Tersangka Korupsi Pengadaan Mesin Es di Bulungan Ajukan Praperadilan
Tersangka kasus korupsi pengadaan mesin es serpihan di Kabupaten Bulungan mengajukan praperadilan. Kejari Bulungan menilai penangkapan sudah sesuai prosedur dan akan mengikuti proses hukum.
Oleh
SUCIPTO
·3 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Tersangka kasus korupsi pengadaan mesin es serpihan di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, mengajukan praperadilan karena menilai penegak hukum melakukan kesalahan prosedural penangkapan. Kejaksaan Negeri Bulungan berkukuh penangkapan sesuai prosedur dan akan mengikuti proses hukum.
Pada 4 Juni 2021, Kejari Bulungan menetapkan mantan Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Bulungan, NA (50), sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Yang bersangkutan diduga menaikkan harga (mark up) pada pengadaan mesin serpihan es. Tindakan itu merugikan negara Rp 600 juta.
”Kami lakukan upaya praperadilan karena banyak kejanggalan dan diduga banyak kesalahan prosedural penangkapan,” ujar kuasa hukum NA, Mukhlis Ramlan, yang dihubungi dari Balikpapan, Kalimantan Timur, Kamis (1/7/2021).
Mukhlis menjelaskan, tindakan kejaksaan yang langsung memborgol kliennya dinilai tidak sesuai prosedur penangkapan. Pihaknya juga menilai hanya Badan Pemeriksa Keuangan yang bisa menilai kerugian negara. Adapun kliennya ditetapkan tersangka dengan bukti audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Ia menerangkan, kasus korupsi kliennya akan disidangkan di Pengadilan Negeri Samarinda, Kalimantan Timur, karena di wilayah Kaltara belum ada pengadilan yang menangani tindak pidana korupsi. Pengajuan praperadilan sudah dilakukan pihaknya ke Pengadilan Negeri Samarinda pada 30 Juni.
”Jika tak ada halangan, pengadilan akan memutuskan diterima atau tidak pengajuan praperadilan itu pada Senin (5/7/2021),” kata Mukhlis.
Dihubungi terpisah, Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Bulungan Haeru Jilly Roja’l Pidus mengatakan, pihaknya akan mengikuti proses sesuai hukum yang berlaku. Menurut dia, pihak Kejari Bulungan sudah melakukan proses penangkapan sesuai prosedur dan dengan minimal dua alat bukti kuat.
”Salah satunya (yang dipersoalkan) adalah tersangka diborgol. Namun, kami pastikan, semua sesuai prosedur karena SOP-nya memang harus diborgol,” ujar Haeru.
Adapun terkait hasil audit BPKP yang menjadi salah satu bukti, pihaknya memastikan bahwa hal itu juga sesuai aturan. Pasalnya, BPKP bisa melakukan audit sendiri sesuai kewenangan lembaga tersebut atau ketika diminta membantu jaksa, polisi, atau KPK melakukan penyelidikan guna menghitung kerugian negara.
Kasus ini merupakan lanjutan dugaan korupsi mesin pembuatan es pada tahun 2016 dengan pagu anggaran Rp 2,4 miliar. Mesin itu biasa disebut ice flake. Alat itu berfungsi untuk membuat es yang digunakan sebagai bahan pengawet ikan.
PN, warga Depok, Jawa Barat, sudah ditetapkan sebagai tersangka lebih dulu. Ia merupakan pemenang lelang pengadaan barang tersebut dan diduga melakukan suap agar memenangi tender. Status PN sudah menjadi terdakwa dan saat ini sedang menjalani sidang di Samarinda.
Adapun NA ditetapkan sebagai tersangka setelah penyidik dari Kejari Bulungan melakukan pemeriksaan terhadap NA untuk pengembangan kasus. Dalam kasus ini, NA berlaku sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK). Tersangka juga merangkap sebagai kuasa pengguna anggaran dalam pengadaan mesin es serpihan berkapasitas 10 ton tersebut.
Haeru menjelaskan, NA diduga melanggar Pasal 2 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP. Ancaman hukumannya berupa pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.
”Sejak 4 Juni hingga hari ini, NA ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Tarakan,” kata Haeru.