Perketat Pulau Jawa, Selamatkan Indonesia
Kebijakan saat ini sudah tidak mampu mengakomodasi situasi penularan Covid-19. Mobilitas masyarakat masih tinggi, jumlah pasien terus bertambah, dan fasilitas kesehatan sudah kolaps.
JAKARTA, KOMPAS - Para pihak lintas profesi mendorong pemerintah menyegerakan pembatasan sosial lebih ketat demi memotong dampak paparan Covid-19 yang sedang mengganas di Pulau Jawa. Tanpa ketegasan, buruknya situasi saat ini berisiko meluas hingga wilayah lain dan tidak terprediksi kapan akan berakhir.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga Mantan Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia Regional Asia Tenggara (WHO SEARO) Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Selasa (29/6/2021) mengatakan, kebijakan saat ini sudah tidak mampu mengakomodasi situasi penularan. Mobilitas masyarakat masih tinggi, jumlah pasien terus bertambah, dan fasilitas kesehatan sudah kolaps.
“Saatnya memberlakukan aturan lebih ketat, dengan semaksimal mungkin membatasi kontak antarmanusia. Aturan harus semakin ketat sampai jumlah kasus semakin menurun dan jumlah pasien di rumah sakit juga menurun,” tuturnya.
Strategi-strategi itu sebenarnya sudah dijalankan, tetapi setengah hati. PPKM tetapi regional dan solidaritas warga hanya di beberapa daerah. (Cahyo Seftyono)
Saat ini, sejumlah daerah masih mengandalkan pembatasan sosial skala mikro yang ternyata tidak efektif mencegah keparahan. Rumah sakit penuh tak mampu menerima pasien, tenaga kesehatan bertumbangan, dan jumlah pasien meninggal sebelum mendapat pelayanan medis terus bertambah di tengah para petugas pemakaman yang kelelahan.
Data nasional hingga Selasa (29/6/2021), jumlah kasus positif Covid-19 tercatat sebanyak 2.156.465, sembuh 1.869.606, dan meninggal 58.024.
Di sejumlah daerah, penutupan wilayah skala mikro tetap tak mampu membendung lonjakan kasus karena tidak adanya koordinasi dengan wilayah lain. “Untuk situasi seperti sekarang, pemerintah pusat harus memimpin untuk menyamakan langkah di sejumlah daerah,” ujar pengajar pada Departemen Politik dan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Bayu Dardias.
Baca juga : Monitoring-Evaluasi Perlu Lebih Tegas dalam Pengetatan Pembatasan Sosial
Sejumlah negara dengan kebijakan kesehatan terdesentralisasi kewalahan menghadapi pandemi Covid-19. Komando terpusat membuat penanganan lebih cepat, seperti di China dan Vietnam.
Di Banten, Gubernur Banten Wahidin Halim meminta evaluasi menyeluruh kebijakan penanganan pandemi Covid-19. Kebijakan saat ini tak efektif di lapangan sehingga pemerintah daerah kelimpungan.
Ia meminta ada kebijakan strategis nasional, termasuk pembiayaan karena daerah kesulitan. Saat yang sama, kasus menanjak. Wahidin dan wakilnya pun terpapar Covid-19. Hingga Senin, total kasus positif korona di Banten 58.336, yang 1.474 di antaranya meninggal.
Baca juga : Surabaya Perlu Tambahan Sukarelawan Pemulasaraan Jenazah
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (27/6/2021) lalu, kasus hariannya lagi-lagi memecahkan rekor dengan 830 kasus. Rekor itu kembali pecah Senin (28/6/2021) dengan 859 kasus. Selasa kemarin, jumlahnya 850 kasus.
Pendiri Laboratorium Statistik Terapan RoomStat, Budhi Handoyo Nugroho, menyatakan, berdasar pemodelan, kasus Covid-19 di DIY baru melandai pada 9 September 2021 jika pemerintah masih menerapkan PPKM Mikro seperti sekarang. Bila pemerintah menerapkan pembatasan sosial lebih ketat, penurunan kasus lebih cepat.
Ketegasan penuh
Untuk situasi terkini, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anton J Supit mengatakan, krisis panjang kesehatan ini akan semakin merugikan perekonomian. Meski terasa berat di awal, pemerintah perlu menerapkan pembatasan mobilitas lebih ketat untuk mengendalikan pandemi sekaligus menyelamatkan ekonomi.
“Kita butuh keputusan cepat dan tegas untuk menghentikan penyebaran. Kalau dibandingkan kondisi waktu PSBB dulu, sekarang sebenarnya lebih berat. Tetapi kenapa sekarang justru tindakan kita lebih longgar?” ujar Anton.
Ia menilai kondisi saat ini bayaran dari keputusan awal yang kurang ketat. "Sekarang keselamatan nyawa yang harus didahulukan. Lebih baik kita rugi sebentar, tetapi demi kebaikan jangka panjang”.
Baca juga : Covid-19 Varian Delta Mendominasi, Pembatasan Sosial Perlu Diperketat
Saat ini, kata Tjandra Yoga, pemeriksaan dan pelacakan harus lebih maksimal. Dua upaya ini diperlukan untuk mengetahui kasus penularan di masyarakat sehingga penanganan bisa segera dilakukan.
“Bagi masyarakat yang isolasi mandiri di rumah juga harus didukung dengan pemantauan dari petugas kesehatan. Komunikasi rutin secara virtual bisa dilakukan,” kata dia.
Pemerhati Kebijakan Publik Universitas Negeri Semarang (Unnes), Cahyo Seftyono, mengatakan, sejumlah strategi kebijakan di negara-negara yang dinilai baik dalam menangani pandemi, seperti Bhutan, Selandia Baru, Taiwan, Siprus, dan Thailand, sebenarnya telah dilakukan Indonesia. Itu seperti pembatasan ketat dan pelibatan masyarakat.
"Strategi-strategi itu sebenarnya sudah dijalankan, tetapi setengah hati. PPKM tetapi regional dan solidaritas warga hanya di beberapa daerah. Padahal, Covid-19 tidak memilih tempat," kata Cahyo, saat dihubungi di Semarang, Selasa (29/6/2021).
Baca juga : Industri Pariwisata Dukung Pembatasan Sosial
Oleh karena itu, ia mendorong kolaborasi yang dikoordinasi oleh pemerintah pusat agar segala kebijakan berjalan optimal. Apabila menggantungkan harapan pada kesadaran warga, sebagian mungkin mau. Namun, kemampuan finansial warga berbeda-beda. Misalnya, ada warga yang masih memilih beras ketimbang masker.
"Hal-hal seperti itu yang perlu diantisipasi. Pandemi bisa menjadi momentum untuk menguatkan kolaborasi publik. Jadi, tidak sekadar pengetatan, tetapi warga juga dijamin kebutuhan hidupnya, seperti lewat jalur kolaborasi dengan swasta. Pemerintah pusat dapat membantu terkait finansial, kemampuan inovasi, dan kerja sama yang lebih luas," kata dosen Ilmu Politik Unnes itu.
Di sejumlah daerah, rumah sakit rujukan mendirikan ruang isolasi darurat dan langsung terisi, seperti di Sidoarjo, Jawa Timur. Jumlah pasien Covid-19 yang dirawat di 19 rumah sakit rujukan mencapai 1.000 orang dari 1.025 tempat tidur.
Di Kota Malang, rusunawa mahasiswa Universitas Brawijaya dijadikan ruang isolasi tambahan bagi pasien tanpa gejala. Asrama tiga lantai itu terletak di lahan setengah hektar.
"Ini tentang kemanusiaan. Subuh tadi kami rapat dan pagi tadi diputuskan kami siap. Langsung tadi diperiksa kondisi air dan rencana penerimaan pasien,” kata Rektor Universitas Brawijaya Nuhfil Hanani.
Rumah sakit rujukan Covid-19 di Jawa Barat juga kewalahan menghadapi lonjakan pasien. Usulan lockdown atau karantina wilayah terganjal keterbatasan anggaran kebutuhan logistik warga.
Kasus Covid-19 di Jabar melonjak tajam 1,5 bulan terakhir. Total kasus positif saat Idul Fitri lalu 295.179 kasus. Jumlah meningkat menjadi 359.469 kasus atau naik 21,78 persen, Selasa (29/6/2021).
Baca juga : Belajarlah dari Kegagalan dan Keberhasilan India
Baca juga : Ruang Isolasi Covid-19 di Cirebon Capai 90 Persen, Nakes Kewalahan
Sejumlah rumah sakit di Brebes, Jawa Tengah, juga berupaya menambah jumlah tempat tidur seiring dengan terus meningkatnya jumlah pasien. Salah satu kendala yang dihadapi dalam penambahan tempat tidur adalah terbatasnya jumlah tenaga kesehatan.
Di Rumah Sakit Bhakti Asih misalnya, jumlah pasien Covid-19 yang dirawat pada Selasa (29/6/2021) siang sebanyak 60 orang. Padahal, jumlah tempat tempat tidur khusus pasien Covid-19 di rumah sakit itu 53 unit. Sehingga, sebanyak tujuh pasien ditempatkan sementara di IGD.
"Hari ini ada sepuluh penderita Covid-19 yang mengantre untuk dirawat di RS Bhakti Asih. Sembari menunggu tempat tidur kosong, mereka kami minta menjalani isolasi mandiri di rumahnya masing-masing," kata Sekretaris Satgas Covid-19 sekaligus Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Infeksi RS Bhakti Asih Muhammad Iqbaluddin, Selasa petang.
Sementara itu, pemerintah daerah di Jawa Barat bagian timur belum kompak saat menetapkan kebijakan yang tepat guna menangani lonjakan kasus Covid-19. Kondisi ini rentan membuat kasus penularan baru tidak terkendali.
Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis menilai, kebijakan pemda di Jabar bagian timur dalam pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) belum terpadu. Pemerintah Kota Cirebon, misalnya, membatasi waktu operasional pusat perbelanjaan hingga rumah makan hanya pukul 20.00. Namun, daerah tetangga, Kabupaten Cirebon, tidak menerapkan hal tersebut.
”Ini harus ada satu kesamaan (kebijakan). Kota dan Kabupaten Cirebon itu hanya dibatasi jembatan atau aspal. Jangan sampai (Kota) Cirebon mengeluarkan PPKM, seperti penutupan (aktivitas pelaku usaha) pukul 8 (malam). Kemudian menyeberang (ke Kabupaten Cirebon), masih bisa. Ini tidak efektif,” papar Azis.
Baca juga : Wakil Wali Kota Cirebon Terpapar, Alarm Tingginya Penyebaran Covid-19
Oleh karena itu, lanjut Azis, dibutuhkan kebijakan terintegrasi di wilayah Jabar timur. Daerah itu adalah Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan. Pemerintah Provinsi Jabar diharapkan turun tangan menyelaraskan PPKM tersebut. ”Kami akan rapat koordinasi. Jangan sampai kebijakan berubah-ubah,” ucapnya.
Aturan masuk Bali
Merespons situasi khusus saat ini, penumpang pesawat tujuan Bali kini diwajibkan melengkapi perjalanannya dengan surat keterangan hasil negatif Covid-19 uji usap berbasis reaksi berantai polimerase (PCR) asli dan masih berlaku, selain mengisi kartu kewaspadaan kesehatan secara elektronik (e-HAC). Adapun pengguna transportasi darat dan transportasi laut ke Bali diwajibkan menunjukkan surat keterangan hasil negatif Covid-19 uji swab PCR atau uji cepat antigen paling lama 2x24 jam.
Ketentuan baru bagi pejalan dalam negeri ke Bali itu diatur dalam Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 08 Tahun 2021 tentang Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Berbasis Desa/Kelurahan Dalam Tatanan Kehidupan Era Baru di Provinsi Bali yang dikeluarkan Gubernur Bali Wayan Koster pada Senin (28/6/2021).
Dengan aturan baru itu, maka hasil penapisan kesehatan dengan uji cepat (rapid) antigen maupun dengan alat GeNose tidak berlaku bagi penumpang pesawat udara yang akan ke Bali dalam waktu dekat ini. “Aturan untuk masuk ke Bali memang diketatkan,” kata Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati, ketika dihubungi, Selasa (29/6/2021).
(CAS/HRS/AGE/TAN/DIT/IKI/DAN/DIA/NIK/TAM/XTI/MTK/COK)