Pengambilan Sampel PCR dengan Metode ”Gargle” Bisa Jadi Alternatif
Penelitian itu dilakukan agar ada alternatif tes usap nasofaring-orofaring (hidung-tenggorokan) yang merupakan standar utama pengujian PCR. Pengambilan sampel dengan metode ini juga akan mempermudah tes bagi anak-anak.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Tim peneliti Universitas Diponegoro bersama RS Nasional Diponegoro, RSUP Dr Kariadi, PT Biofarma, dan perusahaan rintisan Nusantics mengembangkan pengambilan sampel Covid-19 dengan metode gargle atau berkumur di rongga tenggorokan. Meski disebut memuaskan, penelitian masih berlangsung dan hasilnya belum dirilis.
Dokter spesialis patologi klinik, yang juga anggota tim peneliti, Meita Hendrianingtyas, dihubungi di Semarang, Jawa Tengah, Minggu (4/7/2021), mengatakan, penelitian itu membandingkan spesimen dari gargle (metode kumur) dengan spesimen yang diambil dengan tes usap nasofaring-orofaring, yang selama ini dilakukan untuk uji reaksi berantai polimerase (PCR).
”Dengan cairan dari kit, kita berkumur-kumur sampai tenggorokan. Selanjutnya, (sama seperti tes usap nasofaring-orofaring) dilanjutkan ekstraksi DNA dan lanjutkan ke mesin PCR,” ujar Meita. Adapun yang disiapkan oleh Nusantics adalah alat pengambilan spesimen gargle tersebut.
Meita menuturkan, penelitian yang dilakukan sejak 2020 itu terdiri dari dua tahap. Tahap pertama yakni pengambilan spesimen dari saliva atau air liur secara pasif, seperti dengan meludah. Namun, hasilnya kurang memuaskan. Setelah itu dilanjutkan tahap II dengan gargle, yang hasilnya ternyata memuaskan.
”Untuk gargle, di RSND (RS Nasional Diponegoro) ada lebih kurang 150 sampel (yang diuji coba), tetapi itu belum ditambahkan dari sampel dari RSDK (RS Dr Kariadi),” lanjut Meita, yang juga penanggung jawab penelitian dari RS Nasional Diponegoro. Kendati telah menunjukkan hasil baik, Meita belum bisa merilis data rinci karena masih menunggu hasil dari RS Kariadi.
Dokter spesialis mikrobiologi klinik yang juga penanggung jawab penelitian dari Fakultas Kedokteran Undip, Rebriarina Hapsari, menjelaskan, performa diagnostik pada pengambilan sampel dengan metode gargle menunjukkan hasil yang sangat baik. ”Lebih kurang sebanding dengan swab nasofaring,” katanya dalam telekonferensi dengan media, Sabtu (3/7/2021).
Adapun penelitian itu dilakukan agar ada alternatif tes usap nasofaring-orofaring yang merupakan standar utama atau golden standard pengujian PCR. ”Karena pada beberapa orang, swab nasofaring itu dirasa kurang nyaman. Cukup invasif dan ada yang tak bisa melakukannya, misal ada sumbatan pada hidungnya,” kata Rebriarina.
Meita menambahkan, metode tersebut juga akan memudahkan pengambilan sampel Covid-19 untuk uji PCR bagi anak-anak. Sebab, selama ini, ada kesulitan saat pengambilan sampel dengan tes usap nasofaring dan orofaring kepada anak-anak.
Metode tersebut juga akan memudahkan pengambilan sampel Covid-19 untuk uji PCR bagi anak-anak. (Meita Hendrianingtyas)
Dikutip dari Biofarma.co.id, Sabtu (3/7/2021), Biofarma bersama Nusantics telah meluncurkan secara terbatas produk Bio Saliva, yang dapat mendeteksi hingga angka cycle threshold (CT) value 40 dan diklaim memiliki performa sangat baik untuk CT di bawah 35, dengan sensitivitas hingga 93,57 persen. Adapun tes usap nasofaring-orofaring dengan PCR kit memiliki sensitivitas hingga 95 persen.
”Pastinya masih diperlukan beberapa penambahan sehingga Bio Saliva ini akan semakin sempurna. Maka, harus kita dorong percepatan penyempurnaan produk. Masukan dari berbagai pihak di tahap limited release (rilis terbatas) ini sangat membantu. Kita tidak boleh tertinggal,” ujar Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir.
Varian Delta
Rebriarina Hapsari, yang juga peneliti dari Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Undip, menuturkan, perkembangan varian Delta, termasuk di Indonesia, sangat dinamis. Dari informasi yang didapatnya dari Kemenkes, hingga Sabtu (3/7/2021), sudah ada 382 varian Delta Covid-19 di Indonesia. Menurut dia, hal ini perlu diperhatikan. Pasalnya, jumlah yang sudah terdeteksi masih sangat kecil dibandingkan dengan yang beredar.
”Varian ini tampaknya sudah mendominasi di beberapa daerah di Indonesia, khususnya kota-kota besar yang memang banyak interaksi manusia. Becermin dari India atau UK (Britania Raya), varian ini sangat cepat mendominasi dan mengalahkan varian-varian sebelumnya,” kata Rebriarina.
Ia menambahkan, masih sedikitnya varian Delta yang terdeteksi di Indonesia antara lain karena keterbatasan kemampuan whole genome sequencing (WGS) yang harganya sangat mahal. Tidak semua virus Covid-19 yang menyerang pasien diperiksa melalui WGS.