Di Balik Parkir Mobil Gibran dan Tantangan Toleransi di Surakarta
Peristiwa perusakan nisan pada makam umat Kristiani di Surakarta tidak bisa dianggap sepele, apalagi diduga dilakukan oleh bocah. Pemerintah mesti tegas mencegah berkembangnya sel-sel kanker intoleransi di masyarakat.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·6 menit baca
Insiden perusakan nisan sejumlah makam umat Kristiani di Surakarta, Jawa Tengah, mengoyak spirit toleransi dan kebinekaan. Terlebih, terduga pelaku masih bocah di bawah 13 tahun yang semestinya jadi fondasi peradaban bangsa di masa depan. Atas kasus ini, setidaknya Wali Kota Gibran Rakabuming Raka memberi jawaban tegas ala tradisi Jawa.
Pariyem (60) sibuk mencabuti rumput liar di Makam Cemoro Kembar, Kelurahan Mojo, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jumat (25/6/2021). Sesekali, mata juru kunci makam itu menengok ke pintu masuk. Ia masih terpukul dengan perusakan sejumlah nisan yang beberapa waktu lalu terjadi di tempat itu.
Sekelompok anak berusia 9-12 tahun, Rabu (12/6/2021), diduga melakukan perusakan nisan pada sejumlah makam di tempat tersebut. Bagian yang dirusak adalah simbol salib dari sejumlah nisan. Para terduga pelaku merupakan siswa dari lembaga pendidikan dasar agama Islam yang disebut khuttab yang lokasinya hanya sekitar 50 meter dari makam.
Baca juga : Pemerintah Menjamin Hak Pemeluk Agama
Sebelum insiden perusakan, Pariyem mengaku melihat gelagat buruk. Saat itu, ia menyaksikan beberapa anak berusia kurang dari 10 tahun mengerumuni salah satu kuburan. Mereka memukuli kendi yang terletak pada kubur itu. Sontak, Pariyem mendekat dan mengingatkan mereka.
Namun, mereka justru meledek Pariyem sambil menggoyang-goyangkan pantat lalu bergegas meninggalkan makam. Pariyem melanjutkan aktivitasnya membersihkan area utara makam. Ternyata, anak-anak itu datang kembali bersama sejumlah temannya. Perusakan yang menyasar simbol salib pada 12 nisan pun terjadi.
”Sebenarnya saya mau membubarkan, tetapi tidak berani. Jumlah anak-anak ada banyak. Pikir saya, nanti setelah mereka pergi baru saya menginformasikan ke warga. Untungnya ada warga yang melaporkan mereka lebih dulu dan membubarkan aksi mereka,” kata Pariyem.
Pariyem menjadi juru kunci Makam Cemoro Kembar sejak lebih dari enam tahun lalu. Namun, menurut dia, baru kali ini ada kejadian perusakan pada nisan milik umat Kristiani. Ia pun keheranan akan motivasi para perusak makam itu.
”Memangnya, apa untungnya? Yang meninggal ini sudah beristirahat tenang. Kan, kasihan juga keluarganya yang dirusak nisannya ini,” ujarnya.
Lurah Mojo Margono menyebutkan, persoalan itu langsung diselesaikan warga setempat lewat cara kekeluargaan. Pihak lembaga pendidikan agama yang dimaksud telah dimediasi dengan ahli waris mendiang yang makamnya dirusak. Disepakati, pihak khuttab akan memperbaiki kerusakan dan persoalan tak akan diperpanjang.
Meski begitu, aparat kepolisian menilai ada unsur kriminal dalam perusakan makam itu sehingga pemeriksaan dilakukan terhadap sejumlah saksi. Kepala Kepolisian Resor Kota Surakarta Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak menyatakan, sudah 29 orang yang diperiksa terkait kasus tersebut.
Lima orang di antaranya merupakan anak-anak yang diduga terlibat dalam aksi perusakan. Perusakan diduga sengaja dilakukan menggunakan batu dan tangan. Namun, keberadaan unsur indoktrinisasi paham keagamaan yang eksklusif pada anak-anak itu belum bisa disimpulkan.
”Diperlukan tim asesmen yang menelusuri lebih jauh dan lebih dalam tentang materi pembelajaran yang diberikan,” kata Ade.
Ade menggandeng Kantor Wilayah Kementerian Agama Kota Surakarta untuk melakukan asesmen terhadap tempat belajar itu. Lewat langkah itu diharapkan dapat diketahui alasan yang mendasari perbuatan para terduga pelaku. Asesmen juga perlu disertai konseling jika memang ditemukan paparan ajaran intoleransi sehingga kejadian serupa tak terulang lagi.
Kepala Kanwil Kemenag Kota Surakarta Hidayat Masykur menyatakan, tim asesmen telah dibentuk bersama dengan Dinas Pendidikan Kota Surakarta. Tim itu akan segera mengkaji materi pembelajaran yang terdapat di tempat belajar tersebut.
Dari informasi yang dikumpulkannya, lanjut Hidayat, tempat belajar tersebut belum berizin. Sudah sekitar satu tahun tempat itu beroperasi di Kota Surakarta. Sebelumnya, mereka beroperasi di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Tinggalkan mobil
Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka mengaku geram dengan aksi perusakan makam tersebut. Ia menilai, aksi itu sudah keterlaluan. Pihaknya menduga ada paparan ajaran keagamaan yang keliru dari para pengajar di lembaga pendidikan tempat anak-anak itu belajar.
Kejadian serupa tak bisa dibiarkan. Untuk itu, ia meminta agar tempat pembelajaran itu ditutup. ”Ini sudah keterlaluan. Tidak bisa dibiarkan kayak gitu. Apalagi, pendidikan ke anak-anak yang masih kecil. Anak-anak itu perlu pembinaan,” kata Gibran.
Gibran meminta masyarakat setempat lebih mewaspadai lagi pengajaran dan sejumlah tindakan intoleransi di sekitarnya. Partisipasi warga untuk kompak menolak aksi-aksi yang kontra keberagaman perlu semakin ditingkatkan. Pihaknya meminta warga tak segan langsung melapor kepadanya jika ada peristiwa serupa.
Uniknya, buntut kasus itu, Gibran juga meninggalkan mobil dinasnya yang bernomor polisi AD 1 A di dekat makam. Mobil dinas itu masih terparkir di sana hingga Jumat sore. Putra sulung Presiden Joko Widodo itu untuk sementara menggunakan mobil sedan Camry bernomor polisi AD 7007 ZA untuk perjalanan dinasnya. Mobil itu merupakan mobil dinas Wali Kota Surakarta periode sebelumnya, yaitu FX Hadi Rudyatmo.
Saat ditanyai alasan meninggalkan mobilnya di makam, Gibran berseloroh supaya garasi rumahnya tak terlalu padat. Ia enggan menjawab secara jelas alasan dari tindakannya itu. ”Kayak gitu tidak perlu saya jelaskan. Bisa ditangkap sendiri, toh?” ucapnya.
Saat didesak terus, Gibran akhirnya berujar singkat, ”Nanti saya ambil (mobilnya), kalau (masalahnya) sudah selesai.”
Dalam buku Pandangan Hidup Jawa (1990), Suyanto menyebutkan, salah satu karakter orang Jawa adalah cenderung menyampaikan pesan keras atau yang tak mengenakkan melalui simbolisme. Drajat Tri Kartono, sosiolog dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta, menyampaikan, aksi Gibran dapat dimaknai sebagai keberpihakan terhadap isu toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Mobil dinas menjadi simbol kehadiran pemerintah dalam kasus tersebut.
”Dia berusaha menunjukkan sikap bahwa dia tidak menoleransi relasi-relasi kekerasan meskipun kekerasannya simbolik. Di mana pun negara hadir, termasuk di kuburan,” kata Drajat.
Mobil dinas menjadi simbol kehadiran pemerintah dalam kasus tersebut. (Drajat Tri Kartono)
Lebih lanjut, Drajat menyatakan, hal terpenting dalam kasus ini adalah menelisik alasan dasar penyerangan makam umat Kristiani. Dari sudut pandang fenomenologi, ada serangkaian proses yang membuat pelaku terdorong keinginannya melakukan kekerasan. Entah sekadar ingin tampak hebat dalam komunitasnya atau memang ada indoktrinasi pemahaman agama. Pendekatan sosial guna memahami persoalan ini dianggap perlu supaya akar masalah dapat dicabut.
”Perusakan kuburan hanya gejalanya. Namun, apa yang melatarbelakangi itu? Mengapa kuburan menjadi korban? Hanya ingin menunjukkan heroism agar diakui atau ada relasi yang lain di belakangnya? Itu yang perlu ditangani supaya tak terulang lagi kelak,” kata Drajat.
Sementara itu, Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan, peristiwa perusakan nisan makam umat beragama tertentu tersebut menandakan paparan narasi intoleransi sudah menyentuh generasi muda, bahkan anak-anak. Fenomena serupa juga terjadi di beberapa tempat, misalnya muncul yel-yel bernada intoleran pada salah satu sekolah dasar di Daerah Istimewa Yogyakarta.
”Begitu (paparan paham intoleran) mengenai anak usia dini, menurut saya, harus menjadi penanda peningkatan kewaspadaan yang luar biasa,” kata Halili.
Masih terjadinya tindak intoleransi di Kota Surakarta juga terkesan ironis. Sebab, Menurut Riset Setara Institute, kota tersebut menduduki peringkat keempat skor tertinggi untuk kategori inklusi sosial keagamaan dalam Indeks Kota Toleran 2020. Pada indeks yang sama, kota tersebut juga menduduki peringkat kelima untuk kategori heterogenitas agama.
Menurut Halili, secara sosiopolitik, masyarakat Kota Surakarta tergolong inklusif dalam perbedaan keagaaman. Buktinya, partai berplatform nasionalis masih paling banyak dipilih para penduduk.
Fenomena tindakan intoleran seolah menunjukkan pembiaran atas tumbuhnya jaringan kelompok konservatif di wilayah tersebut. ”Perlu ada perluasan peran kelompok-kelompok moderat dan nasionalis untuk memengaruhi masyarakat di Kota Surakarta. Mereka harus lebih penetratif lagi,” kata Halili.
Perusakan makam umat beragama tertentu tak bisa dianggap keisengan bocah. Tak hanya sekadar parkir mobil, pemerintah benar-benar mesti hadir untuk mencegah virus buruk intoleransi termasuk di kalangan anak. Tanpa tindakan tegas, kasus ini hanya akan menumbuhkan sel-sel kanker yang menggerogoti adab kebinekaan Bangsa.