Ruang Edukasi Alam di ”Paru-paru” Kota Palembang
Menanamkan rasa cinta lingkungan kepada generasi penerus menjadi modal utama untuk melestarikan alam. Rasa itu akan kian lekat ketika proses transfer pengetahuan diterapkan langsung di ruang terbuka hijau.
Di tengah bangunan beton yang bertumbuhan di Kota Palembang, Sumatera Selatan, tersimpan ruang terbuka hijau yang terpelihara menjadi paru-paru kota. Di situ warga mendekatkan diri dan belajar pada alam.
Nurudin (32), warga Tugumulyo, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, rela menempuh jarak 120 kilometer dari rumahnya untuk sampai ke Taman Wisata Alam Punti Kayu. Taman seluas 40 hektar di tengah Kota Palembang itu menarik hatinya untuk mengajak putrinya yang masih berusia 5 tahun mengenal hutan yang sesungguhnya.
”Di sini saya bisa memperlihatkan kondisi alam kepada anak saya. Kalau di Tugumulyo, yang dilihat hanya sawah,” ucap petani itu. Selain itu, aksesnya juga mudah karena berada di tengah kota.
Suasana hutan itu begitu terasa karena sekitar 80 persen luasan TWA Punti Kayu ditumbuhi oleh pohon pinus (Pinus mercussi) dengan ketinggian hingga 20 meter. Tanaman lainnya adalah akasia (Acacia mangium), albasia (Albazia falcatari), bambu (Bambusa spp), kayu putih (Malaleuca leucadendron), mahoni (Switenia swageri), pulai (Alstonia granensis), sengon (Alstonia granensis), dan beragam tanaman buah.
Kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dibiarkan hidup liar menjelajahi hutan dan berinteraksi dengan pengunjung yang datang. Fauna lain, seperti kucing hutan, musang, dan biawak, dibiarkan berkeliaran.
Dengan interaksi itu, Nurudin berharap di dalam diri putrinya tumbuh rasa lebih menghargai alam sekitarnya. ”Ketika anak kita sudah merasakan keasrian alam, pasti mereka akan berusaha untuk menjaganya. Jangan sampai generasi muda hanya melihat bentuk satwa atau tanaman hanya dari buku saja,” ujar Nurudin sambil tetap mengawasi putrinya yang menunggangi kuda poni, salah satu hiburan yang ditawarkan di dalam TWA.
TWA Punti Kayu ditetapkan sebagai hutan konservasi (instandhouding aangewezen bosch) pada 13 Februari 1937. Setelah menjalani penataan batas pada 30 Juli 1937, areal itu ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan luas 98 hektar.
Namun, karena perkembangan kota, luasnya menyusut 50 hektar menjadi 48 hektar. Pada 1985, kawasan hutan Punti Kayu ditetapkan sebagai hutan wisata yang berfungsi sebagai paru-paru kota. Belakangan, pada 2002, seperti ditulis dalam Situs TWA Punti Katu Palembang, Menteri Kehutanan menetapkan Punti Kayu sebagai kawasan hutan konservasi dengan fungsi TWA dengan luas 39,9 hektar.
General Manager TWA Punti Kayu Raden Azka mengatakan, selain menjadi paru-paru Kota Palembang, TWA Punti Kayu juga menyediakan ruang edukasi bagi pengunjung, terutama generasi muda. Anak TK hingga peneliti datang untuk menggali ilmu tentang alam. ”Mereka tertarik karena suasana hutan ini bisa mereka temukan tidak jauh dari pusat kota,” ujar Raden.
Untuk menjaga agar kawasan ini tetap asri, hanya 10 persen atau sekitar 4 hektar kawasan yang dimanfaatkan untuk sarana rekreasi, seperti kebun binatang satwa yang tidak dilindungi, danau rekreasi, jembatan gantung, sepeda air dan perahu naga, taman bermain, patung edukasi, kolam renang, dan arena flying fox. Selebihnya dibiarkan seperti kondisi hutan alami.
Belajar di alam juga jauh lebih sehat.
Tidak hanya warga kebanyakan yang menyukai hutan di tengah kota itu, Presiden Joko Widodo pun hadir di Punti Kayu saat penyerahan secara simbolis Surat Keputusan Perhutanan Sosial seluas 56.000 hektar kepada 1.900 kepala keluarga di 10 kabupaten di Sumatera Selatan, November 2018.
Sekolah alam
Jika Nurudin mengajak putrinya belajar tentang alam dengan mengajaknya jalan-jalan, Abdurrahman (15) secara khusus belajar mengenal alam di Sekolah Alam Palembang di Jalan Gubernur HA Bastari, Kecamatan Seberang Ulu I Palembang. Siswa kelas IX itu tertarik bersekolah alam karena sekolah menawarkan konsep pembelajaran yang berbeda dari sekolah biasa.
”Saya serasa ada di alam bebas dan tidak terkungkung oleh tingginya bangunan,” ucap Abdurrahman yang sebelumnya mengenyam pendidikan di sekolah reguler.
Baca Juga: Menjaga Anak Muda Palembang dari Amnesia Sejarah
Di sekolah alam, ia belajar bagaimana membudidayakan tanaman hidroponik, belajar mengelola sampah, berkuda, dan berolahraga di hamparan lahan yang luas. Itu berbeda dengan sekolah reguler yang proses belajarnya lebih banyak di kelas. ”Selain itu, kami diajari untuk menjaga lingkungan agar tetap bersih dan terbiasa berpikir kreatif,” ujar Abdurrahman yang bercita-cita menjadi tentara.
Sekolah dibangun di atas lahan seluas 1,3 hektar yang sebagian besar masih berupa hamparan hijau disokong dengan beragam jenis pepohonan pelindung, seperti akasia, pule, dan tembesu.
Sebanyak 15 ruang kelas dibangun dari kayu, bentuknya rumah limas sehingga membuat nuansa alam di lingkungan sekolah terasa kian kental. Satu kelas hanya diisi 12-15 siswa agar tidak padat. Selama pandemi Covid-19, sekolah tetap berjalan seperti biasa, tetapi kegiatan lebih banyak dilakukan di luar kelas.
Irfan Zaki (41), orangtua siswa, mengatakan lebih tertarik menyekolahkan anaknya di sekolah alam agar pola pikir anaknya berkembang. Suasana alam yang asri akan menstimulasi anaknya untuk lebih berpikir lebih luas dan natural.
”Di sini mereka bisa bermain sambil belajar dan dapat berinteraksi secara leluasa,” ucapnya.
Niat Irfan menyekolahkan anaknya ke sekolah alam tidak lepas dari situasi pandemi saat sebagian besar sekolah memutuskan untuk belajar secara daring. ”Belajar daring tentu hasilnya tidak akan optimal,” ucapnya.
Karena itu, ia mengalihkan anaknya belajar di sekolah alam yang memang sejak awal tetap membuka sekolah. ”Saya yakin, dengan belajar di ruang terbuka, kemungkinan anak tertular Covid-19 akan lebih kecil,” tuturnya.
Baca Juga: Lahan Kritis di Sumsel Capai 700.000 hektar
Pemilik Yayasan Sekolah Alam Palembang Yuwono mengatakan, ketika didirikan pada 5 Juli 2005, sekolah alam memiliki konsep belajar menyatu dengan alam. ”Kami memberi pengetahuan bagaimana bisa memanfaatkan apa pun di alam, baik di gunung, hutan, maupun di kota besar,” ucap Yuwono.
Konsep tersebut ia peroleh saat menyekolahkan anaknya di sekolah alam yang ada di Bandung, Jawa Barat, milik Lendo Novo. ”Karena sekolah alam belum ada di Palembang, saya memutuskan membukanya pada 2005,” ujar Yuwono.
Di sekolah siswa juga diajarkan bagaimana bisa membuat solar cell, mengubah sampah menjadi bahan bakar, atau bahkan bisa menjual barang yang awalnya tidak berguna menjadi benilai jual tinggi. ”Karena kami berpegang bahwa nature will find a way (alam akan menemukan jalannya),” kata Yuwono.
Pakar mikrobiologi dari Universitas Sriwijaya itu menyatakan, belajar di alam juga jauh lebih sehat. Ia tidak pernah menutup sekolah walaupun Palembang masih berstatus zona merah.
Itu karena proses belajar dilakukan di ruang terbuka dengan sirkulasi udara yang baik, ruang yang luas, dan paparan sinar matahari yang cukup. Namun, hanya siswa atau guru yang sehat yang boleh melakukan aktivitas di sekolah. Guru atau siswa yang sakit diinstruksikan untuk tetap tinggal di rumah.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan Rakyat, dan Kawasan Permukiman Kota PalembangAffan Prapanca Mahali mengatakan, selain menjadi tempat rekreasi, ruang terbuka hijau bisa digunakan sebagai sarana edukasi. Hal itu tekah dilakukan sejumlah komunitas di Taman Kambang Iwak atau Taman Jakabaring. Karena itu, RTH yang ada harus terus dijaga agar warga dapat memanfaatkannya.
Menurut pengamat perkotaan Universitas Indo Global Mandiri, Bambang Wicaksono, setiap orangtua perlu mengajarkan kepada anak betapa pentingnya menghargai dan merawat alam, terutama ruang terbuka hijau. ”Kita masih bisa bernapas saat ini karena masih adanya sisa-sisa ruang terbuka hijau di Palembang. Jika semua sudah dirampas, mungkin kita akan kesulitan bernapas,” ucapnya.
Di sisi lain pemerintah juga perlu melakukan pemetaan secara terperinci agar kawasan hijau yang tersisa di Kota Palembang bisa tetap terjaga. Masyarakat pun harus diberikan edukasi agar kesadaran untuk menjaga alam sudah tertanam dari ruang terkecil, yakni rumah tinggal.
”Jangan menutup lahan hijau dengan semen, tetapi coba menanam tanaman pelindung yang bisa memberikan keteduhan di sekitar rumah,” ujarnya.
Kepedulian kepada alam menjadi nilai penting yang harus diwariskan kepada generasi muda. Dengan demikian, alam yang asri dapat terus memberikan manfaat bagi manusia.