Banjir Lumpur Kembali Terjang Konawe Utara, Pemkab Tetapkan Darurat Bencana
Banjir bercampur lumpur yang kembali menerjang Konawe Utara membuat sejumlah rumah rusak berat. Daerah yang dikepung pertambangan ini membuat bencana rutin menyulitkan warga.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Sejumlah wilayah di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, kembali diterjang banjir bercampur lumpur. Selain merusak rumah, banjir juga memutus akses ke sejumlah desa. Pemerintah daerah telah menerapkan status darurat bencana selama sepekan ke depan.
Sejumlah daerah di Konawe Utara tercatat masih tergenang banjir bercampur lumpur hingga Senin (12/7/2021). Sedikitnya ada lima desa terdampak di empat kecamatan di wilayah ini. Di Tapunggaya, Kecamatan Molawe, sedikitnya tiga rumah rusak berat dan puluhan rumah lainnya mengalami rusak ringan atau hanya terendam genangan air yang datang tiba-tiba.
“Kejadiannya sekitar pukul 01.30 Wita tadi malam. Air datang dari gunung dan langsung menghantam rumah warga. Satu rumah bahkan tinggal pondasi saja,” kata Didin, Sekretaris Desa Tapunggaya, saat dihubungi dari Kendari, Senin siang.
Hujan deras selama satu hari penuh, sambung Didin, memang terjadi sebelumnya. Air hujan bercampur tanah merah bekas galian tambang nikel yang banyak beroperasi di sekitar desa ini. Sedikitnya ada tiga perusahaan tambang di wilayah Tapunggaya.
Menurut Didin, puluhan warga telah mengungsi ke rumah-rumah warga yang tidak terdampak. Sebab, selain tiga rumah rusak, belasan rumah lainnya masih tergenang lumpur. Pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Konawe Utara juga telah datang untuk melakukan penanganan bencana.
“Yang jelas, banjir lumpur seperti ini bukan kali pertama terjadi. Dalam tiga tahun, sekitar empat kali banjir seperti ini. Warga juga serba salah, karena selama ini bergantung pada tambang,” kata Didin.
Bintara Pembina Desa Tapunggaya Sersan Satu Aswar menjelaskan, banjir bercampur lumpur ini diakibatkan jebolnya tampungan air sebuah perusahaan tambang. Hal ini membuat air bercampur lumpur mengalir deras dan menerjang rumah warga. Tidak hanya rumah, terang Aswar, banjir lumpur juga menimpa sebuah sekolah yang ada di desa ini.
Tapunggaya memang dikepung pertambangan nikel. Sejak masuk wilayah desa ini hingga di tepi pantai, perusahaan tambang berjejeran. Selain wilayah hutan yang terbuka, laut di wilayah ini telah memerah karena lumpur.
Kondisi yang sama terjadi di Tambakua, Kecamatan Langgikima. Wilayah ini juga mulai terendam banjir lumpur sejak dua hari lalu. Air menggenangi jalan menuju desa sehingga membuat warga sempat terisolasi.
Bupati Konawe Utara Ruksamin menyampaikan, sejumlah daerah di wilayah ini memang terendam banjir. Ada pula longsor yang terjadi di Tapunggaya. “Pemkab Konawe Utara telah menetapkan status darurat bencana banjir, longsor, serta gelombang tinggi yang berlaku satu minggu ke depan," ujarnya.
Dia menambahkan, mulai Minggu (11/7) siang, pemkab telah melakukan pemantauan di sejumlah sungai, seperti Sungai Landawe, Langgikima. Sungai itu meluap dan menyebabkan warga terisolasi.
Saat ini, tutur Ruksamin, jalan nasional Trans-Sulawesi di sekitar Langgikima tidak bisa dilalui kendaraan kecil. Hal tersebut akibat naiknya air setinggi 60 sentimeter di jalur utama logistik tersebut.
Menurut Ruksamin, banjir beserta longsor di Tapunggaya terjadi akibat kombinasi bekas galian tambang, tampungan air, dan curah hujan tinggi. Hal itu menyebabkan air menerjang dengan cepat ke permukiman warga sehingga membuat sejumlah rumah rusak.
"Kalau bicara pertambangan, itu sudah lama ada. Sekarang yang penting bagaimana melakukan penanganan kepada warga yang terdampak. Bagi mereka yang melakukan penambangan, agar menerapkan cara penambangan yang baik," ujarnya.
Masyarakat diimbau untuk terus siap siaga dan waspada terhadap potensi bahaya banjir susulan maupun bencana hidrometeorologi lain.
Sementara itu, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), selain di Tapunggaya, empat desa di tiga kecamatan juga terdampak banjir. Desa terdampak yaitu Desa Labungga dan Laronanga di Kecamatan Andowia, Desa Pondoa di Wiwirano, dan Desa Tambakua di Langgikima.
Abdul Muhari, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB dalam rilisnya menyampaikan, Desa Tambakua dan Pondoa masih terisolasi akibat banjir sampai Senin ini. BNPB masih melakukan koordinasi dengan BPBD setempat untuk mendapatkan informasi terkini terkait kondisi pascabanjir, seperti korban jiwa dan kerugian material.
“Masyarakat diimbau untuk terus siap siaga dan waspada terhadap potensi bahaya banjir susulan maupun bencana hidrometeorologi lain, seperti angin kencang dan tanah longsor,” ucapnya.
Berdasarkan analisis inaRISK BNPB, Kabupaten Konawe Utara merupakan wilayah dengan potensi bahaya banjir kategori sedang hingga tinggi. Sebanyak 10 kecamatan dengan cakupan lebih dari 19.000 hektar berada pada potensi bahaya tersebut. Kesepuluh kecamatan ini yaitu Molawe, Asera, Wiwirano, Oheo, Motui, Lasolo, Langgikima, Andowia, Lembo, dan Sawa.
Selama dua tahun terakhir, banjir bercampur lumpur terus menerjang wilayah Konawe Utara. Bahkan, pada 2019 lalu, banjir bandang menghanyutkan ratusan rumah. Kerugian akibat banjir mencapai lebih dari Rp 600 miliar. Ribuan warga bahkan hingga kini masih menetap di hunian sementara yang dibangun pemerintah.
La Ode Restele, akademisi Universitas Halu Oleo, mengatakan, banyak faktor membuat banjir kian parah. ”Banjir bandang ini akumulasi kerusakan lingkungan. Belum lagi sebagian wilayah Konawe Utara memang termasuk daerah risiko banjir tinggi,” kata peneliti risiko banjir di Konawe Utara pada 2016 ini.