Aktivitas pembalak kerap memicu munculnya api. Saat gambut kering, api yang jatuh di gambut dapat cepat sekali menyambar sekitarnya dan menyebabkan kebakaran meluas.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Ungkapan lawas ”mencegah lebih baik daripada mengobati” tepat untuk menghindari terjadinya bencana di negeri ini, termasuk kebakaran hutan dan lahan dan kabut asap yang kerap berulang. Jangan sampai masyarakat menuai beban berlipat dari kabut asap dan pandemi Covid-19.
Sejak awal tahun hingga awal Juni 2021, kebakaran hutan dan lahan terdeteksi cukup luas. Sebarannya lebih dari 35.000 hektar, sebagaimana data Sistem Monitoring Karhutla Sipongi. Dari luas tersebut, setengah lebih membara di areal gambut seperti di Riau dan Kalimantan Barat.
Sejumlah antisipasi dini didorong agar kabut asap kebakaran jangan sampai berulang tahun ini. Di antaranya, modifikasi di atas langit Sumatera dan Kalimantan.
Sejak pekan lalu hingga 25 Juni mendatang, penyemaian garam (NaCl) berlangsung di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan, yang dikenal kawasan gambut langganan kebakaran. Penyemaian dilakukan Tim Modifikasi Cuaca Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Antisipasi dini lainnya diinisiasi oleh Kepolisian Daerah Jambi lewat supervisi pemasangan sekat-sekat kanal gambut pada areal korporasi di Kabupaten Muaro Jambi yang juga berbatasan langsung dengan Sumatera Selatan. Kanal primer sepanjang 25 kilometer mulai disekat bertahap sejak Maret lalu. Hingga kini selesai dibangun delapan unit dan masih dilanjutkan dengan sekat-sekat lainnya.
Kepala Polda Jambi Inspektur Jenderal Albertus Rachmad Wibowo mengatakan, pembangunan sekat diperlukan untuk menahan air dalam kanal tetap tinggi di permukaan sepanjang musim kemarau. Jika gambut tetap basah, api takkan mudah menyebar.
Keberadaan sekat kanal sekaligus menghambat masuknya pembalak-pembalak liar yang kerap mencuri kayu dalam hutan. Pembalak memanfaatkan jalur kanal perusahaan untuk mengalirkan kayu-kayu curian.
Untuk melibatkan masyarakat sekitar menjaga jalur itu dari ancaman kebakaran, dikembangkan budidaya lele dan toman. Jumlahnya 12.000 bibit ditebar dalam 17 unit keramba yang disiapkan Polres dan Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi.
Masyarakat diberikan sumber ekonomi baru. Tidak lagi merambah atau membalak. ”Budidaya ikan dalam kerambah bahkan akan mendorong mereka turut menjaga wilayah dari ancaman kebakaran dan masuknya pembalak,” katanya.
Budidaya ikan dalam kerambah bahkan akan mendorong mereka turut menjaga wilayah dari ancaman kebakaran dan masuknya pembalak. (Irjen Albertus Rachmad Wibowo)
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Ahmad Bestari mengatakan, demi mencegah kebakaran berulang, pihaknya turut memperketat pengawasan. Pemetaan jalur pembalakan liar yang memicu kebakaran di atas gambut ditindaklanjuti dengan operasi.
Data Dishut Jambi, setiap kesatuan pemangku kawasan hutan produksi juga dialokasikan dana penanganan karhutla Rp 30 juta hingga Rp 60 juta.
Made Yaso, anggota pemadam kebakaran di wilayah Kumpeh, menceritakan beratnya perjuangan tim setiap kali kebakaran melanda wilayah itu. Pada musim kemarau, air dalam kanal-kanal sejumlah korporasi di wilayah itu biasanya dengan cepat surut. Lapisan gambut pun menjadi kering dan rentan terbakar. Apalagi, wilayah itu rawan pembalakan liar.
Aktivitas para pembalak kerap memicu munculnya api. Saat gambut kering, sedikit saja api jatuh di gambut dapat cepat sekali menyambar sekitarnya. Jika sudah meluas, bara api yang menjalar di bawah permukaan gambut akan sangat sulit dikendalikan.
Fenomena langit merah
Kebakaran dua tahun silam di wilayah itu sempat membawa wilayah Kumpeh pada titik kritis kualitas udara. Bahkan terjadi fenomena langit merah yang disebabkan begitu tingginya partikutat polutan halus sehingga sulit ditembus sinar matahari. Fenomena itu juga menimbulkan gelombang ketakutan masyarakat dan memicu pengungsian.
Berdasarkan data indeks kualitas pencemar udara yang diolah Pemerintah Kota Jambi pada 16 Oktober 2019, partikel debu PM 2,5 pada pukul 07.00 mencapai level 1.360, jauh melampaui ambang batas alias berbahaya untuk kesehatan.
Kondisi tak kalah dasyat terjadi enam tahun silam. Kebakaran hutan seluas 2,6 juta hektar di Indonesia pada 2015 membawa kerugian hingga Rp 221 triliun di negeri ini, sebagaimana dirilis Bank Dunia. Kerugian tersebut setara dengan 1,9 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia tahun itu atau hampir dua kali lipat dibandingkan kerugian akibat tsunami Aceh (Kompas, 20 September 2019).
Di Jambi, kebakaran gambut terluas, mencakup Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, dan Muaro Jambi, menimbulkan kerugian Rp 44 triliun dengan luas kebakaran 628.627 hektar. Kerugian sebesar ini berdasarkan hasil studi Kajian Valuasi Dampak Kebakaran Gambut oleh Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan Komunitas Konservasi Indonesia WARSI. Besarnya kerugian itu setara dengan 15 kali APBD Provinsi Jambi 2015 yang saat itu hanya Rp 3,5 triliun.
Dari riset itu, ditawarkan salah satu solusi pengelolaan gambut berkelanjutan berupa konsep pertanian ramah iklim yang mengedepankan pemanfaatan lahan dan jenis pengembangan budidaya berdasarkan kondisi ekologis.
Jambi sebenarnya memiliki potensi besar dari sektor gambut. Berdasarkan data Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), gambut di Jambi optimal menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 55 juta ton CO2 hingga tahun 2030, dengan catatan jika konservasi gambut berjalan.
Dengan segala potensi itu, selayaknya seluruh pihak turut memperhatikan fungsi gambut demi keselamatan lingkungan. Jangan sampai peran penting dan strategisnya sebagai stabilisator iklim diabaikan dan rusak. Mengubahnya jadi sumber petaka.