Progresivitas ”Dalang Setan” dan Warisan Ilmu Ki Manteb
Ki Manteb Soedharsono sudah malang melintang dalam dunia pedalangan di Indonesia. Pemikiran yang progresif dan enteng berbagi ilmu menjadi dua hal yang melekat padanya. Ia berpulang pada usia 72 tahun, Jumat (2/7/2021).
Maestro dalang Ki Manteb Soedharsono, yang berpulang dalam usia 72 tahun, Jumat (2/7/2021), meninggalkan warisan berharga dalam jagat pedalangan Nusantara. Selain kelincahan tangan dalam olah sabet wayang hingga mendapat julukan ”dalang setan”, kesenian ini berkembang pesat berkat pemikiran progresif Ki Manteb.
Bentuk pemikiran progresif Ki Manteb tertuang dalam wawancara khusus dengan Kompas yang terbit pada 16 Oktober 1994. Pada kesempatan itu, Ki Manteb berujar selalu berupaya menampilkan kebaruan dalam pergelarannya. Baik dalam hal sanggit, alur cerita, maupun instrumen musik.
”Saya selalu berusaha menampilkan yang baru. Sanggitnya juga baru. Misalnya, wayang dengan teknik flashback seperti film. Ada tambahan trompet sampai ke drum segala,” kata Ki Manteb.
Baca juga: Dunia Pedalangan Berduka, Ki Manteb Soedharsono Berpulang
Lalu, sempat sekali waktu Ki Manteb ”memelintir” kisah tentang Dewi Shinta. Menurut pakem, dalam kisah Ramayana, Dewi Shinta dibakar atas inisiatif Prabu Rama Wijaya. Tetapi, Ki Manteb punya pandangan berbeda. Shinta dibakar atas permintaan diri sendiri.
”Saya tidak yakin wanita itu demikian nglokro. Banyak versi bercerita tentang istri yang bunuh diri begitu mendengar suaminya gugur. Versi saya, istri itu harus membuktikan apakah suaminya benar-benar mati,” katanya.
Ki Manteb juga mempunyai pandangan bahwa kesuksesan tidak serta-merta datang hanya dengan prihatin. Sebagai pekerja seni, dalang bisa sukses jika laku prihatinnya disertai usaha untuk terus berkarya. Ikhtiarnya dalam berkarya ditunjukkan dengan banyak membaca agar tidak menggunakan sanggit yang sudah lebih dulu digunakan dalang lain.
Selain itu, kekuatan Ki Manteb dalam hal sabetan, atau teknik memainkan wayang, juga terus dilatih. Referensi gerakan diperkaya dengan menonton film laga seperti kungfu dan silat yang sangat digandrunginya. Sebab, dalang kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, itu juga diketahui merupakan penggemar berat Bruce Lee.
Baca juga: Teladan Kresna untuk Pemimpin
Tak pelit berbagi
Meski telah menjadi dalang papan atas sejak awal 1990-an dengan nilai kontrak fantastis, Ki Manteb tak pelit berbagi ilmu. Ki Gondo Wartoyo, dalang muda asal Boyolali, Jawa Tengah, menyampaikan, sosok almarhum selalu menjadi tempat bertanya bagi para dalang muda. Semuanya selalu diterima dengan tangan terbuka. ”Kami sering mengobrol dengan beliau. Sampai sering lupa waktu. Datang pukul 18.00, saking asyiknya bisa sampai subuh,” kata Gondo.
Tak hanya itu, Gondo menuturkan, Ki Manteb juga dikenalnya sebagai sosok yang dermawan. Dalang-dalang muda sering didorong pentas dengan lakon wayang milik Ki Manteb. Tidak jarang pula Ki Manteb memberikan panggilan pentasnya untuk rekan dalang lainnya. Selama pandemi pun kerap kali Ki Manteb mendorong pedalang lain untuk pentas daring di kediamannya.
Dalang-dalang muda sering didorong pentas dengan lakon wayang milik Ki Manteb. Tidak jarang pula Ki Manteb memberikan panggilan pentasnya untuk rekan dalang lainnya.
Pada arsip Kompas, Selasa, 12 Mei 1992, dalang yang juga mantan wartawan H Sujiwo Tejo pernah menulis, pada saat itu, Ki Manteb bisa ditanggap atau diundang minimal 15 kali dalam sebulan. Penghasilannya ditaksir sudah mencapai Rp 30 juta per bulan. Bahkan, Ki Manteb sendiri menyebutkan tarifnya bisa mencapai Rp 9 juta jika komplet dengan nayaga, pesinden, gamelan, dan wayang.
Meski sudah terkenal dan mapan, sikap Ki Manteb untuk enteng berbagi kepada orang lain tak terlepas dari perjalanan awal kariernya. Pada 1970-an dia juga banyak berguru kepada dua dalang legendaris, Ki Narto Sabdo di Semarang dan Ki Sudarman Gondodarsono di Sragen, Jawa Tengah.
Dalang muda asal Kabupaten Semarang, Endy Wahyu Nugroho (22), menilai, Ki Manteb, yang selalu ia panggil Pakde Manteb, merupakan guru besar dan maestro pedalangan Indonesia. Ki Manteb pun menjadi inspirasinya, bahkan sejak ia belum kenal wayang.
”Sebab, saya bukan keturunan dalang. Sejak umur dua tahun, saya diberi bapak kaset VCD pakeliran beliau, (yakni) lakon Dewa Ruci, record di Perancis. Dari situ, saya mulai tertarik akan indahnya budaya kita yang sangat adiluhung, wayang kulit. Sampai sekarang saya sudah menjadi ’dalang payu’, beliau menjadi dalang idola dan panutan saya,” katanya.
Ki Manteb merupakan guru besar dan maestro pedalangan Indonesia. (Endy Wahyu Nugroho)
Endy mengemukakan, Ki Manteb merupakan maestro olah sabet pada pakeliran wayang kulit. Di samping itu, Ki Manteb juga memiliki kelebihan yang mungkin belum banyak dikuasai dalang-dalang saat ini, antara lain udhanegara pewayangan, silsilah jangkep pewayangan, sanggit, dan sastra, cengkok, hingga suluk pedalangan.
Satu hal dari Ki Manteb, yang juga berjuang dan mendapat penghargaan Wayang Karya Agung Budaya Dunia dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), ialah tidak pernah pelit ilmu. ”Beliau dalang kondang profesional yang terus berbagai ilmu dengan siapa saja dan kapan saja,” kata Endy.
Kondisi ini mendukung terjadinya regenerasi dalam dunia pedalangan. Salah seorang muridnya yang juga sempat menjadi dalang kondang ialah Ki Seno Nugroho. Namun, Ki Seno sudah mendahului Ki Manteb menghadap Sang Pencipta, tahun 2020.
Baca juga : ”Ladrang Gadjah Seno”, Gending Terakhir Dalang Peretas Batas
Tak hanya kepada para dalang muda, Ki Manteb bahkan peduli pada pengembangan ilmu pedalangan di dunia kampus. Dekan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta Sugeng Nugroho menyatakan, belum ada sosok dalang yang bisa menandingi Ki Manteb.
Untuk itu, pihaknya merasa sangat kehilangan atas kepergian sosok tersebut. Terlebih lagi Ki Manteb dikenal sangat terbuka dan enteng berbagi ilmu. ”Ilmu dan keterampilannya bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk siapa saja yang membutuhkan,” kata Sugeng.
Ki Manteb menjadi pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta sejak 1996. Ia mengajar mahasiswa untuk jenjang pendidikan sarjana, khususnya dalam praktik pertunjukan wayang kulit. Statusnya sebagai dosen luar biasa.
Lihat juga : Sensus Wayang Kulit di Museum Sendang Mas Banyumas
Sugeng menceritakan, hampir setiap hari Ki Manteb datang ke kampus meski tidak ada kelas. Ki Manteb siap sedia menerima kedatangan siapa pun yang ingin bertanya soal wayang. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan juga dapat dijawab dengan gamblang. ”Sejak pandemi, sejumlah aktivitas kampus dibatasi. Beliau selalu bertanya kapan bisa ke kampus lagi,” kenang Sugeng.
Menurut catatan ISI Surakarta, ada 15 penghargaan pernah diperoleh Ki Manteb dengan kiprah pedalangannya. Beberapa di antaranya Satya Lencana Kebudayaan (1995), Sang Maestro Dalang Indonesia (2009), dan Empu Paripurna Bidang Pedalangan. Rekor menyajikan pentas wayang kulit terlama juga pernah dipecahkannya, dengan durasi 24 jam 28 menit, dengan lakon Bharatayuda, pada 2004.
Sederet penghargaan itu menjadi jejak prestasi dalang yang bintangnya semakin meroket saat menjadi bintang iklan televisi salah satu produk obat tersebut. Salah satu pesan yang pernah disampaikan Ki Manteb adalah soal kreativitas di jagat pedalangan.
Inovatif
Pada arsip Kompas, 17 September 2014, di sela-sela Kolaborasi Seni Pertunjukan Wayang Tradisional ASEAN-Tiongkok, di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, Ki Manteb mengemukakan kegelisahannya pada inovasi dan kreativitas di dunia wayang. Dia mendorong wayang kontemporer dan wayang tradisi sama-sama maju. Wayang tradisi tetap dipelihara, sedangkan wayang kontemporer silakan unjuk diri.
”Agar kaya. Kan, sudah ada wayang suket, wayang padi. Yang penting wayang itu laku. Kalau enggak laku, ya, tidak ada gunanya. Laku di sini artinya disukai, dipertunjukkan,” paparnya.
”Soal cerita juga tidak perlu kaku,” lanjut Ki Manteb. Cerita wayang Jawa bisa dikolaborasi dengan wayang negara lain. ”Misalnya, apa yang bisa mencari jati diri itu hanya Bima, Arjuna, ya, boleh saja. Seperti ada cerita Rahwana Putih, boleh saja, kan, melihat Rahwana dari sisi yang berbeda. Rahwana itu tidak mau memerkosa, lo,” ucapnya kala itu.
Bahkan, bagi Manteb, pakem itu bukan sesuatu yang kaku dalam pengemasan. Selalu ada ruang kreativitas di dalamnya. ”Pakem itu apa, sih? Saya sendiri enggak ngerti, he-he-he. Misalnya, lima tambah lima, kan, sepuluh, tetapi sepuluh, kan, bisa tujuh tambah tiga. Semacam itulah (pakem itu),” ucap Manteb.
Bagi Ki Manteb, wayang kulit selalu butuh inovasi dan kreativitas agar terus bisa bertahan dan diterima semua zaman. Pemikiran progresif ini kiranya menjadi warisan paling berharga bagi generasi dalang berikutnya. Sugeng tindak (selamat jalan) Ki Manteb, selamat jalan dalang ”oye”....