Meski Sudah Miliki 56 Desa Peduli, Potensi Penularan HIV/AIDS di Sikka Masih Tinggi
Masyarakat peduli HIV/AIDS terbentuk di 56 desa-kelurahan dari 148 desa-kelurahan di Sikka, Nusa Tenggara Timur. Namun, hingga kini, potensi penularan penyakit berbahaya itu masih tinggi.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·2 menit baca
MAUMERE, KOMPAS — Penanggulangan HIV/AIDS di Sikka, Nusa Tenggara Timur, masih membutuhkan perhatian banyak kalangan. Meski sudah memiliki 56 desa/kelurahan peduli HIV/AIDS, potensi penularan masih tinggi karena belum semua masyarakat paham potensi penularannya.
Sekretaris Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Daerah Sikka Yohanes Siga, Minggu (20/6/2021), mengatakan, kelompok masyarakat itu terbentuk sejak 2015. Latar belakangnya saat informasi tentang HIV/AIDS masih minim. Akibatnya, kasus positif sempat bermunculan di sejumlah desa.
Kini, Siga mengatakan, angka penularan relatif bisa ditekan lewat desa peduli. Setiap desa beranggotakan 3-5 orang. Mereka menyosialisasikan tentang HIV/AIDS dan dampaknya bagi kesehatan akibat perilaku seks bebas.
”Kami dibantu dana Rp 500 juta per tahun. Dana itu harus kami kelola dengan baik agar cukup digunakan setahun. Mulai dari operasional anggota desa peduli hingga sukarelawan,” katanya.
Siga mengatakan mengusung tema STOP atau suluh, temukan, obati, dan pertahankan. Menurut dia, Jika orang dengan HIV/AIDS diberi obat antiretroviral (ARV) selama 4-5 tahun berturut-turut, kemungkinan virus itu tidak ada lagi dalam darah setelah diperiksa.
”Namun, mereka tetap diwajibkan mengonsumsi ARV. Hanya ahli yang memastikan bahwa orang itu sudah bebas HIV dan berhenti mengonsumsi ARV,” kata Siga.
Kasus HIV/AIDS pertama muncul di Sikka tahun 2003. Kini, 993 orang terdeteksi telah tertular. Sebanyak 530 orang diantaranya meninggal dunia. Sementara 463 pasien masih menjalani perawatan dengan mengonsumsi rutin ARV.
Tren penularan dari tahun ke tahun meningkat. Tahun 2019, misalnya, tercatat 875 kasus, tetapi pada Maret 2021 menjadi 993 kasus. Penyebabnya beragam, seperti masih tingginya perilaku seks bebas hingga keenganan datang ke fasilitas kesehatan.
Ironisnya, hampir 50 persen kasus itu menimpa ibu rumah tangga. Mereka tertular dari pasangan seksual masing-masing, entah suami ataupun orang lain. Selanjutnya ada kelompok remaja (20 persen) dan pria dewasa atau orangtua (30 persen).
”Ada anggapan bahwa HIV menyangkut masalah moral. Itu tidak benar. HIV sangat erat kaitannya dengan minimnya bahaya perilaku berganti pasangan,” kata Siga.
Ketua RT 002 RW 014 Desa Nita Weruoret Kecamatan Nita Kabupaten Sikka Gerardus Botu Manyela berharap pemerintah daerah tetap fokus menangani HIV/AIDS. Ia khawatir, perhatian itu teralihkan saat hanya menangani Covid-19.
”Keduanya sama-sama berbahaya. Pemerintah harus fokus menangani keduanya,” katanya.
Gerardus mengatakan, pernah ada 22 kasus HIV/AIDS di Nita Weruoret. Namun, 18 orang yang terpapar sudah meninggal dunia kurun waktu 2003-2008. Harapan hidup empat orang lainnya jauh lebih lama karena sudah mengonsumsi ARV sejak tahun 2009.