Detak Pelan Kehidupan Sanur di Kala Pandemi
Sanur menjadi salah satu dari tiga daerah kawasan hijau untuk pemulihan wisata Bali.
Perkembangan pariwisata Bali tidak dapat lepas dari kehidupan di kawasan Sanur, Kota Denpasar. Ketika pariwisata Bali harus menyepi akibat dampak pandemi Covid-19, Sanur tetap berdetak meskipun berhadapan dengan situasi yang sulit.
Nyoman Sukadana (57) melihat handphone-nya sesekali. “Suasana Sanur ini tidak sama dengan daerah wisata pantai lain di Bali,” ujar Sukadana dalam percakapan kami di Warung Nasi Ayam Men Weti, Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, awal Mei 2021.
Hingga hari ini, pariwisata di Sanur masih berdenyut meskipun tidak kencang akibat hantaman pandemi Covid-19. Masih dapat ditemui wisatawan asing berjalan-jalan di seputaran Sanur walaupun kehadiran turis tidak seramai di masa sebelum pandemi Covid-19. Warga setempat juga tetap membuka hotel, restoran, kios, dan tempat usaha mereka meskipun sedikit pengunjung.
Dampak pandemi Covid-19 dirasakan di Bali mulai penutupan sementara penerbangan langsung dari dan ke daratan China mulai 5 Februari 2020. Dampak yang dirasakan Bali adalah berkurangnya jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung, karena Bali termasuk destinasi yang banyak didatangi pelancong asal China.
Hingga saat ini, Bali belum dapat menerima kedatangan wisatawan mancanegara (wisman) secara langsung dari negara asalnya lantaran rute penerbangan internasional dari luar negeri juga belum dibuka.
Baca juga : Ubud, Sanur, dan Nusa Dua Disiapkan Jadi Zona Hijau
Sukadana mengungkapkan, ia juga tidak pernah menutup tempat usaha keluarganya, yakni Warung Nasi Ayam Men Weti, karena alasan wabah penyakit Covid-19. Warung nasi campur khas Bali yang menjadi salah satu ikon kuliner di Sanur, bahkan di kawasan Denpasar, itu tetap buka mulai pagi sampai siang. Setiap hari.
“Dengan tetap berjualan, kami tidak hanya menjaga para pelanggan namun kami dapat bertanggung jawab kepada karyawan yang sudah sejak lama bekerja di warung ini,” ujar Sukadana yang meneruskan usaha Warung Nasi Ayam Men Weti di Jalan Pantai Segara Ayu.
Kegigihan yang sama juga ditunjukkan Ida Bagus Gede Sidharta Putra, pengelola grup hotel Santrian. Sidharta bersama saudaranya melanjutkan pengelolaan usaha keluarga di sektor pariwisata yang berawal dari lima dekade lalu.
Sejak pandemi Covid-19 menjadi gering agung, atau wabah global, yang menghantam sejak Maret 2020, Sidharta nyaris tidak pernah menutup operasional hotel maupun restorannya meskipun harus merogoh dana tabungan demi menjaga operasional usahanya.
Langkah itu diambil agar fasilitas hotel dan restoran, yang menjadi usaha keluarga, tetap terawat. Selain itu, agar karyawan mereka, yang umumnya warga Sanur, tidak mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam situasi sulit akibat dampak pandemi Covid-19. Konsekuensinya, dana tabungan pun terus dikeluarkan karena pemasukan dari usaha hotel maupun restorannya sangat minim.
Ikon wisata
Dalam buku berjudul “Sanur, Merawat Tradisi di Tengah Modernitas” cetakan I tahun 2017 disebutkan, pantai di kawasan Sanur menghadap ke timur sehingga kawasan Sanur menjadi tempat yang cocok untuk menikmati pemandangan terbitnya Matahari. Konon, kata Sanur sendiri sudah bermakna cahaya. Sanur disebut berasal dari kata "Sa" yang berarti satu dan "Nur" yang berarti sinar atau cahaya.
Baca juga : Bali Perlu Lirik Sektor Lain di Luar Pariwisata
Tahun 1954, kala berada di Sanur, Perdana Menteri India pertama Jawaharlal Nehru pun terpesona oleh pemandangan pantai disinari Matahari pagi. Tokoh gerakan non blok itu mengungkapkan pemandangan di Sanur tersebut sebagai “morning of the world”. Ungkapan Nehru yang terkenal itu menjadi tema atau branding dalam perayaan tahunan komunitas di Sanur, Sanur Village Festival (SVF) Ke-9 tahun 2014.
Sanur juga merupakan kawasan bersejarah yang menyimpan monumen maupun tempat bersejarah. Catatan sejarah berupa prasasti Blanjong di Sanur bertahun 913 Masehi menerangkan keberadaan Raja Sri Kesari Warmadewa dan tertulis pula kata Walidwipa yang merujuk sebutan Pulau Bali.
Meletusnya perang besar Puputan Badung di Bali pada 1906 juga berkaitan dengan peristiwa di Sanur, yakni kandasnya kapal China berbendera Belanda yang bernama Sri Komala di pantai Sanur pada 1904.
Pemerintah Hindia Belanda mengerahkan pasukannya ke Bali dan menggempur wilayah Kerajaan Badung. Namun, gempuran itu dilawan habis-habisan Kerajaan Badung bersama masyarakat. Peristiwa perang habis-habisan itu dikenal sebagai Puputan Badung dan salah satu monumen kandasnya Kapal Sri Komala dibangun di Pantai Matahari Terbit, Sanur.
Baca juga : Pemerintah Tingkatkan Konektivitas Kawasan Segitiga Wisata Bali
Setelah perang Puputan Badung, yakni sekitar 1930-an, Sanur didatangi beberapa turis, termasuk seniman asing yang berkunjung ke Bali. Di antara seniman mancanegara itu terdapat pelukis yang juga insinyur asal Belgia, Adrien Jean Le Mayeur De Merpres.
Tulisan I Nyoman Wijaya dan Singgih Tri Sulistiyono dalam PalArch’s Journal of Archaeology of Egypt/Egyptogy 17 (2020) berjudul “Colonial Tourism, Politics, Religion, and Ethnicity: Development of Denpasar City, Bali, The Netherlands Indies, 1906-1924” menyebutkan pula kedatangan figur penting lain, di antaranya, penulis novel klasik Vicki Baum, antropolog Jane Belo, dan pasangan fotografer Jack Mershon dan Katharane Mershon.
Dalam seminar dengan topik “Semara Turida, Kisah Cinta Ni Pollok dan Le Mayeur di Bali” yang diselenggarakan Unit Pelaksana Teknis Daerah Museum Bali, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali di Museum Le Mayeur, Jumat (6/11/2020), Le Mayeur juga disebut mendapatkan cahaya yang diburunya, yakni pada Sanur dan juga pada sosok Ni Pollok. Adapun Museum Le Mayeur merupakan kediaman Le Mayeur dan Ni Pollok.
Museum Le Mayeur berlokasi di tepi pantai. Tidak jauh dari Museum Le Mayeur berdiri Grand Inna Bali Beach, hotel yang sebelumnya dikenal dengan nama Bali Beach Hotel. Di dekat museum juga terdapat warung makan ramai pembeli, termasuk di kala pandemi Covid-19, yakni Warung Mak Beng.
Cahaya di Sanur
Tetap bergeraknya kehidupan di Sanur di kala masa sulit, termasuk pandemi Covid-19, juga berkaitan dengan keberadaan Yayasan Pembangunan Sanur (YPS). Yayasan Pembangunan Sanur bermula dari Badan Pembina Desa Sanur yang didirikan 1965.
Setelah Badan Pembina Desa Sanur diaktifkan, berdiri pula unit usaha desa di Sanur, di antaranya, Yayasan Dana Bantuan Pembina Desa Sanur mulai 1966, Bank Pembangunan Desa Sanur mulai 1967, dan Usaha Koperasi SIDI Sanur mulai 1984. Yayasan Dana Bantuan Pembina Desa Sanur kemudian YPS.
Baca juga : Kembalikan Aktivitas Pariwisata, Bali Menawarkan Berkegiatan dari Pulau Dewata
Ketua YPS Ida Bagus Gede Sidharta Putra mengatakan, YPS berperan sebagai motivator, fasilitator, dan sekaligus katalisator di masyarakat dalam membangun Sanur. “Kami tidak ingin Sanur ibarat tikus yang mati dalam lumbung padi,” kata Sidharta, yang juga pengelola grup hotel Santrian.
Sanur di Kota Denpasar ditunjuk sebagai satu dari tiga kawasan hijau (green zone) di Bali dalam rangkaian persiapan pemulihan pariwisata di masa pandemi Covid-19. Pemilihan itu dinilai langkah tepat dalam pemulihan Bali dan juga rebranding pariwisata nasional.“Green zone di Sanur ini menjadi momentum mengembalikan kehidupan pariwisata dan kembali menggerakkan Bali secara keseluruhan,” kata Sidharta.
Menurut Lurah Sanur Ida Bagus Raka Jisnu, Sanur merupakan destinasi andalan aktivitas pariwisata di Kota Denpasar, termasuk Bali. Kawasan Sanur secara keseluruhan, termasuk di Kelurahan Sanur maupun Desa Sanur Kauh, sudah lama dikenal sebagai kawasan wisata dengan fasilitas pendukung lengkap.
Lokasi Sanur yang dekat dengan akses pintu masuk Bali, baik Pelabuhan Benoa di Kota Denpasar maupun Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai di Kabupaten Badung, mendukung pemulihan kehidupan pariwisata di Bali. Pandemi setahun lebih ini menjadi bukti kerentanan Bali. Namun, Pulau Dewata masih mencoba bertahan semampu mungkin.
Di Sanur, semburat mentari terbit menunggu datangnya para pelancong. Seperti dulu, ketika pandemi belum meraja seperti sekarang.