Penggunaan pembalut sesuai standar kesehatan reproduksi belum sepenuhnya dipahami kaum perempuan. Padahal, persoalan itu dapat berdampak pada berbagai ancaman kesehatan dalam tubuh perempuan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Pengakuan kaum perempuan di Pulau Raman, Kabupaten Batanghari, menampar-nampar kesadaran Zubaidah (40), pegiat advokasi kesetaraan jender di Jambi. Kebutuhan untuk mendapatkan akses kesehatan reproduksi sulit bagaikan menggapai awan.
”Beli pembalut Rp 20.000 itu kadang harus mikir karena harganya sama dengan sebungkus rokok suami,” kisah salah seorang ibu, sebagaimana dituturkan kembali oleh Zubaidah, Selasa (15/6/2021).
Bagi kalangan perempuan di dusun itu, masa menstruasi merupakan siklus bulanan organ reproduksi yang kerap terabaikan. ”Menstruasi itu sakit (rasanya), tetapi dianggap memalukan, atau tabu untuk dibicarakan karena perempuan mengeluarkan darah kotor,” tuturnya lagi.
Ada pula semacam kebiasaan di desa itu bahwa sampah harus dibuang ke sungai, termasuk pembalut. Hal tabu itu membuat mereka semakin malu saat menghadapi masa menstruasi. Membuang pembalut dilakukan sembunyi-sembunyi.
Dari sisi ekonomi, masyarakat desa itu berada pada taraf ekonomi tak mampu dan wilayahnya terisolasi di Kabupaten Batanghari. Tingkat pendidikan warganya pun lebih dari 50 persen tidak tamat sekolah dasar. Masing-masing 18 persen tamat SD dan SMP. Hanya 10 persen tamat hingga SMA dan 2 persen yang mengenyam kuliah.
Beli pembalut Rp 20.000 itu kadang harus mikir karena harganya sama dengan sebungkus rokok suami. (Zubaidah)
Pembalut yang kebutuhan penting di masa menstruasi, terpaksa dikorbankan karena kebutuhan penghematan atau kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Dari 175 perempuan usia produktif di Pulau Raman, rata-rata hanya mengganti pembalut satu atau dua kali saja per hari demi menghemat.
”Padahal, untuk menjaga kesehatan reproduksinya, pembalut sekali pakai idealnya diganti empat hingga lima kali sehari untuk menghindari iritasi ataupun gangguan kesehatan reproduksi,” kata Zubaidah.
Masalah inilah yang menjadi kegelisahan mereka. Beranda Perempuan, sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang kesetaraan jender dan antikekerasan, menuangkan persoalan tadi dalam sepucuk surat untuk Mata Najwa. Berawal dari surat itulah akhirnya terwujud satu gerakan solidaritas membuat pembalut kain.
Pelatihan menjahit pembalut kain berlangsung di Pulau Raman pada Maret lalu. Kaum perempuan dilatih relawan Biyung Indonesia, komunitas berbasis di Yogyakarta yang konsisten memberikan informasi seputar kesehatan reproduksi dan menstruasi. Dalam waktu singkat, sekitar 1.050 pembalut kain selesai dijahit secara kolektif, lalu dibagi-bagikan kepada perempuan usia produktif di desa itu.
Gerakan menjahit pembalut kain ini juga ditularkan kepada kelompok disabilitas yang diorganisasikan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Jambi dan Universitas Islam Negeri (UIN STS) Jambi memproduksi jahit pembalut.
Pendiri Biyung Indonesia, Westiani Agustin, mengatakan selain dapat mengurangi sampah dari pengunaan pembalut sekali pakai, gerakan ini juga memilki makna penting dalam meyingkap situasi kehidupan perempuan yang tidak memiliki sumber daya atas kesehatan reproduksi dan menstruasi yang sehat.
Sebuah persoalan yang masih dipinggirkan oleh narasi pembangunan yang cenderung patriarkis. ”Rendahnya akses atas layanan kesehatan reproduksi ditambah lagi persoalan-persoalan lingkungan menyebabkan perempuan dijauhkan dari diri dan kehidupannya sendiri,” katanya.
Pengajar dari Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Syaifuddin Jambi, Wiji Utami, menjelaskan, telah banyak studi mengungkap kandungan-kandungan kimia berbahaya dalam produk-produk pembalut sekali pakai. Secara akumulasi, penggunaannya dapat menganggu kesehatan. Apalagi, butuh waktu ratusan tahun untuk mengurainya saat terbuang ke alam.
Hasil riset pihaknya mendapati umumnya perempuan masih sulit untuk beralih dari pembalut yang telah biasanya digunakan. Kalaupun tersedia pembalut alternatif, mereka menuntut kualitas pembalut tertentu, semisal bahan kainnya harus sangat lembut agar nyaman saat digunakan.
Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia Jambi, Ratumas Dewi, menambahkan tantangan lebih berat lagi dihadapi perempuan disabilitas. ”Tak jarang penyandang disabilitas mengalami perundungan dari teman-temannya saat mengahadapi menstruasi,” katanya.
Beragam bentuk diskriminasi masih kerap dialami para penyandang disabilitas. Mulai dari diskriminasi fisik, sensorik, intelektual, dan mental. Terkait kesehatan reproduksi juga rentan dialami penyandang disabilitas intelektual.
Belum lagi jika keluarga yang menjadi lingkup terdekat kurang mendukung atau malah mengabaikan, penyandang disabilitas akan sulit mendapatkan kesehatan reproduksi yang memadai.
”Padahal, mereka juga butuh mendapatkan sarana dan fasilitas yang mendukung kesehatan organ serta informasi yang tepat mengenai cara merawat kesehatan, termasuk mendapatkan pembalut yang sehat bagi organ reproduksinya,” jelasnya.
Ditambahkan Diah Irawaty, Pendiri Lets Talk About Sex and Sexuality, persoalan kesehatan reproduksi bukan isu privat melainkan isu publik. ”Merupakan persoalan kita semua karena ini menyangkut hak warga negara dan menyangkut kesehatan publik,” katanya.
Diah menyebutkan kesehatan reproduksi bukan hal memalukan, tetapi itu adalah bagian kehidupan dan merupakan hak yang harus dipenuhi negara. Negara telah meratifikasi sejumlah komitmen internasional terkait upaya memenuhi kesehatan reproduksi warganya tetapi itu saja belum cukup. ”Negara harus benar-benar memenuhinya dalam impelentasi yang luas dan tanpa diskriminasi,” katanya.
Selain itu, di tingkat akar rumput perlu dibangun berbagai sinergi meningkatkan kesadaran akan kesehatan reproduksi serta membangun gerakan solidaritas, termasuk dalam gerakan membuat pembalut ramah lingkungan.