Pencairan Dana Desa di NTT Minim, Tata Kelola Perlu Dievaluasi
Pencairan dana desa di NTT hingga 11 Juni 2021 baru mencapai 22,26 persen. Kebijakan ”refocusing” anggaran oleh pemkab menjadi faktor penghambat. Di sisa waktu enam bulan pencairan, pemanfaatan dana desa mesti dikawal.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Pencairan dana desa tahap pertama di Nusa Tenggara Timur baru mencapai 22,26 persen atau menjangkau 1.916 desa per 11 Juni 2021. Kebijakan refocusing anggaran oleh pemerintah kabupaten menjadi faktor penghambat. Pengelolaan dana desa perlu dievaluasi secara menyeluruh sehingga pemanfaatan dana itu benar-benar mencapai sasaran.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Manek, di Kupang, Kamis (24/6/2021), mengatakan, total dana desa tahun anggaran 2021 senilai Rp 3,059 triliun. Dengan demikian, pada 2015-2021 total dana yang sudah tersalurkan di NTT sekitar Rp 16 triliun.
”Khusus tahun ini, pencairan dana desa hingga 11 Juni 2021 mencapai 22,26 persen atau 1.916 desa dari total 3.026 desa di NTT. Ini pencairan tahap pertama dengan total dana senilai Rp 331 miliar dari total anggaran Rp 3,059 triliun. Masih ada 1.110 desa yang belum mencairkan dana desa,” ucap Viktor.
Keterlambatan pencairan dana itu, antara lain, juga dipicu bencana badai Seroja. Selain itu, ada refocusing anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19 sehingga beberapa hal dalam APBDes belum dibahas. Menurut Manek, sejauh ini pihak desa masih menunggu hasil refocusing anggaran oleh pemkab. Namun, ada juga desa yang membahas APBDes terlebih dahulu, setelah disesuaikan dengan hasil refocusing anggaran tiap-tiap kabupaten.
Viktor memaparkan, dana desa bersumber APBN harus menunggu refocusing anggaran dari pemkab karena ada keterkaitan dengan bantuan langsung tunai bagi masyarakat desa yang bersumber dari APBDes dan APBD.
Viktor yang juga asal Malaka ini mengatakan, sesuai petunjuk teknis dari Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi, dana desa harus bisa memulihkan ekonomi nasional melalui peran BUMDes. Namun, ketika muncul pandemi Covid-19, sekitar 8 persen dana desa mesti dialihkan untuk penanggulangan Covid-19. Pengalihan dana untuk pembelian masker, pengadaan posko Covid-19, dan sosialisasi pencegahan serta penanggulangan Covid-19.
Alokasi dana bagi 3.026 desa nilainya bervariasi, yakni dari Rp 616 juta hingga Rp 2,7 miliar. Jumlah dana ini tergantung dari sumber daya alam desa, luas wilayah, jumlah penduduk, masalah yang dihadapi desa, dan tingkat sumber daya masyarakat desa.
Selain itu, ada pula bantuan langsung tunai (BLT) kepada keluarga penerima manfaat di desa senilai Rp 300.000 per bulan per keluarga. Sisa dana desa kemudian dimanfaatkan sesuai hasil musyawarah desa, termasuk untuk BUMDes di setiap desa.
BUMDes
Dari 3.026 desa di NTT telah terbentuk 2.116 unit BUMDes. Rinciannya, BUMDes aktif 1.421 unit dan BUMDes tidak aktif 695 unit. Desa yang belum terbentuk BUMDes sebanyak 910 unit.
”Penyebab BUMDes tidak aktif, antara lain, saat pembentukan atau pendirian BUMDes, pengurus yang dipilih dalam forum tanpa proses seleksi ketat sehingga kapasitas pengurus belum memadai untuk menggerakkan ekonomi dan bisnis dalam BUMDes. Selain itu, bisa juga terjadi pergantian pengurus BUMDes saat kepala desa diganti,” kata Viktor.
Adapun dari sisi manajemen, pengetahuan manajemen keuangan dan pemasaran para pengelola BUMDes masih terbatas. Sementara pemilihan unit usaha belum berbasis pada produksi unggulan lokal sehingga aktivitas BUMBDes hanya berupa perdagangan eceran yang bersifat sangat lokal.
Dari sisi permodalan, kurangnya kontribusi atau penyertaan dana desa karena pengurus belum memiliki rencana usaha dan analisis kelayakan usaha yang memadai. ”Jika pengurus BUMDes paham manajemen dan menghayati tujuan dasar pembentukan BUMDes, desa-desa penerima manfaat, tidak akan mengalami masalah kemanusiaan. Gizi buruk, rawan pangan, stunting, dan tidak ada warga memilih menjadi TKI ilegal ke luar negeri,” kata Viktor.
Viktor menambahkan, jumlah pendamping dana desa saat ini 1.560 orang, tetapi 24 orang menarik diri sehingga sisa 1.526 orang. Setiap orang mendampingi 3-4 desa di kecamatan itu. Mereka membantu aparatur desa untuk menyusun APBDes dan admistrasi lain, termasuk manajemen BUMDes.
Ia mengatakan, sudah Rp 16 triliun dana desa digelontorkan pada 2015-2021, tetapi belum mampu menghapus angka kemiskinan di NTT. Provinsi ini masih bertengger pada peringkat ketiga termiskin nasional setelah Papua dan Papua Barat. Sejumlah masalah masih menghantui, seperti gizi buruk dan rawan pangan. Bahkan, angka stunting masih berada pada peringkat satu nasional.
Evaluasi
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, Stanis Man mengatakan, perlu evaluasi terhadap pengelolaan dana desa melibatkan bupati, camat, kepala desa, DPRD, kejaksaan, dan kepolisian. Evaluasi ini penting untuk memperbaiki kinerja aparatur desa dan sejumlah masalah terkait pengelolaan dana desa sehingga pemanfaatannya sesuai target sasaran.
”Banyak kasus korupsi dana desa oleh aparatur desa di sejumlah desa, tetapi sering terabaikan karena beberapa faktor. Salah satunya sistem kekeluargaan yang masih kuat di desa-desa sehingga mereka tidak lapor ke aparat penegak hukum terkait penyelewengan dana oleh aparat desa,” kata Stanis Man.
Banyak kasus korupsi dana desa oleh aparatur desa di sejumlah desa, tetapi sering terabaikan karena beberapa faktor. Salah satunya sistem kekeluargaan yang masih kuat di desa-desa. (Stanis Man)
Pencairan dana desa yang baru mencapai 22,26 persen, menurut Stanis, perlu dikebut karena waktu penyaluran hanya tersisa enam bulan hingga tahun anggaran selesai. ”Ini perlu dikawal sehingga dana itu dimanfaatkan sesuai kepentingan desa,” katanya.
Kasus penyelewengan dana desa di NTT terakhir kali menimpa mantan Kepala Desa Letneo Selatan, Kecamatan Insana Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara, periode 2014-2020, Marselinus Sanan. Dia ditahan Kejaksaan Negeri TTU karena menyelewengkan dana desa senilai Rp 800 juta. Dia telah ditetapkan sebagai tersangka dan saat ini ditahan di Kejaksaan Negeri TTU.