Eksploitasi Nikel Perlu Dibarengi Pemberdayaan Masyarakat Lingkar Tambang
Masyarakat di lingkar tambang nikel perlu diintervensi dengan strategi yang tepat agar mereka tak hanya menjadi korban dari eksploitasi nikel untuk kendaraan listrik yang digadang rendah emisi.
Oleh
VIDELIS JEMALI DAN SAIFUL RIJAL YUNUS
·6 menit baca
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Kondisi area pertambangan di daerah bukit Desa Tambakua, Kabupaten Konawe Utara, Sultra, seperti terlihat pada Senin (5/8/2019).
KENDARI, KOMPAS — Industri pertambangan dan pengolahan nikel di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah berdampak pada kerusakan lingkungan dan perubahan struktur masyarakat. Ribuan hektar lahan terbuka dan laut tercemar, yang semuanya berdampak buruk pada masyarakat di lingkar tambang. Diperlukan strategi dan komitmen bersama agar masyarakat tetap berdaya di tengah euforia kendaraan listrik yang rendah emisi dengan nikel sebagai komponen utamanya.
Hal itu mengemuka dalam diskusi virtual saat peluncuran Laporan Studi Lapangan Kondisi Lingkungan Tambang Nikel oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Rabu (23/6/2021). Studi tersebut memotret kondisi lingkungan di Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Sulawesi Tengah (Sulteng), dua daerah episentrum pertambangan dan pengolahan nikel. Studi dilakukan selama Januari-Februari 2021.
Nikel merupakan material kunci kendaraan listrik, yakni bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik. Kendaraan listrik digadang-gadang rendah emisi atau ramah lingkungan. Negara maju saat ini berlomba-lomba menghasilkan kendaraan listrik. Indonesia tak ketinggalan dengan rencana besar membentuk perusahaan penghasil baterai kendaraan listrik.
Direktur Walhi Sultra Saharuddin menuturkan, dari studi lapangan yang dilakukan di Kabupaten Kolaka dan Konawe Utara, ditemukan perubahan sosial dalam struktur kehidupan masyarakat. Di Kolaka, misalnya, warga yang dulu bertani atau berkebun serta melaut perlahan berubah menjadi pekerja pabrik atau buruh.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Permukiman penduduk berdekatan dengan bukit penambangan nikel di Desa Tapunggaya, Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara, Sultra, Rabu (7/8/2019).
”Nelayan yang dulu bebas mencari ikan di perairan Kolaka harus keluar lebih jauh karena laut yang berubah setelah puluhan tahun mendapat pengaruh dari industri tambang nikel. Karena kondisi itu, sebagian nelayan kini bekerja di tambang. Para ibu di Tanggetada, Kolaka, bahkan sekarang harus menjadi pemecah batu bersama anaknya untuk memenuhi kebutuhan hidup,” kata Saharuddin.
Secara umum, lanjut Saharuddin, sebanyak 25.808 warga di dua kecamatan lingkar tambang nikel di Kolaka perlahan harus mengubah pola hidup dari masyarakat agraris dan nelayan menjadi masyarakat industri. Hal ini tidak diimbangi dengan upaya pemerintah untuk memberikan jaminan penghidupan, juga peningkatan kemampuan secara masif.
Hal sama terjadi di Konawe Utara dengan 54 izin usaha pertambangan (IUP). Daerah itu dieksploitasi untuk pertambangan nikel. Produksi pertambangan mengubah wajah daratan hingga lautan, yang berkonsekuensi terhadap terjadinya degradasi lingkungan.
Di kabupaten tersebut, setiap tahun terjadi banjir. Banjir bandang pada 2019 merugikan Konawe Utara senilai Rp 600 miliar.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Seorang warga berusaha mencari barang yang tersisa setelah banjir bandang menghanyutkan rumahnya di Desa Topowatu, Kecamatan Asera, Kabupaten Konawe Utara, Sabtu (22/6/2019).
Dugaan pencemaran karena pertambangan dan pengolahan nikel juga terjadi di Kabupaten Morowali, Sulteng, terutama di wilayah pesisir, yakni Bahodopi, Bungku Timur, Bungku Pesisir, Bungku Selatan, dan Menui Kepulauan. Pertambangan nikel di Morowali terkonsentrasi di tiga kecamatan, yakni Bahodopi, Bungku Timur, dan Bungku Pesisir.
Ada 43 IUP dengan wilayah kelola 81.696 hektar atau 24,5 persen dari luas daratan Morowali. Selain pertambangan nikel, sejak 2016, beroperasi PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Bahodopi, kawasan industri yang menampung perusahaan-perusahaan pengolah ore(material mentah mengandung nikel).
”Laut di daerah-daerah tersebut tercemar limbah sisa pertambangan (sisa galian orenikel) yang terbawa air pada musim hujan sehingga laut menjadi berwarna kecoklatan. Material tersebut kemudian mengendap menjadi lumpur di dasar laut mencemari ekosistem mangrove dan ekosistem laut,” kata Kepala Departemen Advokasi Walhi Sulteng Khaeruddin di Palu, Sulteng.
Nelayan di Desa Lafeu, Kecamatan Bungku Pesisir, misalnya, sebelum pertambangan masif di sekitar wilayah tersebut dan di daerah hulu memanen ikan melimpah berton-ton dalam sehari. Namun, saat ini, tangkapan nelayan sudah tidak melimpah seperti dulu lagi. Ikan sulit berkembang biak di sekitar pesisir karena dasar laut sudah dipenuhi lumpur.
KOMPAS/MUKHAMAD KURNIAWAN
Pekerja PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, meninggalkan kawasan pabrik seusai kerja, Senin (28/1/2019) sore.
Hal sama terjadi di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi. Selain endapan sisa galian ore, air laut juga diduga tercemar karena limbah cair panas dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di kawasan PT IMIP. Limbah cair panas yang dialirkan ke perairan Desa Fatufia menyebabkan kenaikan suhu air laut 39 derajat celsius. Kondisi tersebut mengganggu ikan dan aktivitas keramba jaring nelayan setempat.
”Dengan situasi tersebut, nelayan tidak bisa lagi melaut di perairan setempat. Mereka akhirnya melaut hingga 50 mil (sekitar 80 kilometer) dari pesisir yang berdampak pada makin tingginya ongkos produksi mereka menangkap ikan. Nelayan kebanyakan memiliki armada dan alat produksi sederhana,” ujar Khaeruddin.
Saat dimintai tanggapan terkait dugaan pencemaran pertambangan di Morowali, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sulteng Haris Kariming mengatakan, kewenangan dan pengawasan bidang mineral dan batubara sudah diserahkan ke pemerintah pusat.
Limbah itu sama sekali tak mengandung unsur kimia. Air laut dipakai untuk menghemat penggunaan air tawar.
Adapun soal limbah cair panas dari PT IMIP, Juru Bicara PT IMIP Dedy Kurniawan menyatakan keberadaan limbah tersebut benar. Namun, area yang terkena dampak limbah cair panas itu bukan area tangkapan ikan. Titik tersebut masih berada di pinggir laut yang dangkal. Saat surut, titik tersebut menyembul dengan jelas.
Dia menjelaskan, limbah cair tersebut air laut yang disedot melalui pipa besar untuk mendinginkan boilerpembangkit listrik tenaga uap. Air itu lalu dikembalikan ke laut. ”Limbah itu sama sekali tak mengandung unsur kimia. Air laut dipakai untuk menghemat penggunaan air tawar,” ujarnya.
Strategi
Saharuddin mengatakan, eksploitasi nikel untuk energi ramah lingkungan dengan wujud mobil listrik hanya memberikan keuntungan pada pemodal besar. Di sisi lain, masyarakat kecil, terutama di lingkar tambang, hanya menanggung dampak buruk pertambangan nikel, baik polusi, degradasi lingkungan, perubahan sosial, maupun bencana.
Perusahaan dan pemerintah, menurut Khaeruddin, harus bertanggung jawab atas kondisi di lingkar tambang. Bentuknya dengan memperbaiki tata kelola lingkungan pertambangan dan pengolahan nikel demi kelestarian lingkungan. Selain itu, perusahaan-perusahaan tambang harus memulihkan kondisi laut yang tercemar saat ini.
”Bersama pemerintah, mereka juga perlu membantu nelayan dengan alat produksi yang memadai agar bisa melaut jauh sebagai bentuk adaptasi terhadap pencemaran pesisir,” katanya.
Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi Yuyun Harmono menyampaikan, transisi energi yang terjadi saat ini penting untuk dikawal, terutama dampak terhadap masyarakat. Terjadinya perubahan skala besar di lingkup global dengan kendaraan listrik seharusnya tidak meminggirkan masyarakat yang notabene berada di sumber energi untuk model transportasi tersebut.
”Kami setuju ada transisi energi yang adil, tetapi harus dilengkapi transisi material yang adil. Transformasi global tidak hanya meminggirkan masyarakat, tetapi juga tidak memberikan dampak buruk dan sudah seharusnya memberikan manfaat untuk masyarakat lingkar tambang nikel,” katanya.
Kompas/Mohamad Final Daeng
Pekerja memeriksa produk feronikel hasil pengolahan bijih nikel di pabrik PT Aneka Tambang (Antam) di Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, Jumat (11/5/2011).
Perubahan strategi energi, kata Direktur Program Koaksi Indonesia Verena Puspawardani, memerlukan kerangka pengaman yang jelas dan terukur. Kerangka pengaman penting untuk diterapkan ke wilayah yang menjadi sumber nikel. Tidak hanya terkait perubahan struktur sosial masyarakat, tetapi juga pada peningkatan kualitas hidup, dampak lingkungan, dan setiap aspek di dalam industri nikel.
Dihubungi secara terpisah, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari Syamsu Anam menjelaskan, puluhan tahun industri nikel berjalan, tidak banyak mengubah kondisi ekonomi masyarakat. Malah, semakin hari industri ini hanya mengeksploitasi alam hingga kehidupan masyarakat.
Berkembangnya industri nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik, tutur Syamsu, seharusnya berdampak positif bagi daerah atau skala nasional. Akan tetapi, sektor ini hanya sektor terbatas yang tidak semua orang bisa masuk di dalamnya.
”Jika tidak memiliki modal besar, masyarakat harus memiliki keterampilan. Namun, jika tidak punya keduanya, hanya akan menjadi penonton dan menerima dampak buruknya saja. Diperlukan adaptasi yang dilakukan secara kontinu,” ucapnya.
Adaptasi tersebut, ia melanjutkan, bukan melakukan migrasi atau berpindah sektor pekerjaan, melainkan mengembangkan sektor tersebut untuk kebutuhan industri setempat. Misalnya, petani atau nelayan menjadi pemasok hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan industri yang terus meningkat.