Wisata menyusuri keelokan Bali memang serasa tiada habisnya. Begitupun saat menjelajahi keanekaragaman hayati di hutan dan adat di kawasan Tamblingan, Kabupaten Buleleng, Bali.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA
·5 menit baca
Keindahan panorama dan keelokan budaya di Bali senantiasa memikat hati bagi siapa pun yang pernah berkunjung ke sana. Di luar destinasi yang sudah populer hingga ke mancanegara, ada kawasan Danau Tamblingan di Kabupaten Buleleng yang tak kalah menggoda untuk dikunjungi.
Fotografer dan penulis Ian Charles Stewart dalam buku berjudul Indonesians Portraits from an Archipelago menyebutkan, Bali sebagai permata di ujung timur Pulau Jawa. Bali juga dijuluki ”Pulau Hijau” (Green Island) karena sejauh mata memandang terlihat hamparan bukit nan subur.
Insinyur sekaligus pelukis asal Belgia, Adrien Jean Le Mayeur de Merpres, pun terkesan dengan Bali. Pelukis impresionis itu kemudian berdiam di Bali dan menempati sebuah rumah di tepi Pantai Sanur, Kota Denpasar. Ia tinggal bersama seorang perempuan Bali yang dia kagumi, Ni Pollok. Kediaman Le Mayeur dan Ni Pollok hingga saat ini masih dipertahankan dan dikenal sebagai Museum Le Mayeur.
Kekaguman dan kesan indah terhadap Bali yang ditunjukkan Stewart dan Le Mayeur boleh jadi dirasakan pula sekitar 6,275 juta wisatawan mancanegara yang mendatangi Bali sepanjang 2019. Meskipun pesona Bali sebagai destinasi masih dijaga, pandemi Covid-19 membuat kunjungan wisatawan ke Bali anjlok. Pariwisata Bali pun menyepi sejak wabah Covid-19 melanda secara global.
Setelah lebih dari satu tahun menyepi, aktivitas pariwisata di Bali perlahan-lahan digeliatkan kembali. Sejumlah persyaratan menyangkut pencegahan pandemi Covid-19 diberlakukan untuk memulihkan kepercayaan wisatawan. Hal ini seperti dialami Kompas ketika mengikuti perjalanan wisata yang dikemas sebagai kegiatan paket belajar hutan lestari berbasis tradisi di Buleleng, Bali utara.
Penyelenggara dari Jaringan Ekowisata Desa (JED) bersama Yayasan Wisnu, Bali, mewajibkan seluruh peserta dan panitia mengikuti pemeriksaan kesehatan dengan tes antigen terlebih dahulu, selambat-lambatnya sehari sebelum mengikuti kegiatan. Peserta juga diminta membawa perlengkapan protokol kesehatan, misalnya masker dan hand sanitizer.
Berwisata sekaligus belajar mengenal keanekaragaman potensi hutan Alas Mertajati di sekitar Danau Tamblingan berlangsung selama dua hari, mulai Jumat (30/4/2021) sampai Sabtu (1/5/2021). Sembari berwisata dan menikmati kesegaran pemandangan alam di perbukitan yang asri, kami juga mendapatkan wawasan dan pengalaman mengenal isi hutan dan kearifan lokal masyarakat Catur Desa Adat Dalem Tamblingan dalam menjaga lingkungan alam sekitarnya.
Kawasan Tamblingan yang meliputi sejumlah desa di sekitar Danau Tamblingan juga menyimpan sejarah peradaban. Sejumlah prasasti mulai abad ke-10 Masehi, di antaranya Prasasti Ugrasena tahun 922 Masehi sampai Prasasti Gobleg bertahun Saka 1320 atau 1398 Masehi, menyebutkan keberadaan desa-desa di bawah kekuasaan Desa Adat Dalem Tamblingan. Kumpulan desa itu dikenal sebagai Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, meliputi Desa Gobleg, Gesing, Umejero, dan Munduk.
Kawasan hutan di sekitar Tamblingan diberi nama Alas Mertajati, yang bermakna sumber kehidupan dan sekaligus sumber penghidupan masyarakat. Dari penuturan sesepuh desa, termasuk Dane Pengerajeg Adat Dalem Tamblingan I Gusti Agung Ngurah Pradnyan, masyarakat adat setempat memuliakan air sebagai prinsip budaya atau piagem gama tirta.
Konon, Tamblingan juga bermakna kesembuhan. Hal itu berkaitan dengan kisah terjadinya wabah yang melanda masyarakat sekitar Alas Mertajati. Masyarakat setempat meyakini air dari danau di tengah hutan itu adalah air suci dan berkhasiat sebagai tamba atau obat yang menyembuhkan. Dari kisah itulah muncul sebutan tamba eling yang kemudian menjadi Tamblingan.
Ketika rombongan peserta kegiatan paket belajar hutan lestari berbasis tradisi bersama JED dan Catur Desa Adat Dalem Tamblingan itu mengikuti jelajah di kawasan hutan Alas Mertajati dan Danau Tamblingan, pada Sabtu (1/5/2021), pemimpin ritual Tamblingan, Jro Balian Gede Setepen (63), mengawali kegiatan dengan memercikkan tirta (air suci) dari Pura Gubug di tepi Danau Tamblingan.
”Tirta ini diminta dari tengah danau, kepercayaan kami di Tamblingan adalah bagian dari budaya piagem gama tirta,” ujar Jro Balian.
Wisata desa
Lokasi Danau Tamblingan berdekatan dengan Danau Buyan. Kedua danau yang merupakan kaldera purba itu seakan-akan dua danau yang serupa sehingga keberadaannya kerap disebut sebagai danau kembar (twin lake).
Tirta ini diminta dari tengah danau, kepercayaan kami di Tamblingan adalah bagian dari budaya piagem gama tirta. (Jro Balian)
Danau Tamblingan dikelilingi hutan yang merupakan kawasan cagar alam Batukau seluas sekitar 13.000 hektar. Kawasan ini dikelola Balai Konservasi Sumber Daya Alam sebagai Taman Wisata Alam Danau Buyan dan Danau Tamblingan. Kawasan hutan itulah yang disebut masyarakat Catur Desa Adat Dalem Tamblingan sebagai Alas Mertajati.
Masyarakat Catur Desa Adat Dalem Tamblingan tengah mengupayakan hutan itu diakui sebagai hutan adat. Dengan demikian, masyarakat bisa semakin berperan dalam konservasi dan perlindungan Alas Mertajati.
Pangelingsir (tetua) adat Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, Dane Pengerajeg Adat Dalem Tamblingan I Gusti Agung Ngurah Pradnyan, mengungkapkan, catatan pada prasasti yang berkaitan dengan Tamblingan mengidentifikasikan masyarakat Adat Dalem Tamblingan adalah pemuja Dewa Wisnu. Dewa Wisnu adalah penguasa air dan pemelihara kehidupan. Keberadaan masyarakat di Catur Desa Adat Dalem Tamblingan diyakini sudah dimulai sekitar abad ke-10 Masehi.
”Kami meyakini para pendahulu kami sangat memperhatikan lingkungan,” ujar Dane Pengerajeg Adat Dalem Tamblingan.
Kecermatan dan kepedulian para pendahulu desa tecermin dari pengaturan lahan dan permukiman. Di kawasan lembah yang tidak curam dan terdapat aliran air, para pendahulu desa menggunakan lahan itu sebagai kawasan sawah dan kebun.
Sambil menyelam minum air. Peribahasa itu mewakili seluruh kegiatan paket belajar hutan lestari berbasis tradisi di Tamblingan. Udara bersih dan pengetahuan yang diperoleh dalam perjalanan wisata selama dua hari serasa menghadirkan oase yang membekas di ingatan.
Wisata menyusuri keelokan Bali memang serasa tiada habisnya. Begitupun saat menjelajahi Tamblingan.