Ceria Kambang Iwak dan Sriksetra di Palembang Sejak Zaman Sriwijaya
Bagi warga Palembang, taman bukan sekadar tempat bersantai, melainkan juga menjadi identitas dan perwajahan kota. Hubungan antarkeduanya sudah terjalin erat, bahkan sejak zaman Kerajaan Sriwijaya.
Bagi warga Palembang, taman bukan sekadar tempat untuk bersantai, melainkan juga menjadi identitas dan perwajahan kota. Terlebih kini, ruang terbuka hijau yang luas menjadi oase warga yang penat di tengah pandemi.
Firmansyah Putra (34), warga Kertapati, Palembang, Sumatera Selatan, mengajak istri dan tiga anaknya berekreasi di Taman Kota Kambang Iwak, Minggu (13/6/2021). Ini adalah kali pertama Firmasyah datang lagi ke taman itu sejak pandemi Covid-19 melanda Palembang pada Maret 2020.
Di awal pandemi, dia tidak berani keluar rumah karena situasi Palembang mengkhawatirkan. Satu tahun berselang, dia memutuskan kembali datang ke taman kota, menyegarkan pikirannya yang penat karena terlalu lama berdiam di rumah.
Seakan lepas dari kungkungan, anak Firmansyah terus berlarian di tengah taman kota mencoba segala macam permainan yang tersedia, seperti perosotan, ayunan, dan mobil-mobilan.
Bagi Firmansyah, berlibur di taman kota menjadi pilihan selama pandemi karena taman ini menawarkan keasrian kota tanpa harus khawatir kantong jebol. Selain sehat dan bisa menjaga jarak, dia hanya perlu mengeluarkan uang Rp 100.000. Berbeda jika berjalan-jalan di ke mal, ia bisa menghabiskan Rp 300.000.
Selain aneka permainan anak, tersedia pondokan dan kursi untuk bersantai. Situasi inilah yang membuat Firmansyah tidak pernah bisa melupakan taman seluas 5 hektar yang sudah ada sejak masa kolonial Belanda itu. ”Sejak saya pacaran dengan istri sekitar 13 tahun lalu, saya sudah main ke sini,” ujar Firmasyah sembari tertawa.
Keindahan taman semakin terpancar dengan adanya danau buatan yang berfungsi sebagai kolam retensi sehingga ketika hujan mengguyur daerah ini tidak tergenang banjir.
Rudi Yanto (40), karyawan swasta di Palembang, misalnya, memanfaatkan jalur joging sejauh 800 meter di Taman Kambang Iwak untuk berlari sore. ”Biasanya saya bisa berlari sampai empat putaran. Lumayan untuk jaga kesehatan,” ucap Rudi. Udara yang sejuk diselingi angin sepoi-sepoi membuat rasa capek di badan hilang seketika. Selepas joging, bapak tiga anak itu justru merasa lebih bugar.
Taman yang berada di persimpangan Jalan Tasik dan Jalan Sutomo ini kerap dikunjungi warga untuk sekadar berteduh atau berolahraga. Setiap sore atau di akhir pekan, kawasan ini tidak pernah sepi. Ada saja aktivitas di sana seperti olahraga mulai dari joging berkeliling danau, bersepeda, hingga aktivitas para ”anak nongkrong” atau komunitas, tentu dengan menerapkan protokol kesehatan.
Komunitas Satwa Sumatera Selatan juga mejadikan taman itu sebagai tempat berkumpul. Saat berkumpul, mereka juga membawa serta satwa peliharaan, seperti ular piton albino, musang akar, biawak afrika, sugar glider, dan iguana.
Baca Juga: Geliat Budak ”Mudo Palembang” Menjaga Akarnya
Selain untuk bersilaturahmi dengan anggota sesama komunitas, mereka juga memberikan penjelasan bagi pengunjung yang penasaran tentang satwa yang mereka bawa.
Ketua Komunitas Satwa Sumatera Selatan Andrienta mengatakan, sebenarnya komunitas ini selalu berkeliling ke setiap taman kota yang ada di Palembang. Hanya saja, sejak pandemi, tidak semua taman dibuka. ”Itulah sebabnya kami lebih sering berkumpul di Taman Kota Kambang Iwak,” ucapnya.
Menurut Andrienta, taman ini merupakan tempat yang tepat untuk memberikan edukasi kepada masyarakat kota Palembang untuk lebih mencintai satwa. ”Ketika pengunjung kenal dengan satwa, pasti mereka akan melindunginya,” ucap Andrienta.
Nilai ekonomi
Di sudut taman yang lain banyak pelaku usaha yang mengais peluang di taman kota, baik menjual beragam kuliner atau jajanan pinggir jalan maupun aneka permainan yang memikat hati pengunjung anak-anak.
Hidayat (23), misalnya, sejak sembilan tahun lalu membuka lapak mewarnai di sekitar Taman Kambang Iwak. Dengan gabus bergambarkan tokoh kartun yang disokong kayu bekas disertai kuas dan cat warna, Hidayat menawarkan jasa mewarnai kepada orantua yang membawa anak-anaknya.
Untuk mendapatkan satu gambar, pengunjung cukup membayar Rp 10.000. Antusiasme masyarakat menggunakan jasanya cukup tinggi. Bahkan, sebelum pandemi merebak, Hidayat bisa meraup omzet hingga Rp 1 juta per hari. Kini, pendapatan menurun hingga 50 persen.
Penurunan omzet itu karena banyak kegiatan yang ditiadakan karena adanya pembatasan mobilitas. Namun, Hidayat bersyukur saat ini kegiatan di taman kota ini tidak mati.
Baca Juga: Membangkitkan Lagi Metropolitan Palembang
Peneliti dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan, Retno Purwanti, menjelaskan kawasan Kambang Iwak telah dibangun sejak masa kolonial Belanda. Awalnya kawasan Kambang Iwak digunakan sebagai sebagai kolam retensi guna mencegah banjir akibat adanya proyek penimbunan sungai untuk dijadikan jalan darat. Sungai yang dimaksud adalah Sungai Tengkuruk yang ditimbun menjadi Jalan Sudirman.
Pembangunan kolam retensi di kawasan Kambang Iwak menjadi bagian dari pengembangan real estate Talang Semut. Kala itu, kawasan talang semut menjadi tempat bermukim para pejabat kota Palembang dan warga Eropa. Namun, lambat laun, Kambang Iwak ini juga digunakan untuk tempat rekreasi bagi warga kota Palembang.
Pengamat Perkotaan dari Universitas Indo Global Mandiri Palembang, Bambang Wicaksono, mengatakan, kawasan Talang Semut sebenarnya bisa dijadikan contoh pembangunan kawasan ideal yang mengedepankan ruang terbuka hijau (RTH) secara benar, baik dari sisi komposisi maupun penataan ruang.
Di kawasan hasil rancangan perencana wilayah permukiman asal Belanda, Herman Thomas Karsten, itu, RTH di halaman depan rumah dan banyaknya pohon-pohon peneduh di sepanjang jalan dikedepankan. ”Jika konsep ini diterapkan di seluruh Palembang, tentu kota ini tidak akan gersang,” ucapnya.
Contoh lain adalah di kawasan Bagus Kuning Plaju yang juga masih mempertahankan komposisi RTH secara benar.
Namun, kini keberadaan RTH tergerus oleh beragam kepentingan karena banyak yang mengubahnya menjadi ruang terbuka nonhijau, misalnya mejadikan itu sebagai tempat parkir dan hanya menempatkan ruang hijau di sejumput tanah di sudut ruang terbuka. ”Pemikiran inilah yang lumrah terjadi di masyarakat Kota Palembang saat ini,” katanya.
Menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Kota PalembangAffan Prapanca Mahali, terdapat sekitar 200 titik taman kota di Palembang yang dikelola pemerintah dan swasta, misalnya taman yang ada di kawasan perumahan. Luasannya beraneka ragam mulai dari 100 meter sampai 5 hektar.
RTH juga memanfaarkan median jalan, seperti di bawah lintasan kereta api ringan (light rail transit/LRT) Palembang sejauh 24 kilometer (km). Median jalan itu ditanami beragam tanaman hias berwarna-warni yang dibangun untuk memperindah Kota Palembang saat perhelatan Asian Games pada 2018.
Menurut Affan pembuatan taman kota baru terkendala lahan yang terbatas. ”Untuk membuat taman kota seperti Kambang Iwak di tengah kota sangat sulit dilakukan karena memang lahan yang sangat terbatas, terkecuali jika itu diterapkan di kawasan pinggir kota,” ujar Affan.
Beberapa daerah yang masih memiliki lahan yang luas antara lain Gandus, Kenten, dan kawasan lingkar luar kota Palembang. ”Di sana masih ada ruang yang cukup, baik di bahu jalan maupun di median jalan,” katanya.
Namun, yang paling penting, kata dia, bukan hanya menambah taman kota, melainkan menanamkan kesadaran di masyarakat untuk menjaga taman kota yang sudah ada. Sebab, biaya perawatan taman kota mencapai sekitar Rp 8 miliar per tahun. ”Jangan sampai taman kota yang sudah ada rusak oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab,” kata Affan.
Taman Sriksetra
Sejak ribuan tahun lalu, Palembang sebenarnya sudah memiliki taman yang asri dengan beragam tanaman pangan di dalamnya dan disokong teknologi yang mempuni pada masanya. Kisah taman itu tertulis di Prasasti Talang Tuwo yang ditemukan pada 1920.
Dalam prasasti yang ditulis dengan huruf Pallawa berbahasa Melayu Kuno itu dijelaskan adanya Taman Sriksetra di Talang Tuwo yang berdiri di zaman Kedatuan Sriwijaya pada 684 Masehi. Taman ditumbuhi beragam tanaman pangan khas gambut yang dapat dimanfaatkan oleh orang yang singgah di sana. ”Taman itu dimanfaatkan oleh segala mahluk,” ucap Retno.
Pada zaman itu taman dimanfaatkan sebagai tempat menenangkan diri. Letaknya yang jauh dari pusat kota membuat di dalam taman disediakan aneka macam kebutuhan pengunjung sehingga mereka tidak perlu pergi jauh ke pusat kota untuk memenuhi kebutuhannya.
Taman juga memiliki rancang bangun berteknologi tinggi dengan adanya kanal, kolam, telaga, dan parit. Teknologi ini digunakan agar, ketika hujan mengguyur, kota tidak banjir dan ketika kemarau Palembang tidak kering.
”Dari sini kita bisa memetik pelajaran bahwa pembangunan kota harus mengacu pada kesejahteraan rakyatnya dan kelestarian lingkungan,” ucap Retno. Termasuk memberikan taman yang nyaman bagi warganya.