Lokananta, Pasang Surut Panggung Keroncong
Lokananta adalah saksi bisu geliat musik keroncong di Surakarta, Jawa Tengah. Eksistensinya kian rapuh seiring modernisasi. Dilanda pasang surut, perusahaan itu terus mencoba beradaptasi dengan zaman.
Lokananta menjadi penyaksi pasang surut geliat musik keroncong di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Perusahaan itu terus beradaptasi menyesuaikan zaman. Berawal dari melayani rekaman musik, kini Lokananta menyewakan studio untuk pentas-pentas daring di masa pandemi Covid-19.
Lokananta merupakan perusahaan rekaman milik negara yang didirikan 29 Oktober 1956. Awalnya, perusahaan rekaman itu bernama Pabrik Piringan Hitam Lokananta Jawatan Radio Kementerian Penerangan RI. Sejak 2004, namanya berganti menjadi Perum Percetakan Negara RI (PNRI) Cabang Surakarta-Lokananta.
Raden Maladi, musisi yang terkenal dengan ciptaan lagu ”Di Bawah Sinar Bulan Purnama”, yang menggagas nama itu dengan mengambil cerita dari dunia pewayangan. Lokananta adalah gamelan bersuara merdu dari kayangan.
Bidang Pemasaran Perum PNRI Cabang Surakarta-Lokananta, Anggit Wicaksono” menyampaikan, awalnya perusahaan tersebut hanya berfokus merekam materi siaran Radio Republik Indonesia (RRI). Perekaman dilakukan pada piringan hitam. Mulai 1961, perusahaan tersebut mulai merekam dan menjual piringan hitam untuk rekaman-rekaman lagu tradisional, pop, hingga gending karawitan.
Permasalahan yang dialami Lokananta pada masa kejayaan itu adalah pembajakan. Saat itu, diduga ada tiga toko kaset, di Kota Surakarta, yang ikut membajak kaset dari Lokananta.
Dari koleksi piringan hitam Lokananta, dapat ditemukan sejumlah nama musisi keroncong legendaris asal Kota Bengawan itu, seperti Waljinah, Gesang, Anjar Any, hingga Bambang Mustari. Pada piringan hitam berukuran 12 inci, misalnya, nama Waljinah muncul pada album berjudul Katju Biru.
Nama Waljinah kembali muncul pada piringan hitam berukuran 10 inci pada album berjudul Tjempaka Putih. Ada tiga lagu yang dinyanyikannya, yakni ”Jen Ing Tawang” ciptaan Anjar Anny, ”Timbangan Tresnaku” ciptaan Bambang Mustari, dan ”Mesem” ciptaan Jusuf.
Sementara itu, Gesang ditemukan pada album piringan hitam berukuran 12 inci dengan judul Bingkisan dari Tanah Air. Gesang menciptakan lagu berjudul ”Sebelum Aku Mati” yang dinyanyikan Hadi DS dalam album tersebut. ”Sayangnya, piringan hitam koleksi ini tidak ada catatan tahun diproduksinya. Tetapi, untuk perekaman musik keroncong diperkirakan berlangsung sekitar 1960,” kata Anggit.
Lihat juga : Rekaman Sejarah di Studio Lokananta
Era kaset pita
Anggit melanjutkan, sekitar tahun 1970, produksi piringan hitam beralih ke kaset pita. Sebab, perusahaan rekaman di Jakarta dan Bandung juga sudah beralih ke media tersebut. Peminat piringan hitam juga mulai berkurang pada tahun itu. Harga piringan hitam tak terjangkau bagi kebanyakan konsumen album musik.
”Sempat dengan salah seorang kolektor, pada masa itu, satu piringan hitam bisa dapat lima kaset baru. Otomatis banyak yang beralih ke kaset,” kata Anggit.
Di era kaset pita, kata Anggit, musik keroncong masih banyak digandrungi kolektor album. Misalnya, album berjudul Enthit dari Waljinah yang dirilis pada 1971 menjadi album yang paling banyak dicari pada zamannya. Bahkan, masih diproduksi hingga sekarang meski jumlahnya tak banyak. Album keroncong lain yang juga masih dicari hingga kini adalah Bengawan Solo ciptaan Gesang.
Baca juga : Fariz RM: Piringan Hitam
Dari pendataan Lokananta, total ada 87 album kaset pita dan cakram padat bergenre gending dan keroncong sepanjang 1971-1993. Sebanyak 35 album di antaranya merupakan album keroncong, mulai dari langgam Jawa, stambul, hingga keroncong asli. Lagi-lagi nama Waljinah yang paling sering muncul dari daftar tersebut.
Anggit menyebut, masa kejayaan kaset pita terjadi pada 1980-an. Saat itu, Lokananta mampu menggandakan 100.000 kaset pita per hari. Namun, pihaknya tak bisa memastikan berapa persen kaset pita album keroncong di antara jumlah tersebut.
”Permasalahan yang dialami Lokananta pada masa kejayaan itu adalah pembajakan. Saat itu, diduga ada tiga toko kaset, di Kota Surakarta, yang ikut membajak kaset dari Lokananta. Tetapi, hasil suaranya memang jauh lebih buruk dari kualitas aslinya,” kata Anggit.
Anggit menyampaikan, harga kaset bajakan memang jauh lebih murah. Pada era 1980-an awal, satu kaset produksi Lokananta harganya setara dengan tiga kaset bajakan.
Lebih lanjut, Anggit menceritakan, aksi pembajakan sempat membuat Waljinah geram. Di akhir era 1980-an, Waljinah dapat kesempatan pentas di Surabaya. Di sela-sela aktivitasnya, Waljinah menyempatkan pergi ke sejumlah toko kaset. Ia membeli semua kaset bajakan albumnya di toko-toko tersebut.
”Beliau membeli kaset bajakan itu untuk dihancurkan sendiri. Mungkin, zaman dulu merasa sangat jengkel dengan aksi-aksi pembajakan,” tutur Anggit.
Pamor Lokananta meredup sekitar 2000. Bahkan, pada tahun 2000 muncul rencana likuidasi Lokananta. Hal ini menyusul kondisi keuangan perusahaan yang terus merugi sejak 1997. Bahkan, Lokananta sempat mengalami kesulitan ekonomi. Hal itu yang membuat perusahaan ini diambil alih Perum Percetakan Negara RI sejak 2004, hingga berubah nama menjadi Perum PNRI Cabang Surakarta-Lokananta.
Baca juga : ”Vinyl” Lagu Lawas Tanah Air Jajah Eropa
Pada masa itu, aktivitas yang dilakukan hanya memproduksi ulang kaset dan cakram padat (CD) artis tertentu yang tak berpotensi menimbulkan sengketa dengan ahli waris. Sebab, Lokananta tak mampu membayar royalti kepada artis maupun keluarganya. Produksi kasetnya pernah hanya 2.000 kaset per bulan. Berbeda jauh di era kejayaan (Kompas, 9/12/2012).
Pengelola pun mencoba beraneka ragam usaha untuk bertahan. Termasuk membuat lapangan futsal untuk disewakan. Ada juga sentra makanan berupa kafe dan warung yang buka di kawasan tersebut. Di sisi lain, Lokananta juga membuka diri untuk kunjungan wisatawan mengingat tingginya aspek historis dari tempat tersebut. Namun, hal itu kembali terhambat di tengah serangkaian pembatasan aktivitas masyarakat di masa pandemi Covid-19.
”Sebelum pandemi, ada kunjungan 150-an orang per bulan. Semasa pandemi, rata-rata tingkat kunjungan hanya 40 sampai 50-an orang per bulan. Biasanya yang berkunjung pulang dengan membeli cendera mata kami,” ujar Anggit.
Pentas daring
Anggit menambahkan, ada tren baru berupa pentas daring selama pandemi. Tren itu turut dimanfaatkan Lokananta dengan menyewakan studionya. Sejak awal pandemi, lebih kurang ada 40 acara daring yang digelar di tempat tersebut. Beberapa di antaranya pentas keroncong. Terlebih, Studio Lokananta sejak awal didesain untuk rekaman orkes keroncong maupun gamelan dengan jumlah personel banyak. Adapun ukuran studio tersebut sebesar 15 meter x 30 meter.
Salah seorang pegiat keroncong yang sempat mengadakan pentas daring di Lokananta, yakni Sruti Respati (40). Pentas diadakan akhir tahun lalu. Saat itu, Sruti mendapat hibah dana dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ia pun terpikir membuat pentas berjudul ”Tribute To A Living Legend: Waljinah”.
Protokol kesehatan ketat diterapkan selama acara. Pihaknya bahkan melakukan sterilisasi tempat dengan disinfektan sebelum konser digelar. Penampil satu dan lainnya juga diberi ruang tunggu berbeda untuk menekan interaksi dan mencegah potensi penularan virus korona baru. Acara pun digelar tertutup tanpa penonton.
Dalam acara tersebut, Waljinah bercerita tentang dirinya sembari tampil bersama sejumlah penyanyi keroncong generasi baru, seperti Endah Laras, Daniel Kristianto, Dimas Pratama, Woro Mustiko, dan Sruti Respati. Pengiringnya orkes keroncong yang biasa mengiringi Sruti, yakni Keroncongisasi.
Sruti menjelaskan, Lokananta dipilih menjadi tempat pementasan karena nilai sejarahnya sangat tinggi. Terlebih lagi, Lokananta sangat lekat dengan sosok Waljinah. Sang maestro menjadi besar setelah moncer melahirkan karya-karya keroncong dari tempat ini.
”Lokananta itu tempat yang legendaris. Tempat lahirnya para maestro seperti Bu Waljinah dan Pak Gesang. Sejarah peradaban musik Indonesia ada di sana. Kita harus selalu ingat itu,” ucap Sruti.
Baca juga : Musim Semi Piringan Hitam
Tito Setyo Budi, doktor pengkajian musik di ISI Surakarta, mengungkapkan, Lokananta punya andil besar dalam perkembangan musik keroncong. Untuk itu, tempat yang nilai sejarahnya begitu tinggi jangan sampai terabaikan. ”Kalau sampai Lokananta terabaikan, kita sebagai bangsa merugi,” kata Tito.
Ketua Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia Kota Surakarta Wartono berharap agar pemerintah terus memperhatikan keberadaan Lokananta. Jangan sampai lembaga tersebut lenyap akibat kurang terurus. Sebab, bisa jadi potongan cerita tentang sejarah perkembangan keroncong kelak hilang begitu saja.
Bagaimanapun, musik keroncong telah membuat Kota Surakarta dan Indonesia besar dan dikenal dunia. Sangat disayangkan jika ada bagian sejarah, seperti Lokananta, yang tak teperhatikan dan akhirnya lenyap.