahkan berkas kasus korupsi dana hibah pembangunan Masjid Sriwijaya, Palembang, kepada Pengadilan Negeri Palembang dengan empat terdakwa. Kerugian negara dari korupsi ini Rp 130 miliar.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan melimpahkan berkas kasus korupsi dana hibah pembangunan Masjid Sriwijaya, Palembang, kepada Pengadilan Negeri Kelas 1A Palembang, Senin (12/7/2021). Empat terdakwa segera disidangkan. Adapun dua tersangka lain masih dalam proses melengkapi data. Kerugian negara akibat korupsi ini diperkirakan mencapai Rp 130 miliar.
Kepala Seksi Penuntutan Bidang Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sumsel Muhammad Naimullah, Senin, mengatakakan, berkas perkara telah dilimpahkan ke pengadilan karena dianggap telah lengkap. Terkait jadwal sidang, pihaknya masih menunggu jadwal dari Pengadilan Negeri Palembang.
Keempat terdakwa yang dilimpahkan berkas perkaranya antara lain mantan Ketua Panitia Pembangunan Masjid Sriwijaya Palembang Eddy Hermanto dan Kuasa Kerja Sama Operasi PT Brantas Abipraya-PT Yodya Karya Dwi Kridayani. Selain itu, Ketua Panitia Divisi Lelang Syarifudin dan Project Manager PT Yodya Karya Yudi Arminto yang berperan sebagai kontraktor.
Keempatnya didakwa telah melakukan korupsi yang merugikan negara hingga Rp 130 miliar. ”Mereka dijerat dengan Pasal 2, 3, 11 dan 12 huruf B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan ancaman hukuman maksimal seumur hidup,” kata Naimullah.
Penyidikan atas kasus ini bermula dari mangkraknya pembangunan Masjid Sriwijaya yang dilakukan oleh Yayasan Wakaf Sriwijaya. Dana pembangunan berasal dari hibah Pemerintah Provinsi Sumsel tahun 2016 dan 2017 sebesar Rp 130 miliar. Namun, bangunan fisik masjid itu diduga tidak sesuai dengan anggaran proyek yang tertera.
Kejaksaan menyita banyak barang bukti milik para terdakwa, seperti rumah toko dan beberapa mobil. ”Barang bukti masih kami sita karena memang sangat banyak jumlahnya, sedangkan semua dokumen terkait barang bukti sudah dilimpahkan ke pengadilan,” ujar Naimullah.
Adapun berkas dua tersangka lain, yakni mantan Sekda Sumsel MS dan AN yang merupakan Pelaksana Tugas Kepala Biro Kesra Pemprov Sumsel, juga masih dilengkapi. ”Berkas perkara dua tersangka ini masih dilengkapi oleh penyidik,” ucapnya.
Gugatan dicabut
Tersangka MS sempat mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka yang ia sandang. Namum, permohonan itu dicabut oleh MS.
”Dengan dicabutnya gugatan dari pihak pemohon, sidang praperadilan tidak bisa dilanjutkan. Namun, jika suatu waktu pemohon akan mengajukan kembali gugatan, itu merupakan haknya,” ungkap Harun Yulianto, hakim tunggal dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Kelas 1 Palembang, Senin (12/7/2021).
Dana pembangunan berasal dari hibah Pemerintah Provinsi Sumsel tahun 2016 dan 2017 sebesar Rp 130 miliar.
Kuasa hukum MS, Sarkowi, menjelaskan, dengan dicabutnya gugatan, berakhir juga gugatan MS pada Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan. Permintaan mencabut gugatan langsung berasal dari yang bersangkutan.
”Saya hanya penerima kuasa. Jika pemilik kuasa ingin mencabut (gugatan), kami tidak bisa menolak, harus kami cabut,” ucapnya. Pihaknya juga tidak mengetahui pertimbangan pencabutan itu.
Gugatan itu didaftarkan oleh kuasa hukum pada 10 Juni 2021 lalu. Seusai gugatan dicabut, pihaknya tidak bisa lagi bergerak melakukan tindakan hukum.
Terkait sidang praperadilan, Naimullah menuturkan, pihaknya telah menyiapkan jawaban untuk gugatan yang dilayangkan. Hanya saja, gugatan tersebut batal. ”Namun, jika sewaktu-waktu tersangka mengajukan praperadilan lagi, kami sudah siap memberikan jawaban,” ucapnya.
Naimullah menegaskan, penyidik telah menjalankan semua proses, termasuk penetapan tersangka, sesuai ketentuan. ”Karena memang tidak ada hal yang ditutupi. Semua sudah sesuai ketetapan yang berlaku,” ujarnya.
Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumsel Nunik Handayani mengatakan, dana hibah memang sangat rentan diselewengkan karena penggunaannya sulit diawasi. ”Biasanya dana hibah digunakan untuk kepentingan kampanye ketika mendekati pilkada atau untuk kepentingan lain,” ujarnya.
Sebenarnya kasus dana hibah Masjid Sriwijaya ini bisa ditelusuri lebih dalam karena kemungkinan besar tidak hanya melibatkan keenam tersangka, tetapi juga bisa menyeret pejabat lain, utamanya legislatif dan eksekutif. ”Karena penggunaan dana hibah ini adalah kewenangan sepenuhnya dari kepala daerah dan juga anggota DPRD sebagai legislatif,” katanya.