Polda Sulut: Wakil Bupati Sangihe Meninggal karena Sakit
Penyelidikan penyebab kematian Wakil Bupati Kepulauan Sangihe Helmud Hontong berlanjut dengan pemeriksaan spesimen jaringan beberapa organ tubuh serta toksikologi. Sementara kepolisian menyebut almarhum tidak diracun.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Penyelidikan terkait penyebab kematian Wakil Bupati Kepulauan Sangihe Helmud Hontong berlanjut dengan pemeriksaan spesimen jaringan beberapa organ tubuh serta toksikologi. Untuk sementara, tim dokter forensik menyatakan penyakit menahun sebagai penyebab kematiannya, bukan diracun seperti dispekulasikan masyarakat.
Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof dr RD Kandou Manado, dr Jimmy Panelewen, mengatakan, laboratorium rumah sakit yang ia pimpin bertugas memeriksa spesimen jaringan dari organ-organ penting dari jenazah Helmud. Beberapa yang Jimmy sebut itu ialah otak, paru-paru, dan ginjal.
Pemeriksaan itu diharapkan bisa mengungkap penyakit penyebab kematian Helmud. ”Agak sulit, tidak bisa pemeriksaan biasa sehingga kami mengambil spesimen lebih dari satu organ. Yang pasti tidak ada racun,” kata Jimmy ketika dihubungi lewat telepon dari Manado, Sulawesi Utara, Rabu (16/6/2021).
Langkah ini merupakan lanjutan dari otopsi oleh gabungan tim forensik Kepolisian Daerah Sulut dan RSUP Kandou terhadap jenazah Helmud, Senin (14/6/2021), di Rumah Sakit Liun Kendage, Tahuna, Kepulauan Sangihe. Tim menyimpulkan, sang wakil bupati wafat karena komplikasi penyakit menahun, tetapi tak menyebut nama penyakit yang dimaksud.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulut Komisaris Besar Jules Abraham Abast menegaskan, tidak ada indikasi keracunan. Ini adalah jawaban bagi publik yang berspekulasi Helmud dibunuh karena menentang kontrak karya pertambangan emas PT Tambang Mas Sangihe (TMS) seluas 42.000 hektar di Pulau Sangihe.
Kendati demikian, tim forensik tetap mengambil spesimen untuk uji toksikologi. Spesimen itu dikirim ke Makassar dan hasilnya akan diketahui lebih kurang dua minggu lagi.
Jules mengaku tidak tahu organ sumber spesimen yang ia maksud. Kepala RS Bhayangkara Manado Ajun Komisaris Besar dr Faizal Zulkarnaen, yang tergabung dalam tim forensik, tak menjawab telepon ataupun pesan ketika dihubungi.
Helmud meninggal pada Rabu (9/6/2021) dalam perjalanan udara dari Denpasar, Bali, menuju Makassar, Sulawesi Selatan. Menurut laporan, tenggorokannya sakit dan gatal, kemudian darah keluar dari hidung dan mulutnya, kemudian ia wafat. Polda Sulsel menyebut Helmud mendapat serangan jantung.
Sebelum meninggal, yakni pada 28 April 2021, Helmud melayangkan surat untuk memohon Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mempertimbangkan pembatalan izin operasi PT TMS. Surat itu tidak dilengkapi kop resmi Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe karena ia buat secara pribadi mengingat Bupati Sangihe Jabes Gaghana tidak menentang ketetapan pemerintah pusat soal izin tambang itu.
Kala itu, Helmud menyatakan, usaha pertambangan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Ia juga menyebut pertambangan hanya menguntungkan pemegang kontrak karya, tetapi merugikan rakyat dan merusak lingkungan.
Kendati begitu, Helmud juga meminta Menteri ESDM agar wilayah pertambangan yang ada di Kabupaten Kepulauan Sangihe dapat dijadikan wilayah pertambangan rakyat. Perda Kepulauan Sangihe Nomor 4/2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2014-2034 memang menetapkan wilayah selatan pulau sebagai wilayah usaha pertambangan.
Itu adalah terobosan dan keberanian seorang wakil bupati. Dia tahu masyarakat Sangihe saat ini sedang resah karena kehadiran tambang ini.
Terkait hal ini, aktivis dari Save Sangihe Island, Jull Takaliuang, mengapresiasi langkah berani dari almarhum Helmud. Padahal, Save Sangihe Island, gerakan yang menentang PT TMS, tidak pernah berkontak dan beraudiensi dengan Helmud untuk meminta bantuannya.
”Itu adalah terobosan dan keberanian seorang wakil bupati. Dia tahu masyarakat Sangihe saat ini sedang resah karena kehadiran tambang ini. Sampai beliau meninggal pun, kami cuma tahu dari media sosial,” kata Jull.
Saat ini, PT TMS belum melaksanakan produksi karena masih berfokus membebaskan lahan dari masyarakat. Namun, masyarakat telah menambang secara ilegal di wilayah kontrak karya PT TMS, salah satunya di Kampung Bowone, Kecamatan Tabukan Selatan Tengah.
Soal ini, Jull mengatakan, pihaknya tidak melindungi tambang rakyat. Namun, dia menyebut penertiban tambang ilegal adalah tugas pemerintah. ”Ini, kan, kewajiban pemerintah untuk mengaturnya, perlu tindakan aparat keamanan. Kenapa tiba-tiba Save Sangihe Island harus bertanggung jawab untuk semua? Kami hanya fokus mengusir PT TMS dari Sangihe,” katanya.
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah mengatakan, seharusnya tidak ada tambang sama sekali di Pulau Sangihe yang termasuk pulau kecil karena luasnya kurang dari 2.000 kilometer persegi. Ia menduga, tambang rakyat ilegal muncul setelah eksplorasi perusahaan.
Karena itu, ia menegaskan, perlawanan terhadap tambang korporasi tetap harus berlanjut, baru tambang rakyat dibersihkan, tetapi dengan cara persuasif. ”Ini bisa dilakukan dengan kajian, apakah tambang emas adalah bagian dari tradisi masyarakat Sangihe. Kedua, perlu kebijakan transisi ke mata pencarian yang tidak merusak alam dan lebih berkelanjutan,” kata Merah.