Jangan Biarkan Ruang Hijau di Palembang Tinggal Kenangan
Dengan luas wilayah sekitar 40.000 hektar, setidaknya 10.756 hektar lahan yang ada di Palembang harus dialokasikan untuk ruang terbuka hijau. Nyatanya, luas RTH di Palembang kini hanya sekitar 3.645 hektar.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
Meskipun memiliki 200 titik taman, juga Taman Wisata Alam Punti Kayu di tengah kota seluas 40 hektar, ruang terbuka hijau sejatinya kian minim di Palembang, Sumatera Selatan. Ruang terbuka hijau hanya tersisa sekitar 10 persen dari luas wilayah. Perubahan paradigma tentang kelestarian ruang terbuka hijau menjadi krusial.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang mengatur setiap kota dan kabupaten di Indonesia wajib memiliki ruang terbuka hijau atau RTH minimal 30 persen dari luas kota. Dengan luas wilayah sekitar 40.000 hektar, setidaknya 10.756 hektar lahan yang ada di Palembang seharusnya dialokasikan untuk RTH.
”Nyatanya, luas RTH di Palembang kini hanya sekitar 3.645 hektar atau mungkin sudah kurang dari itu. Luasan RTH sangat jauh dari ideal, yakni hanya sekitar 10 persen,” ucap Direktur Ekeskutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan Hairul Sobri.
Pembangunan yang masif di Palembang membuat RTH semakin berkurang. Jika saja pemerintah tetap mengacu pada rencana tata ruang wilayah (RTRW), kondisi ruang terbuka hijau di Palembang tidak akan tergerus.
”Masalahnya, RTRW ini terus disesuaikan untuk kepentingan bisnis. RTRW disesuaikan dengan kepentingan pengusaha. Semua bertujuan untuk menambah pundi-pundi di APBD,” ujar Hairul.
Aklibatnya, banyak kawasan rawa yang sudah ditetapkan untuk kawasan RTH harus tergerus menjadi perumahan atau mal. Salah satunya kawasan rawa di Jakabaring. Areal yang dulunya disediakan untuk daerah serapan air dalam perkembangannya ditimbun secara besar-besaran untuk dijadikan pusat perbelanjaan, perumahan, dan rumah sakit.
Pantauan Kompas melalui aplikasi Google Earth memperlihatkan semakin berkurangnya kawasan hijau di Palembang, terutama di kawasan tengah kota, dalam rentang waktu 2001-2021. Semua kawasan yang dulunya RTH sudah berubah fungsi menjadi pusat perbelanjaan dan perumahan. Jika alih fungsi ini terus dibiarkan, dikhawatirkan akan berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem dan berpotensi menciptakan beragam bencana ekologis, seperti banjir dan kekeringan.
Pengamat Perkotaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang, Bambang Wicaksono, mengatakan, tergerusnya RTH di Palembang tidak lepas dari kebutuhan hidup manusia yang terus meningkat. ”Bumi kita tetap, tetapi jumlah penduduk terus bertambah,” ucapnya.
Belum lagi banyak warga yang menganggap bahwa ruang tertutup berupa bangunan lebih bermanfaat dibandingkan dengan membiarkan ruang tersebut kosong. Ia melihat ada kecenderungan ruang terbuka yang wajib disediakan malah dicor untuk kepentingan lain, misalnya untuk parkir.
Keberadaan RTH sejatinya memiliki banyak manfaat. Selain bisa menurunkan suhu perkotaan dengan adanya banyak pohon peneduh, RTH juga menjadi area resapan air yang berfungsi untuk menyediakan air bersih dan meminimalkan risiko banjir. RTH juga dapat menjaga keberlangsungan ekosistem antara satwa, tanaman, dan manusia.
”Udara dan air bersih akan terus ada ketika RTH di kota itu terjaga,” ucapnya.
Di situasi pandemi seperti ini, udara yang bersih sangat dibutuhkan warga. Pakar mikrobiologi Universitas Sriwijaya, Yuwono, mengatakan, keberadaan udara bersih di ruang terbuka memperkecil memungkinan warga tertular virus Covid-19. ”Sepanjang kita sehat dan imun kita kuat, kemungkinan penularan virus sangat kecil,” ucapnya.
Keberadaan udara bersih di ruang terbuka memperkecil memungkinan warga tertular virus Covid-19.
Oleh karena itu, Pemerintah Kota Palembang harus tegas dalam mempertahankan RTH. Bambang mencontohkan, pemkot bisa melakukannya dengan mempertegas garis sempadan sungai (GSS) dan garis sempadan bangunan (GSB), membangun garis sempadan di sejumlah sarana infrastruktur dan taman kota.
Pemerintah juga harus tetap mengacu pada RTRW dalam memberikan izin pembangunan. Yang paling penting adalah melakukan pemetaan untuk menjaga RTH yang tersisa agar tidak lagi tergerus oleh masifnya pembangunan kota.
Bambang yang juga berprofesi sebagai arsitek ini menyarankan para arsitek perlu mulai beralih pada arsitektur hijau yang identik dengan arsitektur berkelanjutan untuk meminimalikan dampak negatif rancang bangun terhadap alam dan lingkungannnya.
Alih fungsi rawa menjadi nonrawa di Palembang sudah melampaui batas. Belum lagi penimbunan yang tidak berizin yang luasannya kecil-kecil.
Pengamat Lingkungan Universitas Sriwijaya, Edward Saleh, berharap pemerintah memiliki solusi jangka pendek dan jangka panjang dalam menuntaskan permasalahan alih fungsi lahan hijau. Dia menyarankan, solusi jangka pendek berupa penghentian berbagai macam bentuk alih fungsi lahan, terutama lahan rawa. Tidak ada lagi penimbunan untuk pembangunan perumahan atau sekadar lahan parkir.
”Alih fungsi rawa menjadi nonrawa di Palembang sudah melampaui batas. Belum lagi penimbunan yang tidak berizin yang luasannya kecil-kecil,” katanya.
Edward pun mengusulkan agar sistem pembangunan perumahan dilakukan dengan sistem polder, yakni menjaga tata kelola air agar tidak terjadi banjir. ”Segala bentuk pembangunan harus berorientasi konservasi rawa, bukan sebaliknya menghilangkan rawa,” ujarnya.
Belum memadai
Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Kota Palembang Affan Prapanca Mahali mengakui saat ini RTH di Palembang belum memadai, masih sekitar 12 persen. Meski demikian, ada beberapa RTH yang tidak terhitung, terutama yang ada di dalam kawasan sektor privat.
Dalam pembangunan sebuah kota, setiap pemangku kepentingan memiliki kewajiban untuk mempertahankan 30 persen RTH. Namun, menurut Affan, ada pembagian tanggung jawab. Sebanyak 20 persen merupakan tanggung jawab pemerintah, sedangkan sisanya adalah tanggung jawab sektor privat.
Ke depan, ujar Affan, pihaknya akan berupaya meningkatkan lagi ruang terbuka hijau dengan di daerah yang masih memiliki banyak ruang. ”Kami berharap pada 2025 RTH di Palembang dapat meningkat menjadi 14,5 persen.”
Peneliti dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan, Retno Purwanti, berharap pemerintah dapat meneladani kehidupan pemimpin masa lampau yang menghargai alam dalam membangun wilayah kekuasaannya. Seperti pendiri Sriwijaya, Dapunta Hyang Sri Jayanasa, yang membangun Taman Sriksetra bagi para warga atau biksu yang singgah di sana untuk memperoleh ketenangan. Sebuah taman yang dianalogikan sebagai bagian dari surga.
Dapunta Hyang tidak merusak alam, tetapi memanfaatkannya dengan teknologi tertentu yang tidak merusak sebagai sarana transportasi dan mengelola tata air agar tidak terjadi banjir dan kekeringan. ”Pelajaran dari masa lalu diharapkan bisa menjadi bekal berharga bagi pemimpin masa depan,” ujar Retno.