Penghentian Penyelidikan Kasus Dana Covid-19 di Sumbar Dikritik
Ahli hukum pidana Universitas Andalas mengkritik penghentian penyelidikan kasus dugaan penyelewengan dana Covid-19 di BPBD Sumatera Barat karena Polda Sumbar dinilai tidak sungguh-sungguh menindaklanjuti kasus tersebut.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Ahli hukum pidana Universitas Andalas mengkritik penghentian penyelidikan kasus dugaan penyelewangan dana Covid-19 pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumatera Barat. Polda Sumbar dinilai tidak sungguh-sungguh menindaklanjuti kasus tersebut. Polisi menyatakan menghentikan penyelidikan kasus ini karena tidak terpenuhinya unsur kerugian keuangan negara.
Doktor hukum pidana Universitas Andalas Edita Elda, Selasa (22/6/2021), berpendapat, Polda Sumbar berpandangan sempit dalam menghentikan kasus ini. Sebab, Polda hanya fokus pada aspek kerugian keuangan negara yang tidak terpenuhi karena pejabat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sudah mengembalikannya.
Menurut Edita, hal tersebut hanya berlaku apabila kasusnya murni malaadministrasi, seperti lebih bayar dan lain-lain. Sementara itu, di Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ada dugaan pemahalan harga yang termasuk dugaan mark up atau dalam bahasa hukumnya penggelembungan harga.
Selain dugaan mark up, LHP BPK juga menemukan adanya pembayaran miliaran rupiah secara tunai yang tidak sesuai ketentuan. Kemudian, ada pula pembayaran melalui rekening anak, istri, dan menantu pejabat di BPBD Sumbar.
Pansus Covid-19 DPRD Sumbar juga menemukan adanya pengakuan pemberian imbalan (fee) oleh rekanan ke pejabat BPBD, penunjukan perusahaan yang tidak sesuai bidangnya, serta perusahaan yang baru dibentuk delapan hari sebelum penunjukan.
”Kerugian keuangan negara hanya salah satu dari bentuk tindak pidana korupsi berdasarkan UU Tipikor. Seharusnya Polda Sumbar lebih menggali dugaan penggelembungan harga, dugaan suap, rekanan yang bermasalah dalam pengadaan barang dan jasa, atau ada atau tidaknya kepentingan dan nepotisme lainnya yang melibatkan lingkungan keluarga terdekat,” papar Edita.
Dalam LHP BPK tentang Kepatuhan atas Penanganan Pandemi Covid-19 Tahun 2020 pada Pemerintah Provinsi Sumbar terdapat setidaknya dua jenis temuan pelanggaran di BPBD Sumbar, yaitu indikasi pemahalan harga pengadaan sanitasi tangan (hand sanitizer) dan adanya transaksi pembayaran kepada penyedia barang/jasa yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Pada pengadaan sanitasi tangan, ada indikasi pemahalan harga untuk ukuran 100 mililiter Rp 1,872 miliar dan pemahalan harga untuk ukuran 500 mililiter Rp 2,975 miliar. Selain itu, ada pula kekurangan volume pengadaan logistik kebencanaan (masker, pistol termometer, dan sanitasi tangan) senilai Rp 63 juta. Total kerugian negara Rp 4,91 miliar.
Adapun untuk transaksi pembayaran yang tak sesuai ketentuan ditemukan potensi penyalahgunaan dana dari pembayaran tunai pada penyedia dan pembayaran kepada orang-orang yang tak dapat diidentifikasi sebagai penyedia senilai Rp 49,280 miliar. Pembayaran tunai itu tak sesuai Instruksi Gubernur Sumbar Nomor 2/INST-2018 tentang Pelaksanaan Transaksi Nontunai.
Selain itu, ada pula temuan lainnya terkait pengadaan barang untuk penanganan Covid-19 Rp 7,63 miliar yang dimuat dalam LHP Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi Sumbar tahun anggaran 2020. Temuan ini merupakan hasil tindak lanjut dari permintaan audit lanjutan oleh Pansus Covid-19 DPRD Sumbar.
Menurut Edita, anggaran Rp 12,47 miliar yang diduga diselewengkan itu, baru segelintir dari total anggaran Rp 150 miliar di BPBD Sumbar. Jika pengadaan barang lainnya ditelusuri, tidak tertutup kemungkinan ada temuan lainnya. Jika mau, polda sebenarnya bisa meminta BPK melakukan audit investigasi.
”Suatu kasus jika tidak terpenuhi dua bukti permulaannya, memang tidak bisa dipaksakan untuk dilanjutkan ke penyidikan. Cuma, dari LHP BPK, hasil temuan bisa dikembangkan jika memang ada kemauan,” kata peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Unand itu.
Edita melanjutkan, kondisi bencana atau pandemi Covid-19 saat ini membuat sifat ketercelaan indikasi penyelewangan dana Covid-19 jauh lebih berat. ”Namun, ini tidak dilihat aparat penegak hukum. Melihat dengan gampangnya mengembalikan uang, cuma melihat faktor kerugian keuangan negara, maka memang tidak niat untuk memberantas korupsi,” ujarnya.
Tanggapan para peserta gelar bahwa perkara ini bukan merupakan tindak pidana karena unsur-unsur kerugian keuangan negara tidak terpenuhi. (Komisaris Besar Stefanus Satake Bayu Setianto)
Perwakilan Masyarakat Antikorupsi Sumbar, Charles Simabura, mengatakan, koalisi sedang mempersiapkan dan mengkaji langkah selanjutnya yang akan diambil terkait penghentian penyelidikan kasus oleh Polda Sumbar. ”Ada beberapa alternatif, termasuk mendesak kejaksaan dan KPK,” ujarnya.
Mantan Wakil Ketua Pansus Covid-19 DPRD Sumbar Nofrizon mengatakan, terkait pertimbangan polda menghentikan penyelidikan kasus itu masuk ranah penyelidik dan ia tidak bisa ikut campur. Namun, ia menyayangkan upaya permintaan keterangan oleh polisi terhadap dirinya yang belum menyeluruh.
”Saat dimintai keterangan, penyelidik baru menyentuk ’kulitnya’, belum menyentuh isinya, yaitu obyek yang ditelusuri pansus. Dalam rapat dengan pansus, pejabat BPBD mengakui menerima fee pengadaan hand sanitizer Rp 5.000 untuk botol kecil dan Rp 25.000 untuk botol besar dari rekanan. Apa itu tidak termasuk gratifikasi?” kata Nofrizon.
Politisi Partai Demokrat itu melanjutkan, ia proaktif menanyakan polda terkait permintaan keterangan selanjutnya. Namun, hingga penyelidikan, Nofrizon mengaku tidak pernah dipanggil lagi. Ia juga tidak tahu apakah anggota Pansus Covid-19 DPRD Sumbar lainnya pernah dimintai keterangan.
Nofrizon berharap, temuan baru oleh BPK senilai Rp 7,63 miliar bisa terungkap. Pada 24 Mei 2021, ia dan lima anggota DPRD Sumbar lainnya juga telah melaporkannya ke KPK. ”Kalau di-SP3-kan (dihentikan) lagi, itu urusan merekalah lagi,” ujarnya.
Sebelumnya, Polda Sumbar menghentikan penyelidikan kasus dugaan penyelewangan dana Covid-19 di BPBD Sumbar karena unsur kerugian negara tidak terpenuhi dalam perkara tersebut.
Kepala Bidang Humas Polda Sumbar Komisaris Besar Stefanus Satake Bayu Setianto, Selasa (22/6/2021), mengatakan, keputusan tersebut setelah penyelidik melakukan gelar perkara Senin (22/6/2021) kemarin. ”Hasil gelar perkara Senin kemarin, penyelidikan kasus tersebut dihentikan,” kata Satake.
Satake menjelaskan, penyelidik menyimpulkan, perkara tersebut bukan merupakan tindak pidana. Sebab, unsur-unsur kerugian keuangan negara tidak terpenuhi. Hal ini berdasarkan hasil penyelidikan oleh penyelidik berupa keterangan saksi, dokumen-dokumen, dan keterangan ahli pidana dari Universitas Trisakti.
Hasil penyelidikan itu dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 dan surat telegram Kepala Bareskrim Polri Nomor ST/247/VIII/2016/Bareskrim tanggal 24 Agustus 2016 angka 6 bahwa Delik Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berubah dari delik formil menjadi delik materil.
Hal tersebut kemudian disandingkan dengan LHP BPK Nomor 53/LHP/XV.VIII.PDG/12/2020 tanggal 29 Desember 2020 dengan rekomendasi wajib ditindaklanjuti paling lambat 60 hari setelah lapor hasil pemeriksaan (31 Desember 2020-28 Februari 2021, tanda bukti pengembalian keuangan negara daerah terakir 24 Februari 2021, dan waktu dimulainya penyelidikan 26 Februari 2021.
”Tanggapan para peserta gelar bahwa perkara ini bukan merupakan tindak pidana karena unsur-unsur kerugian keuangan negara tidak terpenuhi,” ujar Satake. Satake menambahkan, selama penyelidikan, ada 15 saksi yang diperiksa, termasuk satu saksi ahli pidana dari Universitas Trisakti. ”Kalau ada bukti lain, kasus bisa dibuka kembali,” ujarnya.