Pemeriksaan Tuberkulosis Mandek di Manado, Risiko Penularan Meningkat
Deteksi dan pengobatan tuberkulosis di Manado, Sulawesi Utara, terancam mandek karena kerusakan infrastruktur listrik di laboratorium rujukan milik pemerintah kota. Tiga bulan terakhir, pemeriksaan tak berjalan lancar.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Deteksi dan pengobatan tuberkulosis di Manado, Sulawesi Utara, terancam mandek karena kerusakan infrastruktur listrik di laboratorium rujukan milik pemerintah kota. Tiga bulan terakhir, sekitar 60 spesimen dahak pasien suspek tuberkulosis dibuang karena rusak. Pasien pun harus mengeluarkan biaya lebih untuk tes di laboratorium lain.
Jufri Larinda (31), petugas tuberkulosis (TB) Puskesmas Bailang, Kecamatan Bunaken, tidak pernah lagi mengirim spesimen dahak pasiennya ke laboratorium TB Puskesmas Paniki Bawah sejak bulan lalu. Padahal, puskesmas itu bertugas memeriksa semua spesimen pasien suspek TB dari 16 puskesmas di Manado.
”Terakhir saya kirim dua spesimen ke laboratorium dinas kesehatan provinsi. Pasien dikenai biaya laboratorium Rp 26.000. Kalau di Puskesmas Paniki Bawah, gratis. Tetapi saya tidak mau ambil risiko, takutnya dahak tidak bisa diperiksa dan malah rusak dan dibuang,” kata Jufri, Jumat (18/6/2021), di Manado.
Pemeriksaan spesimen di laboratorium TB puskesmas kelas rawat inap itu sudah terseok-seok sejak April 2021. Sejak Juni, aktivitas laboratorium berhenti total. Penyebabnya adalah tegangan listrik puskesmas tidak stabil sehingga alat tes cepat molekuler (TCM) merek GeneXpert—satu-satunya mesin yang digunakan—tidak bisa menyala.
Mesin TCM butuh listrik bertegangan 220-240 volt untuk dapat beroperasi. Jika tegangan melemah, mesin akan mati dan dahak yang tengah diperiksa akan rusak dan harus dibuang. Beberapa bulan terakhir, tegangan listrik di Puskesmas Paniki Bawah berkisar di 185-207 volt pada pagi hingga siang hari.
Akibatnya, mesin TCM yang sebenarnya tidak rusak itu tidak dapat dioperasikan. Ratusan spesimen dahak yang dikirim ke Puskemsas Paniki Bawah pun hanya disimpan dalam kulkas menunggu rusak. Akhir Mei lalu, setidaknya sekitar 60 spesimen dibuang karena rusak.
Petugas laboratorium TB Puskesmas Paniki Bawah, Heisye Kristin Rawung, mengatakan, ada lebih dari 100 sampel yang masuk setiap bulan. Selain 16 puskesmas, beberapa rumah sakit di Manado, seperti RS Siloam, Manado Medical Center, dan RS Robert Wolter Mongisidi, juga mengandalkan layanan laboratorium TB puskesmas itu.
”Kasihan pasien karena tidak semua bisa mengeluarkan dahak lagi untuk diperiksa, seperti pasien yang kena stroke. Akhirnya, spesimen terbuang percuma,” katanya.
Kristin merasa pekerjaan laboratorium TB tak mendapatkan dukungan dari manajemen puskesmas. Buktinya, perbaikan kelistrikan gedung berlarut-larut tanpa hasil selama tiga bulan terakhir. Pengadaan stabilisator pun tak menyelesaikan masalah. Pendingin ruangan di laboratorium juga dibiarkan rusak lima bulan terakhir sehingga mesin TCM cepat panas.
Sebenarnya, tegangan listrik cukup stabil pada siang hari menjelang sore ketika layanan unit lain telah tutup. Namun, usulan Kristin untuk masuk siang hingga malam demi menyelesaikan pemeriksaan spesimen tak disepakati kepala puskesmas. ”Padahal, saya tidak pernah minta uang lembur, toh tidak pernah diberi juga,” katanya.
Pada saat yang sama, ada gelombang penolakan keberadaan TCM di tempat Kristin bekerja. Ia menunjukkan pesan teks salah satu pegawai yang mengajak staf lain membuat petisi menolak TCM dari Puskesmas Paniki Bawah. Pegawai itu bahkan menawarkan layanan hukum suaminya yang pengacara secara cuma-cuma.
Padahal, capaian pemeriksaan laboratorium TB Puskesmas Paniki Bawah terbilang bagus. Pada 2019, capaian kerjanya seorang diri mencapai 123 persen dari target minimal 80 persen. Saat aliran sampel berkurang karena Covid-19 pada 2020, puskesmas itu masih mampu menuntaskan 77 persen. Semua dikerjakan Kristin dengan bantuan seorang analis.
Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Manado dr Joy Zeekeon enggan memberi tanggapan terhadap soal ini. Ia meminta Kompas menghubungi kepala Puskesmas Paniki Bawah, dr Zainal Ginsu.
Adapun Zainal menyatakan akan meminta PT PLN mengecek masalah yang ada. Sebab, pengadaan stabilisator tak membuahkan hasil. ”Kami sempat buat sambungan baru langsung dari kabel utama, tidak mempan juga,” katanya.
Zainal juga menolak usulan pegawai masuk siang hingga malam karena tak ingin cartridge spesimen rusak apabila tegangan listrik ternyata tidak stabil. ”Cartridge itu harganya mahal sekali, sayang kalau terbuang. Kami memang mau memberikan pelayanan yang baik, tapi keadaan ini, kan, bukan kesalahan kami,” katanya.
Pasien yang harusnya sudah diterapi dengan obat jadi harus menunggu lebih lama, padahal batuk mereka sudah parah sampai keluar darah.
Untuk sementara, Zainal tak bisa memberi alternatif lain. Ia hanya berharap Pemprov Sulut membuka laboratorium TB di tempat lain. ”Minimal harusnya ada tiga tempat. Kalau cuma satu dan ada masalah, pemeriksaan berhenti total,” katanya.
Pasien rugi
Jufri Larinda mengungkapkan, pasienlah yang paling dirugikan oleh keadaan ini karena pengobatan mereka terlambat. Risiko penularan TB pun menjadi semakin besar karena petugas tidak dapat memberikan obat tanpa hasil uji dahak di laboratorium sebagai dasar tindakan. Padahal, selama ini hanya butuh sehari untuk mendapatkan hasil laboratorium.
”Pasien yang harusnya sudah diterapi dengan obat jadi harus menunggu lebih lama, padahal batuk mereka sudah parah sampai keluar darah. Makanya, kami menuntut perbaikan di laboratorium demi kebaikan pasien,” ujarnya.
Ivonna Paendong, petugas TB di Puskesmas Sario, kerap menjadi target kemarahan pasien yang tak sabar menanti hasil tes dahaknya. Mereka semakin marah mengetahui dahaknya terbuang percuma karena tes tak bisa terlaksana. Pasien kerap marah ketika diminta mengirimkan dahaknya lagi.
”Beberapa pasien kesulitan mengeluarkan dahak. Mereka juga keberatan harus mengirim sampel lagi ke Puskesmas Paniki Bawah karena jauh dari Sario. Banyak pasien yang marah, sampai ada yang bilang, ’Apa tunggu saya mati dulu baru saya mau dapat obat?’” kata Ivonne menirukan salah satu pasiennya.
Angka kesakitan TB paru di Manado terbilang tinggi. Pada 2018, ada 4.467 kasus TB paru, meningkat dari 2.789 kasus pada 2015. Sepanjang paruh pertama 2020, Dinas Kesehatan Sulut mencatat 1.045 kasus TB paru ditemukan di Manado dari total 3.063 kasus di Sulut. Diperkirakan ada setidaknya satu kasus TB multidrug resistant di tiap dua kelurahan.
Ivonne mengatakan, target eliminasi TB pada 2030 mustahil tercapai jika keadaan seperti ini terus. ”Penyakit ini bukannya berkurang, malah tambah terus. Kalau pengobatan terlambat seminggu saja, bayangkan berapa orang yang bisa tertular. Keluarga serumah saja sudah berapa?” katanya.