Keroncong Tepi Bengawan, Abadi Melintasi Zaman
Surakarta adalah kutub musik keroncong Nusantara. Di kota ini, gairah genjrang-genjreng keroncongan mengakar di kampung-kampung. Bagai aliran Bengawan Solo, keroncong terus mengalir sampai jauh, melintas generasi.
Surakarta bisa disebut kutub musik keroncong Nusantara. Di kota ini, gairah genjrang-genjreng keroncongan mengakar di kampung-kampung. Bagai aliran Bengawan Solo, keroncong terus mengalir sampai jauh, melintas generasi.
Sekitar 10 remaja duduk melingkar di Balai RW 007, Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Minggu (4/7/2021). Mata mereka terpusat pada partitur di depannya, sambil bersiap memainkan alat musik masing-masing. Saat hitungan mundur sang pelatih berhenti, irama ”Gambang Semarang” pun melantun.
Alunan flute Zidan Febriansyah (18) terdengar merdu mengawali lagu. Suara flute disambut instrumen lain, mulai dari biola, cak, cuk, cello, bas, dan gitar yang kemudian melahirkan komposisi nada rancak nan harmonis. Namun, Zidan dan teman-temannya bukanlah pemusik keroncong profesional. Mereka tergabung dalam Orkes Keroncong (OK) Young Javaro, yang baru berdiri lebih kurang tiga bulan lalu.
Meski sekadar keroncong ”gadon” yang instrumennya tak lengkap, hanya cak, cuk, dan cello atau bas. Genjrang-genjreng keroncongan selalu menghiasi hari-hari di tepi kota Bengawan itu.
”Awalnya, saya hanya ingin mendalami alat musik flute. Guru les saya mengenalkan dengan keroncong dan menantang saya mengumpulkan anak-anak seumuran untuk bikin grup keroncong. Kami mulai dari nol,” ujar Zidan, yang juga pionir OK Young Javaro di sela-sela latihan.
Zidan pun tertarik lalu bergerilya mencari personel lain lewat media sosial. Lebih kurang satu bulan, terkumpul sejumlah anggota orkes dengan instrumen lengkap. ”Pertama, musik keroncong ini enak didengarkan dan enak juga dimainkan. Tetapi, yang paling penting, biar makin banyak anak-anak muda yang memainkan keroncong. Saya juga kurang tahu kenapa mudah jatuh cinta dengan musik ini,” kata Zidan seraya terkekeh.
Adalah Wawan Mustari (42), sosok guru musik yang mengenalkan Zidan kepada keroncong. Wawan sudah malang melintang dalam dunia musik keroncong sebagai praktisi. Ilmu musiknya bukan diperoleh dari bangku sekolah, melainkan lewat jatuh bangun menekuni musik keroncong.
Wawan mengaku tak menarik sepeser pun biaya melatih keroncong. Ia hanya ingin melakukan regenerasi dengan mendorong Zidan membentuk orkes keroncong berisi anak-anak muda. ”Saya ingin ada regenerasi terus terjadi di keroncong. Senang sekali melihat anak-anak muda semangat berlatih. Dalam tiga bulan saja, perkembangan mereka sudah banyak,” sanjung Wawan.
Beda dengan artis keroncong yang sudah rekaman secara profesional, grup keroncong yang tumbuh di kampung-kampung tak bisa diandalkan sebagai penghidupan utama personelnya. Namun, keberadaannya tetap menyatukan banyak orang dari beragam latar belakang. Salah satunya OK Swastika yang terbilang kelompok keroncong senior yang masih eksis. Berdiri sejak 1994, mereka sudah bongkar pasang personel karena kesibukan masing-masing.
Baca juga : Saat Publik Amerika Takjub dengan Penampilan Musisi Keroncong
Danis Sugiyanto, juru bicara OK Swastika, menuturkan, latihan mesti menyesuaikan kesibukan setiap personel yang memiliki beragam latar belakang pekerjaan. Ada yang sehari-hari pegawai kantoran, tukang parkir, seniman murni, tukang servis elektronik, hingga pengajar di perguruan tinggi. Meski punya rutinitas berbeda, mereka selalu disatukan dalam keceriaan saat berlatih keroncong.
”Keroncong itu menyatukan kita. Tetapi, untuk penghidupan belum semuanya bisa, jadi masing-masing punya jalur sendiri,” kata Danis, yang juga bekerja sebagai dosen karawitan di ISI Surakarta.
Keroncongan kampung
Danis menyatakan, keroncong mengakar kuat di tengah masyarakat Surakarta. Tak heran banyak yang menggemari musik tersebut, baik dari kalangan tua maupun muda. Bahkan, sempat ada masa di mana setiap kampung memiliki kelompok keroncong.
Musik keroncong ramai terdengar dari gang-gang sempit di tiap sudut kota. Meski sekadar keroncong ”gadon” yang instrumennya tak lengkap, hanya cak, cuk, dan cello atau bas. Genjrang-genjreng keroncongan selalu menghiasi hari-hari di tepi kota Bengawan itu.
Endah Laras (45), penyanyi keroncong asal Kota Surakarta, mengingat jelas masa itu. Ia mengenang, sekitar 1990, grup keroncong tidak hanya ada di tingkat kampung, tetapi hingga RT. ”Saya saksi hidup masa-masa kejayaan keroncong. Karena, setiap RT itu punya grup keroncong. Bahkan, ada satu RT punya dua grup,” kenang Endah.
Bagi Endah, yang termasuk generasi baru penyanyi keroncong, masyarakat Surakarta mendekap erat jenis musik ini karena membawa kehangatan dan suasana kekeluargaan. Permainannya simpel. Bahkan, bisa diwakili cukup dengan cuk, atau semacam gitar kecil tiga dawai.
Kehangatan musik keroncong turut menjadi sarana mendamaikan sanubari yang sedang bermasalah. Salah satunya dijumpai di tepi Sungai Jenes, Kampung Baron, Kelurahan Panularan, Laweyan. Di sini, kegiatan bermain keroncong atau keroncongan jadi media positif bagi remaja-remaja putus sekolah lewat bendera OK Baron Nada. Saat terbentuk pada 2016, usia personel berkisar 16-19 tahun.
”Awalnya, anak-anak itu hanya nongkrong sambil main ketipung dan kencrung setiap sore di pinggir kali. Saya ingat ada alat-alat keroncong tak terpakai di kelurahan. Saya tawarkan ke mereka mau tidak berlatih keroncong. Mereka mau dan berlatih sampai sekarang,” kata Pembina OK Baron Nada Fajar Purwadi.
Surakarta adalah benteng terakhir keroncong. Komunitasnya begitu aktif dan membuat keroncong terus hidup. (Tito Setyo Budi)
OK Baron Nada berlatih rutin setiap satu pekan sekali di teras rumah Fajar. Ia mengaku mengajak anak-anak putus sekolah membentuk grup keroncong demi menghindarkan mereka dari pengaruh negatif. Warga pun mendukung. Secara bergiliran, mereka menyumbangkan konsumsi tiap latihan. Warga yang sekadar lewat kadang menemani latihan, hingga ikut menyanyi.
Kehadiran OK Baron Nada mengobati kerinduan warga atas kehadiran orkes keroncong kampung. Sebab, era 1990-an, OK Baron Nada yang lama pernah eksis di kampung itu. Hanya personelnya berusia sepuh, hingga sekitar 1995, akhirnya tak lagi aktif.
Langgam jawa
Ketua Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia Kota Surakarta Wartono mengungkapkan, kegandrungan warga Kota Surakarta terhadap musik keroncong bukan tanpa dasar. Sebab, keroncong yang dikreasikan di kota tersebut mendapat banyak sentuhan baru bercorak langgam Jawa. Lebih-lebih, dua maestro keroncong tumbuh dan menjadi ikon kota tersebut, yakni Gesang Martohartono dan Waljinah.
Wartono mencontohkan, instrumen keroncong bisa ditemukan padanannya di gamelan. Misalnya, cello yang dimainkan dengan cara dipukul bunyinya menyerupai kendang. Lalu, cak yang dimainkan menyerupai siter, hingga cuk yang seolah menyerupai suara bonang.
Tito Setyo Budi, doktor pengkajian seni di ISI Surakarta, mengungkapkan, keroncong tidak akan pernah mati di Kota Surakarta. Bagi warga, keroncong sudah mendarah daging. Bahkan, ia menganggap, Surakarta adalah benteng terakhir keroncong. Komunitasnya begitu aktif dan membuat keroncong terus hidup. ”Pembinaan untuk generasi muda juga terus berjalan. Terbukti, selalu ada pemain-pemain musik keroncong dari generasi muda di kota ini,” kata Tito.
Tito menambahkan, pembubuhan langgam Jawa dalam keroncong khas Surakarta membuat musik tersebut kian kuat mengakar di tengah warga. Masyarakat merasa sangat memiliki dan ingin terus melestarikan warisan budaya itu.
Dalam buku Musik Keroncong: Suatu Analisis Berdasarkan Teori Musik (2006), Sunaryo Joyopuspito mencatat, akar keroncong di Indonesia berasal dari sejenis musik Portugis yang dikenal sebagai fado dan diperkenalkan para pelaut dan budak kapal niaga Portugis sekitar abad ke-16. Gesang pernah menyebut, sejak masuk ke Surakarta dan menjadi pusat pertumbuhan keroncong pada 1920-1960an, irama musik keroncong yang sebelumnya cepat, beradaptasi dengan langgam Jawa hingga melambat.
Periode ini disebut pula sebagai masa keroncong abadi. Salah satu ikonnya, tentu lagu ”Bengawan Solo” yang diciptakan Gesang pada 1940. Lagu ini bahkan sudah diterjemahkan setidaknya dalam 13 bahasa. Saat pemakaman Gesang tahun 2010, Duta Besar Jepang untuk Indonesia saat itu, Kojiro Shiojiri, menyatakan, nama Gesang dengan banyak karyanya, termasuk, ”Bengawan Solo”, sudah menyatu dengan masyarakat Jepang.
Dalam artikel bertajuk ”Sejarah Kota dalam Lirik Lagu” di Kompas.id, (26/4/2021), dosen sejarah Universitas Sanata Dharma yang juga pendiri Solo Societeit, Heri Priyatmoko, menilai, selain menenteramkan batin, lirik keroncong juga merekam sejarah pun kenangan menyenangkan dari suatu daerah. Melalui tembang-tembang keroncong, Surakarta akan terus mengabadi, seperti petikan lagu ”Kota Solo” yang dipopulerkan Mus Mulyadi berikut, ”...Kota Solo yang menjadikan kenang-kenangan/hingga dapat menghilangkan hati sedih dan duka”.
Baca juga : Sejarah Kota dalam Lirik Lagu