Tumbuh Subur, Sumbar Mulai Tata Tambak Udang Vaname
Pemprov Sumbar mulai menata pembangunan tambak udang vaname yang mulai tumbuh di kawasan pesisir agar tidak merusak lingkungan.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Sumatera Barat mulai menata pembangunan tambak udang vaname yang mulai tumbuh di kawasan pesisir agar tidak merusak lingkungan. Instruksi gubernur segera diterbitkan sebagai pegangan bagi bupati dan wali kota dalam menata tambak di wilayah masing-masing.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumbar Yosmeri di Padang, Selasa (29/6/2021), mengatakan, tambak udang vaname berpotensi dikembangkan di provinsi ini. Berdasarkan survei tahun 2020, potensi lahan tambak udang di Sumbar mencapai 7.700 hektar di enam kabupaten yang memiliki pesisir, kecuali Kota Pariaman.
Akan tetapi, ujar Yosmeri, karena masih baru, tambak udang vaname di Sumbar masih memiliki sejumlah masalah. Sebagian besar tambak udang belum sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW), lokasi di sempadan pantai, belum ada izin lingkungan dan izin usaha, belum ada instalasi pengolahan air limbah, ada yang berada di kawasan hutan lindung, dan masalah lainnya.
”Persoalan tersebut perlu diantisipasi agar tidak berkembang tambak yang tidak sesuai ketentuan,” kata Yosmeri di sela-sela rapat koordinasi dengan kepala daerah atau perwakilan tujuh kabupaten/kota yang memiliki kawasan pesisir, Selasa.
Data Dinas Kelautan dan Perikanan Sumbar menyebutkan, tambak udang vaname tersebar di empat kabupaten/kota, yaitu Pesisir Selatan, Padang, Padang Pariaman, dan Agam. Pada 2020, total ada 61 pelaku usaha tambak udang dengan jumlah 625 petak tambak dan luas 135,06 hektar serta produksi 2.063,6 ton.
Yosmeri melanjutkan, Pemprov Sumbar sedang menyiapkan instruksi gubernur yang selesai dalam pekan ini. Instruksi itu berisi beberapa poin yang bisa menjadi dasar bagi kepala daerah dalam mengambil tindakan terhadap permasalahan tambak udang tersebut.
Salah satu poinnya, menurut Yosmeri, kepala daerah diminta menghentikan sementara atau melakukan moratorium pembukaan lahan baru tambak udang yang belum terakomodasi dalam perda RTRW. Saat ini, dari tujuh daerah yang ada kawasan pesisir, empat daerah belum mengakomodasi tambak dalam RTRW-nya, yaitu Agam, Pasaman Barat, Kepulauan Mentawai, dan Pariaman.
”Kabupaten/kota yang belum mengakomodasi alokasi perikanan budidaya di perda RTRW diminta segera melakukan revisi sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat tanpa menimbulkan masalah,” kata Yosmeri.
Selain itu, pemda diminta mendorong tambak yang sudah ada mempunyai instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Pemda juga diminta mensyaratkan pelaku usaha tambak membuat jalur hijau (green belt) di sempadan pantai. Melalui perda kabupaten/kota, pemda diminta pula menetapkan batas sempadan pantai.
Adapun terhadap tambak-tambak yang telanjur melanggar, pemda agar berkoordinasi dan berkomunikasi dengan anggota forkopimda masing-masing. ”Mesti ada kesepakatan terhadap tambak yang sudah telanjur ini. Kewenangan ada pada kepala daerah,” ujarnya.
Akibat menjamurnya tambak udang yang mengabaikan keberlangsungan ekosistem, satwa liar, seperti buaya muara, mulai terganggu. (Suhatri)
Gubernur Sumbar Mahyeldi mengatakan, tambak udang vaname yang mulai bertumbuh di kawasan pesisir Sumbar beberapa tahun terakhir punya dua sisi. Di satu sisi, tambak menggerakkan perekonomian masyarakat, sedangkan di sisi lain ada risiko dampak lingkungan jika tidak ditata.
”Pengaturan dan penataan tambak serta masalah lingkungannya perlu dikendalikan dari sekarang. Kalau terlambat, tentu akan (berisiko). Di satu sisi mendorong bergeraknya ekonomi masyarakat, di sisi lain ada risiko dan ancaman yang akan dihadapi,” kata Mahyeldi ketika membuka rapat.
Di kawasan pantai utara Jawa, kata Mahyeldi, masifnya eksplorasi dan eksploitasi tambak udang telah memicu penurunan permukaan daratan di kawasan pantai. Kondisi itu dipicu penggunaan air tanah untuk keperluan tambak. ”Tentu kita berharap hal itu tidak terjadi di Sumbar. Di sekitar Bandara Internasional Minangkabau juga mulai tumbuh tambak dan di beberapa kawasan lain,” ujarnya.
Mahyeldi melanjutkan, potensi tambak udang vaname di Sumbar besar. Ia juga mengklaim, berdasarkan pengakuan petambak di Lampung, yang juga perantau Minangkabau, pertumbuhan udang vaname jauh lebih bagus di kawasan pesisir Sumbar.
Mahyeldi pun meminta pemerintah daerah segera menyiapkan perda RTRW. Selain itu, pemda mesti menyiapkan rencana detail tata ruang (RDTR) melalui peraturan bupati/wali kota. ”Adanya RDTR akan memudahkan investor untuk mengetahui lokasi untuk berinvestasi,” katanya.
Bupati Padang Pariaman Suhatri Bur mengatakan, hingga kini sudah ada 64 usaha tambak udang vaname dengan jumlah 550 petak tambak di kabupaten ini. Dari 64 usaha tambak itu, baru 8 tambak yang punya izin, 9 tambak punya izin prinsip, dan 6 tambak sudah direkomendasikan mendapatkan izin.
Sementara itu, 14 tambak tidak bisa direkomendasikan karena tidak sesuai dengan perda RTRW. Sisanya 27 tambak belum mengajukan izin sama sekali, yaitu 24 tambak di Kecamatan Batang Anai, tepatnya di belakang Bandara Internasional Minangkabau, serta 3 tambak di Kecamatan Batang Gasan dan Kecamatan Sungai Limau.
Menurut Suhatri, pemkab tidak bisa berbuat apa-apa terhadap usaha tambak tidak berizin itu karena adanya surat telegram Kapolri pada Juli 2020 bahwa di daerah yang terdampak pandemi Covid-19 dilarang untuk menghambat, mengganggu, dan mempersulit petambak membuat tambak.
”Kami lakukan pembiaran karena sesuai surat telegram dari kepolisian bulan Juli itu sehingga sekarang menjamur semua tambak dari Batang Anai sampai Batang Gasan,” kata Suhatri di dalam rapat.
Akibat menjamurnya tambak udang yang mengabaikan keberlangsungan ekosistem, tambah Suhatri, satwa liar, seperti buaya muara, mulai terganggu. Buaya muara mulai berangsur naik ke arah hulu dan meresahkan masyarakat yang sehari-hari beraktivitas di sungai.
”Ini perlu kajian. Bagaimana batas sempadan muara. Batas sempadan sungai. Kajian ini perlu karena kami akan mengeluarkan izin,” ujarnya.