Perbaikan Data dan Sinergikan Program Penurunan Kemiskinan di Aceh
Jumlah penduduk miskin di Aceh per September 2020 sebesar 15,43 persen atau sebanyak 833.000 orang. Aceh menjadi provinsi berpenduduk miskin terbesar di Sumatera dan nomor enam di Indonesia.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Penurunan angka kemiskinan di Aceh terkendala data yang tidak valid dan tidak sinerginya program pemerintah provinsi dengan kabupaten. Data yang tidak akurat menyebabkan program tidak tepat sasaran.
Hal itu mengemuka dalam seminar daring ”Kemiskinan Aceh dalam Perspektif Sosiologi” yang digelar oleh Universitas Teuku Umar, Aceh Barat, Kamis (1/7/2021). Pembicara dalam seminar tersebut adalah akademisi, pejabat daerah, dan perwakilan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh.
Rektor Universitas Teuku Umar Profesor Jasman Ma’ruf mengatakan, selama ini beban penanggulangan kemiskinan terkesan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi. Padahal, pemerintah kabupaten/kota paling tahu persoalan di daerahnya.
”Antara provinsi dan kabupaten harus berbagai beban. Bupati dan wali kota jauh lebih besar perannya,” kata Jasman.
Jumlah penduduk miskin di Aceh per September 2020 sebesar 15,43 persen atau sebanyak 833.000 orang. Aceh menjadi provinsi penduduk miskin terbesar di Sumatera dan nomor enam di Indonesia.
Jasman mengatakan, pemprov harusnya mendorong daerah untuk berkompetisi penurunan angka kemiskinan. Setiap daerah diberikan insentif sesuai dengan besaran capaian. Dengan demikian, daerah akan termotivasi, program provinsi dengan daerah sinergi, dan beban penanggulangan kemiskinan terbagi merata.
Pemprov seharusnya mendorong daerah untuk berkompetisi penurunan angka kemiskinan.
Kepala Unit Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Badan Perencanaan Pembangunan Aceh Hasrati mengatakan, sebenarnya strategi pengentasan rakyat dari kemiskinan sudah dirancang cukup baik, di antaranya menekan pengeluaran keluarga miskin dan meningkatkan pendapatan.
Namun, karena data tidak valid, tidak sedikit penerima manfaat program tidak tepat sasaran. ”Ada penerima yang tidak berhak karena data belum valid. Data tidak update. Soal pembaruan data ini tanggung jawab bupati/wali kota,” kata Hasrati.
Hasrati menuturkan, program sosial dari pemprov menggunakan data dari kabupaten/kota. Keakuratan data sangat penting agar program tepat sasaran. ”Ini persoalan serius, bukan hanya di Aceh, di tingkat nasional data tidak akurat sehingga sebagian penerima tidak tepat sasaran,” ujar Hasrati.
Hasrati menambahkan, program beasiswa pendidikan, jaminan kesehatan, bantuan program keluarga harapan diintervensi langsung untuk menekan beban pengeluaran keluarga miskin. Sementara program bantuan modal usaha dijalankan untuk meningkatkan pendapatan.
Kepala Bidang Pemberdayaan Ekonomi Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong Zulhusni menuturkan, dana desa juga menjadi harapan untuk mengurangi angka kemiskinan di perdesaan. Pada awal program, dana desa banyak digunakan untuk kegiatan fisik, tetapi sekarang mulai banyak untuk kegiatan ekonomi.
”Kami mendorong desa-desa agar membentuk Bumdes. Saat ini dari 6.000 desa di Aceh, 461 desa sudah punya Bumdes kategori berkembang,” kata Zulhusni. Melalui Bumdes, kegiatan ekonomi di desa semakin bergeliat dan dapat menyerap tenaga kerja lokal.
Sementara itu, Koordinator Fungsi Statistik Sosial BPS Aceh, Dadan Supriadi, mengatakan, data yang dikeluarkan BPS harus menjadi bahan kajian pemerintah daerah untuk menyusun program yang lebih baik.
”Data untuk memotret dan menganalisis kemiskinan. Kami berharap data BPS membantu pemerintah daerah dalam menerapkan strategi pengentasan rakyat dari kemiskinan,” kata Dadan.