Epidemiolog UGM: PPKM Mikro Tak Efektif Saat Penularan Covid-19 Meluas
Terkait penularan varian Delta Covid-19, para ahli menyimpulkan varian tersebut 41-60 persen lebih menular daripada varian Alpha. Padahal, varian Alpha sendiri 70 persen lebih menular ketimbang varian asli dari Wuhan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Lonjakan kasus Covid-19 di sejumlah daerah, termasuk di Jawa Tengah yang, antara lain, dipicu varian virus SARS-CoV-2, yakni B.1.617.2 atau Delta, perlu segera direspons secara komprehensif. Saat penularan kian merebak, pembatasan mobilitas skala mikro tak lagi efektif dan perlu diperluas. Adapun sistem kesehatan juga dituntut siap menghadapi gelombang pasien.
Berdasarkan data Corona.jatengprov.go.id yang dimutakhirkan pada Rabu (16/6/2021) terdapat 223.747 kasus positif Covid-19 kumulatif di Jateng dengan rincian 15.395 dirawat/isolasi (kasus aktif), 194.074 sembuh, dan 14.278 meninggal. Ada penambahan 31.711 kasus sejak 14 Mei 2021. Jumlah kasus aktif pun melonjak lebih dari dua kali lipat mengingat terdapat 6.149 kasus aktif pada 14 Mei.
Kondisi itu, antara lain, disumbang Kabupaten Kudus yang penambahan kasusnya melonjak secara signifikan setelah libur Lebaran. Hingga Minggu (13/6), sebanyak 62 dari 72 sampel asal Kudus terkonfirmasi varian Delta yang penularannya lebih cepat dari varian sebelumnya. Peningkatan kasus meluas ke daerah lain, seperti Kabupaten Jepara, Demak, dan Kota Semarang yang juga menjadi rujukan pasien-pasien luar kota.
Epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Riris Andono Ahmad, mengatakan, gerakan memakai memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak (3M), dan vaksinasi menjadi cara menghentikan penularan. Strategi itu perlu didukung pemeriksaan, pelacakan, dan perawatan (3T) guna mengurangi faktor frekuensi kontak.
Namun, jika penularan masih belum terkendali, baik karena keterbatasan kapasitas diagnostik maupun kapasitas isolasi dan karantina, pembatasan mobilitas menjadi cara menghentikan sirkulasi virus dalam populasi. Terlebih, varian Delta sudah ditetapkan sebagai ”varian yang menjadi perhatian” bersama Alpha, Beta, dan Gamma oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Mei 2021.
”Namun, restriksi mobilitas perlu skala yang lebih luas, dalam satu satuan epidemiologi. Sebab, menghentikan mobilitas dalam skala mikro, apalagi level RT saja, tak akan memengaruhi saat transmisi sudah meluas di berbagai tempat,” ujar Riris, dalam Webinar Virus Delta di Kudus, yang digelar Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK KMK) UGM dan PP Kagama, Rabu (16/5/2021).
Ia menambahkan, pembatasan mobilitas yang ideal, yakni sekitar 70 persen dari populasi, yang juga untuk menciptakan efek kekebalan komunal (herd immunity). Adapun durasi pembatasan, yakni sekitar tiga pekan atau dua kali periode infeksius. Pembatasan mobilitas juga perlu didukung kesiapan sistem kesehatan dan kesiapan komunitas agar intervensi itu berjalan efektif.
Ketua Tim Genomik FK KMK UGM, Gunadi, menuturkan, terbukti dengan dasar kalkulasi matematika, para ahli menyimpulkan varian Delta, 41-60 persen lebih menular daripada varian Alpha. ”Varian Alpha sendiri disebutkan 70 persen lebih menular dibandingkan dengan (varian dari) Wuhan. Bisa dibayangkan bagaimana lebih menularnya varian Delta ini,” katanya.
Pembatasan mobilitas juga perlu didukung kesiapan sistem kesehatan dan kesiapan komunitas agar intervensi itu berjalan efektif. (Riris Andono Ahmad)
Sistem kesehatan
Dosen Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK KMK UGM, Andreasta Meliala, mengungkapkan, terdeteksinya varian Delta yang menular jauh lebih cepat dari varian sebelumnya, dapat dihubungkan dengan kesiapan sistem kesehatan. Apabila kesiapan tinggi lalu ada tumbukan besar, semestinya akan terkontrol. Hal semacam itu terjadi di Singapura.
Sementara saat kesiapan sistem kesehatan rendah, lalu ada tumbukan kecil, akan ada daya kejut (shock), tetapi bisa diatasi. Adapun saat kesiapan tinggi dan tumbukan kecil, justru akan mudah dikendalikan. ”Yang berbahaya ialah saat kesiapan sistem kesehatan rendah lalu ada tumbukan besar. Mungkin ini yang terjadi di Kudus, sehingga timbul chaos, dalam artian ada pasien sakit lalu tidak terkontrol dan tumpah ke mana-mana,” kata Andreasta.
Menurut dia, respons kesehatan sangat bergantung pada pengetahuan tentang varian Delta. Hal ini juga terkait apakah Indonesia memiliki cukup waktu untuk mempelajari dan menyebarkan pengetahuan kepada para petugas di lapangan. Apabila proaktif mempersiapkan diri, seperti penanganan di Singapura yang relatif cepat. Namun, jika sistem penanganannya tidak responsif seperti terjadi di India, para petugas kesehatan di bagian hilir akan kewalahan.
Dalam webinar tersebut, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, menilai, ada kepanikan ketika muncul lonjakan kasus Covid-19 sejak beberapa pekan lalu di Kudus. Pasalnya, selama ini, pemkab dan RS setempat belum pernah menghadapi lonjakan secepat itu. Menurut dia, segala sesuatu seharusnya bisa segera dikomunikasikan dengan daerah lain maupun Pemprov Jateng dan pemerintah pusat. Semua bisa bergotong royong.
Saat ini Kudus dan Jateng kesulitan sumber daya manusia (SDM) dalam penanganan Covid-19. ”Saya berterima kasih kepada IDI (Ikatan Dokter indonesia) dan PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia), tetapi bantuan ternyata belum cukup. Akhirnya kami kerja sama dengan sejumlah fakultas kedokteran perguruan tinggi. Saat ini, kondisi darurat, butuh jauh lebih banyak,” ujarnya.
Ia juga meminta pemerintah kabupaten dan kota untuk tidak mengendurkan 3T hanya karena takut data Covid-19 di daerahnya melonjak. Dengan terdeteksi lebih awal, semakin banyak diketahui kasus sehingga penyebaran virus dapat segera dibendung. Pasien juga dapat segera diselamatkan sehingga angka kematian bisa terus ditekan.