Tradisi Semana Santa, Ikon Katolik di Indonesia Masih Dikaji
Prosesi Jumat Agung “Semana Santa” di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, sebagai ikon Katolik di Indonesia hingga kini masih dalam kajian.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA/FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Keunikan prosesi Jumat Agung Semana Santa di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, sebagai ikon katolik di Indonesia masih dalam kajian. Wisata religious ini berbeda dengan keberadaan candi Borobudur sebagai ikon agama Buddha di Indonesia. Semana Santa melibatkan semua golongan umat beragama di Flotim.
Direktur Jenderal Bimas Katolik Kementerian Agama RI Yohanes Bayu Samodro dihubungi di Jakarta, Selasa (22/6/2021), mengatakan, konsep ini lahir begitu cepat. Gagasan Semana Santa sebagai ikon katolik Indonesia sangat erat kaitan dengan kehadiran Candi Borobudur di Jawa Tengah sebagai ikon agama Buddha dan Candi Prambanan, ikon Hindu di Indonesia.
”Tetapi, kedua candi itu selama ini sebagai destinasi wisata unggulan, mendatangkan wisatawan dari dalam dan luar negeri. Semana Santa sebagai ikon Katolik hanya dirayakan satu tahun sekali. Karena itu, perlu kajian dan studi lebih lanjut, apalagi prosesinya melibatkan ribuan orang,” kata Bayu.
Sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia Maret 2020, kegiatan prosesi Semana Santa di Larantuka ditiadakan. Prosesi itu melibatkan kerumunan massa, berpeluang terjadi penyebaran Covid-19.
Kemenag memprediksi tahun 2022 prosesi Jumat Agung Semana Santa bisa direalisasikan jika pandemi Covid-19 sudah reda. Saat itu pula bisa dilakukan evaluasi, kajian, dan studi soal Semana Santa dan keterlibatan masyarakat dari berbagai kalangan suku, agama, dan budaya tersebut.
Semana Santa lahir secara natural, ini bukan bawaan dari luar, yang dibuktikan dengan sejarah awal kelahiran prosesi Semana Santa ratusan tahun silam. (Ahmat Bethan)
Namun, yang jelas, Semana Santa itu melibatkan berbagai kalangan umat bergama di Larantuka, seperti Islam, Hindu, Kristen, dan Buddha. Mereka dengan cara masing-masing bersatu terlibat dalam kegiatan yang melibatkan ribuan peziarah dari berbagai wilayah, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Peziarah rohani
Penulis buku Semana Santa, yang juga tokoh masyarakat Larantuka, Yance Fernandes mengatakan, peserta Semana Santa setiap tahun rata-rata 10.000 orang. Mereka adalah peziarah rohani sekaligus berwisata. Mereka datang dari berbagai suku, agama, dan budaya.
”Teman-teman dari remaja masjid, GP Ansor, dan dari Hindu serta Buddha mengawali prosesi itu bersama aparat keamanan. Mereka juga berjualan cendera mata khas Semana Santa. Mereka tidak ikut dalam prosesi keliling kota Larantuka, tetapi mereka menciptakan rasa aman bagi peziarah,” kata Fernandes.
Prosesi keagamaan ini cukup sakral dan mistis, tidak semua orang terlibat berdoa dan bernyanyi tetapi mereka dapat menikmati kegiatan rohani itu secara langsung atau tidak langsung. Mayoritas peserta berasal dari daratan Flores, seperti Sikka, Ende, Ngada, Nagekeo, Manggarai Timur, Manggarai, Flores Timur, Lembata, Manggarai Barat, dan daratan Timor.
Penyedia layanan warung makan dan restauran bagi ribuan peziarah itu ratusans warga Minang dan beberapa dari Jawa. Mereka juga termasuk penyedia kendaraan bagi para peziarah.
Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Flores Timur Martinus Payong mengatakan, setelah gagasan itu dilontarkan Kemenag yan diwakili Dirjen Bimas Katolik awal Februari 2021 kepada Uskup Larantuka Mgr Fransiskus Kopong Kung, ia langsung bertemu suku-suku Semana Santa di Larantuka, menyampaikan gagasan itu. Suku-suku di Larantuka termasuk Raja Larantuka.
”Kami juga bertemu para pemimpin lembaga keagamaan di Flores Timur, seperti Ketua MUI, Ketua Parisada Hindu Dharma, Ketua Walubi, dan Ketua GMIT. Semua pemimpin umat beragama ini mendukung wacana tersebut, dan berharap segera direalisasikan,” kata Payong.
Ia mengatakan, peziarah itu menginap di rumah-rumah warga Larantuka, yang juga bergama Islam, Hindu, Kristen, dan Buddha. Umat agama lain juga menjual pernak-pernik Katolik, seperti rosario, baju-baju Semana Santa, salib, dan berbagai cendera mata khas Larantuka kepada para peziarah.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Flores Timur Ahmat Bethan mengatakan mendukung rencana Kemenag menjadikan Semana Santa sebagai ikon katolik nasional, sekaligus mengembangkan pariwisata di Flores Timur. Dengan ini diharapkan Semana Santa bisa mendatangkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan bagi masyarakat Flotim.
Namun, gagasan itu tidak boleh menghilangkan pemahaman dasar masyarakat Larantuka dan umat Katolik Flores secara keseluruhan mengenai iman mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa.
”Semana Santa lahir secara natural, bukan bawaan dari luar, yang dibuktikan dengan sejarah awal kelahiran prosesi Semana Santa ratusan tahun silam. Kekhasan agama yang dipadukan dengan agama dari luar ini tidak boleh dihilangkan,” ujar Bethan.