Warga Kreatif Kelola Pesisir Kubu Raya Kala Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 di satu sisi menekan dunia usaha, tetapi di sisi lain membuka peluang pasar produk tertentu. Warga Kabupaten Kubu Raya mampu menghidupkan ekonomi dengan memanfaatkan potensi alam tanpa merusaknya.
Gio Sumantri, Ketua Kelompok Usaha Perhutanan Madu Jaya Lestari di Desa Teluk Nibung, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, sibuk memeriksa sejumlah kotak tempat dia membudidayakan kelulut untuk diambil madunya, Kamis (17/6/2021). Madu dihasilkan lebah tanpa sengat atau kelulut (Trigona sp).
Tempat budidaya produksi madu kelulut milik Gio berada di halaman rumahnya. Jumlahnya 400 kotak. Pada 2017, Gio sudah memanen produksi madu kelulut dua kali sebulan untuk keperluan sendiri.
Namun, pada 2020, ia memutuskan memanennya satu bulan sekali. Sebab, kualitasnya lebih bagus jika dipanen satu bulan sekali. Hasil panen madu kelulutnya dalam sebulan mencapai 40 kilogram.
”Madu kelulut di sini mulai berkembang pada 2016. Saat itu ada lembaga yang mendampingi. Dari situ kami mengetahui madu kelulut ada manfaatnya. Kami diberi pelatihan pengembangan budidaya produksi madu kelulut hingga bisa berkembang,” ujarnya.
Baca juga: Geliat Potensi Ekonomi Pesisir Kubu Raya di Tengah Pandemi Covid-19
Kelompok Usaha Perhutanan Madu Jaya Lestari Desa Teluk Nibung memiliki 10 anggota. Setiap anggota membudidayakannya. Total produksi dari semua anggota 80 kg per bulan.
”Penjualan per kilogram berkisar Rp 110.000-Rp 120.000. Penghasilan bersih per bulan Rp 4 juta. Masyarakat lokal juga banyak memesan, terutama saat pandemi Covid-19,” kata Gio.
CEO dan pendiri Pesona Kalbar Hijau (PKH), Dede Purwansyah, mengatakan, madu kelulut memiliki propolis yang baik untuk tubuh. Hal itu membuat permintaan pasar tinggi sejak pandemi Covid-19. PKH merupakan pendamping usaha hutan sosial. Mereka mendorong skema-skema produksi masyarakat untuk sampai di rantai pasok pasar yang jelas agar produk masyarakat bisa dikenal dan meningkat.
Pada 2020, terutama saat pandemi, permintaan terhadap madu kelulut mencapai 500 kg per bulan, naik dari biasanya sekitar 20 kg per bulan. Dari tahun 2020 ke 2021, total transaksi penjualan madu kelulut sekitar Rp 60 juta per bulan.
”Bisa mendongkrak ekonomi masyarakat sekitar hutan dan bisa bertahan saat pandemi Covid-19,” ujar Dede.
Penghasil madu kelulut di Kabupaten Kubu Raya ada 14 kelompok. Sebanyak 12 kelompok di Kecamatan Batu Ampar, 1 kelompok di Kecamatan Kubu, dan 1 kelompok di Kecamatan Kakap. Dominannya di Kubu Raya karena ada skema proteksi dan produksi. Produksi per kelompok rata-rata 60 kg-100 kg per bulan.
Madu kelulut potensial di daerah Batu Ampar karena jauh dari hiruk-pikuk dan polusi. Kemudian, masih ada nektar dari pohon dan tumbuhan hutan di mangrove ataupun area gambut membuatnya cocok untuk pengembangan madu kelulut.
Kepiting bakau
Selain madu kelulut, daerah pesisir juga memiliki potensi budidaya kepiting bakau. Ketua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial Silvofishery Pembudidaya Kepiting Bakau Batu Ampar Aliansyah mengatakan, kelompoknya menerima bantuan dari Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Desember 2018.
Mereka pun mulai membangun 45 keramba Januari-April 2019 yang dikelola 45 anggota kelompok usaha perhutanan sosial tersebut.
Pada Mei-Oktober 2019, kelompok mulai menebar benih. Benih didapatkan dari tangkapan nelayan setempat yang beratnya di bawah 200 gram.
Pada Oktober-Desember 2019 mulai perawatan. Pada 18 Desember 2019, panen raya dihadiri sejumlah pejabat dan instansi terkait dan menghasilkan sekitar 300 kg kepiting bakau.
Setelah panen raya, pihaknya mencoba menembus pasar dan mendapat agen eksportir ke China dan Singapura. Selama Januari 2020, mereka berhasil mengekspor 1 ton kepiting bakau dengan penjualan bersih sekitar Rp 100 juta.
Baca juga: Budidaya Kepiting demi Jaga Hutan Bakau di Kalteng
Setelah itu, Februari 2020, pandemi Covid-9 mulai terjadi dan sangat berdampak pada pemasaran. Kelompoknya ketika itu menyiapkan sekitar 300 kg kepiting bakau untuk dikirim.
”Pada sore harinya, agen meminta barang jangan dikirim karena kondisi pandemi di China sehingga tidak bisa mengirim kepiting ke China,” ujarnya.
Kepiting sempat dikembalikan ke keramba, kemudian mencari agen-agen lokal di Pontianak, tetapi ternyata tidak bisa. Anggota kelompok sepakat untuk tidak menjualnya terlebih dulu.
Memberi nilai tambah
Di tengah gejolak pasar akibat pandemi, muncul inisiatif dan inovasi dari kelompok dengan memberi nilai tambah kepiting bakau dengan mengolahnya menjadi kerupuk kepiting oleh ibu-ibu anggota kelompok. Sekitar 1 ton kepiting sudah diolah menjadi kerupuk sehingga laku dijual.
”Dalam kondisi pandemi, kepiting tidak bisa dijual, sementara biaya pakan terus keluar. Jika ada pengurangan pakan, akan mengakibatkan tingkat kanibal kepiting tinggi sehingga jumlah kepiting terancam berkurang. Lebih baik diolah menjadi kerupuk,” tuturnya.
Pembuat kerupuk kepiting, Rohima (33), mengatakan, mereka mencoba meracik bahan untuk membuat kerupuk kepiting. Sudah sekitar 2 tahun mereka fokus memproduksi kerupuk kepiting.
”Kerupuk kepiting lebih menjanjikan. Setiap bulan selalu ada pesanan,” ujarnya.
Kerupuk kepiting dijual dengan berbagai ukuran. Ada yang dijual dengan ukuran 120 gram seharga Rp 10.000. ”Kalau yang ukuran 1 kg, kami jual seharga Rp 80.000. Ukurannya bervariasi,” ujar Rohima.
Kerupuk kepiting milik kelompok tersebut dijual ke Pontianak dan sekitarnya. Dalam sebulan, sekitar 100 kg terjual. Penghasilan bersihnya sekitar Rp 600.000 per bulan.
Selain mengolah kepiting menjadi kerupuk, dalam situasi Covid-19 saat penjualan kepiting bakau menurun, mereka juga membuat usaha turunan lainnya berupa beternak ikan tirus untuk mengatasi gejolak pasar. Sejak September-Oktober 2020, benih tirus telah ditabur.
Aliansyah mengatakan, sekarang berat tirus yang sedang dibudidayakan rata-rata 1,5 kg-2 kg. Target ketika sudah panen beratnya minimal 3,5 kg dengan berat gelembungnya diprediksi 30 gram ke atas. Per 10 gram harga gelembung tirus Rp 1,3 juta.
”Nilai ekonomi dagingnya rendah, hanya belasan ribu per kg. Namun, harga gelembungnya mahal. Menurut informasi, bisa untuk benang operasi dan kapsul obat. Yang jelas gelembungnya diekspor ke luar negeri,” ujar Aliansyah.
Hutan desa,
Dede Purwansyah menuturkan, wilayah Batu Ampar sejak 2017 ditetapkan menjadi hutan desa. Luas hutan desa di Batu Ampar 76.370 hektar yang tersebar di 10 desa. Kewajiban dari hutan desa berupa pengelolaan lembaga adalah penguatan kelompok dan sumber daya masyarakat. Kedua, tentang wilayah dan proteksi. Ketiga, usaha.
Kemudian, mereka harus membuat unit usaha kelola oleh kelompok usaha perhutanan sosial berbasis komunitas. Dari hasil usaha bisa melakukan proteksi. Dengan usaha-usaha yang ada, mereka diharapkan bisa menjaga hutan.
”Perlu ada insentif. Insentif bisa dari usaha yang sudah ada dan ditingkatkan nilainya menjadi rantai pasok yang bisa berbuah bisnis,” kata Dede.
Potensi lainnya, kepiting bakau. Kepiting bakau dibudidayakan karena kondisi alam mendukung. Pasar juga sudah terbuka luas saat panen perdana. Harga sempat 300.000 per kg. Namun, ternyata ada Covid-19 sehingga harga mulai anjlok dan pasar menjadi sulit.
CEO Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (IDH) Fitrian Ardiansyah mengatakan, potensi banyak, tetapi belum dikembangkan layaknya model bisnis. IDH merupakan institusi nirlaba yang mendukung rencana pertumbuhan hijau di Indonesia dan memperluas akses pasar komoditas ke dunia internasional.
Konsistensi tersebut terkait dengan beberapa hal. Pertama, konsistensi dari kuantitas, setiap bulan bisa berproduksi. Selanjutnya kualitas dan harga. Kemudian, terkait standar. ”Beberapa produk di pesisir Batu Ampar dan Padang Tikar standar di pasar internasional bagus karena mereka tetap menjaga hutan dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Itu bagus sekali,” ujarnya.
IDH memberikan dukungan, baik pendanaan maupun teknis. Hal itu untuk memastikan apa yang dikembangkan di sana bisa menjadi model bisnis dan investasi yang bisa masuk ke pasar dan pembeli.
Selain itu, ada mitra lokal, misalnya dengan PKH. Merekalah yang lebih dekat kepada petani dan membantu petani mengubah peluang menjadi model bisnis yang bisa dipercaya. IDH juga mengembangkan model bisnis yang ada masuk ke dalam rencana-rencana investasi perbankan atau lembaga keuangan nonbank.
Di tengah impitan Covid-19, peluang selalu ada. Masyarakat di Kubu Raya terbukti mampu memanfaatkannya sambil menjaga kelestarian alam.