Komitmen Daerah Lindungi Hutan dan Lahan Gambut Kembali Disuarakan
Sejumlah pemerintah kabupaten berkomitmen untuk mengelola sumber daya alam yang ada di daerahnya dengan lebih bertanggung jawab dengan harapan dapat melindungi sekitar 50 persen dari total jumlah luasan hutan, gambut.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG,KOMPAS — Komitmen melindungi setidaknya 50 persen dari total luas hutan dan lahan gambut kembali disuarakan sejumlah daerah di Indonesia. Selain menjaga ekositem, perlindungan itu dilakukan untuk ikut meningkatkan kesejahteraan leih kurang 1 juta rumah tangga di kawasan itu.
Hal ini tertuang dalam Deklarasi Komitmen Gotong Royong Kabupaten Menuju Pembangunan Lestari 2030 yang dibacakan Ketua Umum Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) Dodi Reza Alex Noerdin, Senin (5/7/2021) secara daring.
LTKL merupakan asosiasi yang beranggotakan 9 kabupaten dan 6 provinsi yang bekerja sama dengan 21 jejaring mitra multipihak. Beberapa daerah yang tergabung dalam LKTL, seperti Kabupaten Musi Banyuasin, Siak, Gorontalo, Aceh Tamiang, dan Kabupaten Bone Bolango.
Dodi, Bupati Musi Banyuasin, mengatakan, anggota LKTL bertekad mendukung pemerintah pusat mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan yang berakhir pada 2030. Bentuknya melalui investasi berkualitas, ramah lingkungan, dan ramah sosial guna meningkatkan daya saing daerah tanpa merusak lingkungan.
”Jika konsep ini diterapkan, ini dapat membuka lapangan kerja dan menjaga alam agar tetap lestari. Dengan begitu, potensi bencana alam dan krisis iklim dapat diminimalisasi,” ujar Dodi.
Dodi yakin, dengan investasi yang ramah lingkungan, setidaknya 50 persen dari kawasan hutan dan lahan gambut di kawasan anggota LTKL dapat terlindungi. Saat itu terjadi, bakal ada sedikitnya 1 juta rumah tangga di kawasan tersebut bisa hidup lebih sejahtera.
Untuk mewujudkan hal itu, ujar Dodi, LKTL sudah merancang sejumlah rencana aksi yang terintegrasi sebagai wujud komitmen dalam perencanaan daerah secara berkesinambungan. Visi tersebut sudah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang-Menengah (RPJP-RPJM) Kabupaten dan Rencana Umum Penanaman Modal Kabupaten di daerah anggota LKTL.
Langkah lain, ucap Dodi, adalah menyediakan payung hukum melalui kerangka dan kebijakan setidaknya dalam lingkup pengelolaan dan perlindungan kawasan, perizinan, dan kemudahan berusaha. Anggota LKTL juga berkomitmen membangun kolaborasi bersama pemangku kepentingan agar visi tersebut terwujud.
”Butuh kolaborasi antarpihak untuk menjalankan program yang sudah dirancang,” ucap Dodi. Misalnya, mendorong sejumlah petani menanam sejumlah komoditas dengan mengedepankan hilirisasi produk.
Direktur Perencanaan, Evaluasi, dan Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri I Nyoto Suwignyo menyambut baik komitmen tersebut. Namun, dia berharap komitmen itu dapat direalisasikan melalui RPJP-RPJM kabupaten yang akan berakhir pada 2025.
”Perlu ada persiapan rancangan teknokratik yang harus dibuat, termasuk rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah yang disesuaikan dengan visi yang sudah disepakati tersebut,” ucapnya.
Penyelarasan visi ini penting, terutama dalam hal pemberian perizinan, perlindungan, pengolahan dan pemberdayaan sumber daya manusia. ”Saya yakin semua daerah sudah memiliki orientasinya sudah sama, yakni menciptakan investasi yang berkelanjutan,” ucapnya.
Nyoto juga mengingatkan agar pelibatan masyarakat dalam program ini diperkuat. Alasannya, realisasi program bisa berjalan dengan baik apabila kerja sama semua pihak. Apalagi, sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat yang memayungi hal itu.
Visi ini akan menjadi landasan yang kuat sebelum Tujuan Pembangunan Berkelanjutan akan diselesaikan pada 2030 mendatang. ”Ini menggugah adanya pemikiran bahwa ketika kita berpihak kepada alam, rakyat akan sejahtera,” ucap Nyoto.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumsel Hairul Sobri mengatakan, visi tersebut harus dilakukan konkret. Implementasinya dengan tidak memberikan izin kepada perusahaan yang terbukti merusak gambut untuk melanjutkan ekspansi konsesi usahanya.
”Setidaknya, kini ada delapan perusahaan yang ingin melakukan ekspansi di kawasan gambut dalam, bahkan yang masih menjalani tahapan restorasi,” ucapnya.
Jika izin tetap dikeluarkan, dikhawatirkan mata pencarian warga sekitar kawasan akan hilang karena kerusakan lahan gambut yang kronis. Selain kerusakan alam, akan muncul konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan.
”Biasanya warga bisa mengelola gambut secara alami. Ketika itu diserahkan kepada perusahaan, ruang masyarakat untuk memperoleh penghasilan semakin sempit,” ucap Hairul. Risiko bencana ekologis, seperti kebakaran lahan dan banjir, juga rawan terjadi.
Direktur Eksekutif Partnership for Indonesia Sustainable Agriculture Insan Syafaat mengatakan, pembangunan berkelanjutan dapat dibangun dengan mendampingi masyarakat lokal di kawasan gambut. Misalnya, dengan memberikan pelatihan dalam mengelola beberapa tanaman yang ramah gambut, seperti jengkol, jagung, nanas, kakao, atau komoditas lainnya.
”Jenis komoditas dapat disesuikan dengan 11 komoditas yang memang menjadi prioritas pengembangan oleh pemerintah sehingga tersedia wadah sekaligus pasar bagi petani,” ucapnya.