Dinilai Rusak Sungai, Perusahaan Sawit di Barito Timur Diminta Perbaiki
Aktivitas perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah kerap menimbulkan konflik. Kali ini, di Kabupaten Barito Timur, sebuah perusahaan perkebunan sawit dinilai merusak sempadan sungai.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — PT Sawit Graha Manunggal diberi sanksi untuk tidak beraktivitas sementara di lokasi konsesi lantaran dinilai merusak sempadan Sungai Bumut di Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah. Saat ini pihak perusahaan sedang memperbaiki kerusakan lingkungan itu dengan revegetasi atau penanaman kembali.
Wilayah sempadan Sungai Bumut dinilai oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Barito Timur rusak akibat aktivitas perusahaan perkebunan sawit pada Selasa (6/7/2021). Petugas dari kantor tersebut memeriksa kerusakan lingkungan setelah mendapatkan laporan dari warga setempat yang terdampak kerusakan sungai.
Sungai tersebut berada di Desa Saing, Kecamatan Dusun Tengah, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah. Titus Ednan, salah satu warga desa, mengungkapkan, kerusakan itu terjadi lantaran aktivitas pembukaan lahan atau alih fungsi lahan yang dilakukan PT Sawit Graha Manunggal. Selain itu, hilir mudik kendaraan perusahaan juga ikut mencemari sungai.
”Makanya kami laporkan ke DLH kabupaten agar ditindak karena itu sumber mata air warga di sini,” kata Titus.
Melihat hal itu, Kepala DLH Kabupaten Barito Timur Lurikto telah mengirim beberapa petugas untuk memeriksa langsung kerusakan. Dari hasil pemantauan lapangan itu, pihaknya mengambil kesimpulan terjadi kerusakan karena penggusuran atau pembukaan lahan. ”Memang terjadi kerusakan karena penggusuran itu,” ujarnya singkat.
Sebelumnya, Bupati Barito Timur Ampera AY Mebas menjelaskan, pihaknya mengambil tindakan tegas kepada perusahaan untuk menghentikan aktivitasnya sementara sampai lokasi yang rusak diperbaiki. Pihaknya telah mengeluarkan sanksi administrasi dan teguran kepada perusahaan.
Pemberian sanksi itu berdasarkan hasil peninjauan di lapangan. Perusahaan itu terbukti melakukan penggusuran di sempadan sungai, dan ini merusak sumber mata air. (Ampera AY Mebes)
”Pemberian sanksi itu berdasarkan hasil peninjauan di lapangan. Perusahaan itu terbukti melakukan penggusuran di sempadan sungai, dan ini merusak sumber mata air,” kata Ampera di sela-sela kegiatan HUT Ke-75 Bhayangkara di Palangkaraya, Kamis (1/7/2021).
Ampera menegaskan, penghentian aktvitas itu tidak menyeluruh ke seluruh wilayah konsesi perusahaan. PT SGM masih bisa beraktivitas di lokasi lain selain di sekitar sungai.
”Kalau sudah diminta memperbaiki tidak diindahkan, maka akan diberi sanksi yang lebih tegas hingga pengeluaran rekomendasi pencabutan izin hak guna usaha (HGU),” ungkap Ampera.
Menurut Ampera, hal seperti ini pernah terjadi beberapa tahun lalu. Bupati dua periode itu pernah mencabut izin sebuah perusahaan perkebunan sawit di Barito Timur lantaran perusahaan itu tidak mengindahkan sanksi pemerintah. ”Saya harap pihak perusahaan memerhatikan keluhan masyarakat setempat,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, staf Hubungan Masyarakat PT SGM Rico Tarigan mengungkapkan, kerusakan itu terjadi bukan karena kesengajaan. Kerusakan terjadi sepanjang 60 meter pada bagian kanan dan kiri sungai.
Ia mengakui bahwa peristiwa tersebut merupakan kesalahan atau kelalaian petugas di lapangan. Selama ini pihak perusahaan sudah menaati semua aturan dan kebijakan pemerintah termasuk menjaga sempadan sungai.
”Saat ini kami sedang melakukan penanaman kembali di lokasi sekitar sempadan. Kami menanam tanaman berkayu juga cover crop,” katanya.
Peristiwa serupa kerap terjadi di Kalimantan Tengah. Provinsi yang luasnya hampir 1,5 kali pulau Jawa itu investasinya memang didominasi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.
Manajer Program Save Our Borneo (SOB) Muhamad Habibi mengungkapkan, kasus perusakan lingkungan sawit di Kalteng terjadi hampir di setiap kabupaten. Ia mengambil contoh di Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan.
”Di sana (Seruyan) banyak sekali perusahaan sawit yang pembukaan lahannya sampai ke tepi danau dan sempadan anak sungai, tetapi belum jadi persoalan serius pemerintah,” ungkap Habibi.
Menurut Habibi, praktik perusakan lingkungan itu diatur dalam Pasal 50 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan juga pada Pasal 23 Peraturan Daerah Kalteng Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Usaha Perkebunan Berkelanjutan.
”Harus ditindak sesuai aturan perundang-undangan, jangan sampai pemerintah dan aparat hanya ’hangat’ di awal, tetapi dingin atau hilang kabar kemudian. Harus di lihat kembali perizinannya dan dihentikan aktivitasnya,” kata Habibi.