Munculnya investor lain dinilai akan berdampak signifikan terhadap peningkatan penghasilan petani.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Kabupaten Malang, Jawa Timur, membuka diri kepada investor di bidang pengolahan kopi yang bisa menyerap hasil panen sekaligus bekerja sama dengan petani setempat. Sejauh ini potensi kopi di Malang cukup banyak tetapi sekitar 60 persen produksinya baru terserap oleh satu perusahaan, yakni PT Asal Jaya Dampit.
Munculnya investor lain dinilai akan berdampak signifikan terhadap peningkatan penghasilan petani. Di satu sisi, ada kompetisi di antara sesama perusahaan untuk menentukan harga beli dari petani. Sementara di sisi lain, petani akan terpacu untuk terus meningkatkan kualitas kopi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik terjadi penambahan luas kebun kopi di Kabupaten Malang sebanyak 2.263 hektar (ha). Jika tahun 2019 luas kebun kopi robusta dan arabika 16.917 ha dengan produksi 12.055 ton, maka tahun 2020 menjadi 19.180 ha dengan produksi 12.849 ton.
Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Malang Budiar Anwar, saat berada di Bali dan dihubungi dari Malang, Jumat (18/6/2021) petang, mengatakan, 2.263 ha tambahan lahan baru merupakan pengembangan dari PT Asal Jaya Dampit. Asal Jaya mengembangkan kopi di lereng Gunung Kawi dengan menggandeng sejumlah gabungan kelompok tani.
”Makanya, Kabupaten Malang membuka keran investasi bagi para investor yang ingin membuka industri pengolahan kopi. Selama ini, offtaker-nya (penjamin pembelian hasil panen) hanya satu sehingga harga tidak bisa bersaing. Akan lain ceritanya jika ada perusahaan lain,” ucapnya.
Selama ini, lanjut Budiar, PT Asal Jaya menyerap kopi dari wilayah tenggara Kabupaten Malang, seperti Kecamatan Ampelgading, Sumbermanjing Wetan, Tirtoyudho, dan Dampit (Amstirdam) yang selama ini menjadi sentra kopi, terutama robusta.
Malang menjadi salah satu penghasil kopi di Indonesia yang kini banyak dilirik masyarakat Eropa. ”Tadinya dunia banyak melirik kopi asal Vietnam. Namun, di sana nonorganik, dipaksa berproduksi sebanyak-banyaknya sehingga orang-orang Eropa saat ini lebih melirik kopi Indonesia,” katanya.
Sementara itu, terkait soal harga, khususnya untuk robusta, kini merangkak naik. Sebelumnya, harga kopi asalan kualitas biasa bertahan landai di angka Rp 20.000-Rp 21.000 per kilogram (kg), kini menjadi Rp 22.000 per kg.
”Mulai naik harganya dua-tiga minggu terakhir. Di daerah sini sekarang Rp 22.000 per kg. Sebelumnya, sejak awal pandemi harganya hanya Rp 20.000,” ujar Ramelan (55), salah satu petani di Desa Sekarbanyu, Kecamatan Sumbermanjing Wetan.
Meski harga rendah berlangsung cukup lama, menurut Ramelan, petani tidak menemui kendala dalam menjual hasil panen selama pandemi. Permintaan tetap ada. Tengkulak juga masih datang ke desa-desa untuk membeli kopi setempat.
Pendapat berbeda dikemukakan Ketua Kelompok Tani Harapan Desa Amadanom, Kecamatan Dampit, Mulyono. Menurut Mulyono, sejauh ini belum ada peningkatan soal harga. Dirinya baru saja menjual kopi petik merah dengan harga Rp 31.000 per kg.
”Harganya masih relatif tidak berubah, hanya segitu-gitu aja. Memang ada yang tinggi, ada yang rendah tergantung kualitas. Saat ini kopi di daerah sini juga belum siap petik, buahnya masih belum begitu masak. Baru satu-dua bulan mulai petik,” katanya.
Suwaji (50), salah satu petani kopi di Desa Amadanom lainnya, mengatakan, cuaca menjadi salah satu kendala kopi saat ini. Hujan yang masih turun selama kemarau memengaruhi produksi. Bunga kopi mudah rontok oleh air hujan.
”Produksinya agak turun tahun ini akibat pengaruh cuaca. Jika biasanya saya dapat 1,5 ton per hektar per tahun dalam kondisi normal. Kalau saat ini mungkin di bawah 1 ton,” katanya.