Berbagai pihak meminta tim dapat menyelesaikan konflik lahan dan dugaan pencemaran industri di Toba yang telah menimbulkan keresahan masyarakat selama bertahun-tahun.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membentuk tim khusus penyelesaian masalah hutan adat dan dugaan pencemaran limbah industri di lingkungan Danau Toba, Sumatera Utara. Tim diharapkan dapat menuntaskan konflik lahan dan dugaan pencemaran industri di sana.
Salinan SK.352/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2021 tertanggal 21 Juni 2021 yang diterima Kompas, Sabtu (3/7/2021), menyebutkan tim dibentuk dengan pertimbangan pembangunan wilayah Danau Toba adalah wilayah strategis nasional dengan fokus pada destinasi wisata (premium) dan pembangunan ketahanan pangan. Tim terdiri dari birokrat, akademisi, dan perwakilan organisasi masyarakat sipil.
Saat ini, isu penataan hutan adat serta dugaan pencemaran lingkungan di Danau Toba terjadi berlarut-larut dan kian menghangat akhir-akhir. Hal ini harus segera ditangani memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat serta mempertimbangkan hasil pengawasan dan pengaduan masyarakat.
SK yang ditandatangani Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya itu juga mencantumkan langkah kerja tim, seperti pentingnya memperhatikan aspek perlindungan ekosistem Danau Toba serta penataan kawasan hutan dan pengelolaan hutan area konsesi secara lestari.
Kondisi masyarakat hukum adat, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan industri PT Toba Pulp Lestari (TPL), hingga ketaatan terhadap perizinan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan juga harus diperhatikan.
Di lampiran SK dicantumkan 22 titik usulan hutan adat di Danau Toba. Kawasan itu tersebar di Kabupaten Simalungun, Tapanuli Utara, Toba, Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Samosir. Dengan luas kawasan 25.727 hektar, sebanyak 10.384 hektar di antaranya ada dalam konsesi PT TPL. Data diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak dan Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM).
Lampiran lain mencantumkan nama anggota tim dan langkah kerjanya. Tim bekerja selama enam bulan dan dapat diperpanjang berdasarkan evaluasi. Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono tercatat sebagai ketua tim. Namun, hingga Minggu (4/7/2021) Bambang belum menanggapi pesan yang dikirimkan Kompas.
Nama Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagiyo juga tertulis dalam lampiran. Namun, dia mengatakan belum bisa menyampaikan informasi lebih lanjut. ”Nanti mungkin ada tim khusus yang akan memberikan keterangan,” kata Henri.
Penyelesaian konflik sangat diharapkan masyarakat sekitar Danau Toba. Konflik agraria perebutan lahan adat yang tumpang tindih dengan wilayah konsesi terus mengemuka. Akibatnya, banyak warga harus berurusan dengan hukum. Isu penutupan PT TPL pun menguat di Sumut.
Konflik terjadi dengan warga Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, pertengahan Mei 2021. Selasa (29/6/2021), sejumlah warga korban konflik di Kabupaten Toba berdemo di kantor Bupati Toba meminta PT TPL ditutup.
Menanggapi demo warga, Bupati Toba Poltak Sitorus mengirimkan surat ke Kementerian KLHK terkait hal itu. Sejumlah warga bahkan berjalan kaki ke Jakarta untuk bertemu Presiden Joko Widodo meminta pemerintah menutup perusahaan bubur kertas itu.
Ketua AMAN Tano Batak Roganda Simanjuntak mengapresiasi langkah Siti Nurbaya yang hendak menyelesaikan konflik warga dengan PT TPL. Dia berharap tim dapat bekerja independen melihat persoalan yang berlarut-larut selama 30 tahun.
”Kami pantau kinerja anggota tim. Semoga ini menjadi titik awal untuk menutup TPL,” kata Roganda.
Terkait data wilayah terlibat konflik adat, Roganda mengatakan, jumlahnya berpotensi bertambah. Dia, misalnya, menerima lima wilayah adat yang berkonflik dengan perusahaan itu. ”Kami berharap tim bisa mengakomodasi data terbaru yang ada pada kami,” kata Roganda.
Sementara itu, PT TPL belum memberikan keterangan terkait hal ini. Manajer Komunikasi Perusahaan PT TPL Norma Hutajulu tidak mengangkat telepon ketika dikonfirmasi. Hingga Minggu pagi, pesan yang dikirimkan Kompas tidak dibalas. Dalam beberapa kesempatan, pihak perusahaan menyatakan menjalankan pekerjaan sesuai wilayah konsesi. Mereka menyesalkan konflik masih yang terjadi sampai saat ini.