Tekan Tengkes di NTT, Pasangan Usia Subur Perlu Pembinaan Pola Asuh Anak
Menekan angka tengkes atau “stunting” di Nusa Tenggara Timur, pasangan usia subur perlu pembinaan mengenai pola asuh anak. Tokoh agama yang mempersiapkan perkawinan calon suami-istri, pun wajib memberi pemahaman.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Pasangan usia subur di Nusa Tenggara Timur masih sangat memerlukan pembinaan mengenai pola asuh anak yang ideal. Hal itu diperlukan sebagai salah satu amunisi penting guna menekan tingginya angka tengkes di daerah itu.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Timur (NTT), kasus tengkes masih menempati urutan nomor satu nasional, yakni 23,2 persen atau 348.000 orang dari total 1,5 juta anak. Ada kecenderungan kasusnya menurun setiap tahun. Namun, potensinya tetap tinggi karena jumlah anak pun terus meningkat.
”Salah satu masalahnya ada di hulu, yakni pola asuh anak yang salah oleh orangtua, terutama ibu. Karena itu, setiap pasangan usia subur dan terutama calon pasangan pengantin perlu mendapatkan pembinaan. Baik dari tokoh agama maupun petugas kesehatan sebelum melangsungkan pernikahan,” kata Kepala Dinkes NTT dr Messerasih Ataupah di Kupang, Senin (14/6/2021).
Ataupah mencontohkan, calon ibu sebaiknya dibekali pengetahuan memadai soal pengaturan menu makan anak. Meski banyak calon ibu hanya lulusan sekolah dasar, harapannya mereka tetap mengetahui makanan bergizi bagi anak-anak.
Dampak buruk pemberian makanan kepada anak-anak yang tidak sesuai kebutuhan juga penting untuk diketahui banyak pihak. Ataupah mengatakan, gizi yang kurang bisa membuat anak menjadi kurus, pendek, kemampuan intelektual anak jauh jauh dari standar, serta mudah terserang penyakit.
”Banyak orangtua memilih memberikan pakaian mahal bagi anaknya tetapi soal menu makan dan kebutuhan makanan bergizi diabaikan. Ini terjadi karena kurang pengetahuan ibu,” katanya.
Ataupah mengatakan, menu makan bergizi bisa didapatkan dari bahan pangan lokal sehingga tidak butuh anggaran besar. Tetapi, ia menegaskan, semuanya butuh keterampilan, kesabaran, kesadaran, dan pengetahuan untuk mengolah dan menyediakannya.
”Ibu-ibu perlu memiliki daftar menu makan bagi anak- anak yang sedang mengalami pertumbuhan atau perkembangan. Nilai gizi anak perlu diatur secara variatif sehingga anak tidak hanya disuguhi makanan satu jenis, seperti nasi atau umbi-umbian,” katanya.
Kepala Dinkes Malaka Paskalia Frida Fahik juga mengatakan hal serupa. Aspek pengetahuan ibu tentang pola asuh masih minim. Hal ini ikut memicu tingginya anak tengkes di Malaka, sebanyak 3.438 anak di bawah usia lima tahun (balita) di tahun ini.
Anak jarang mendapatkan perhatian, termasuk pola makan dan minum sehari-hari. Ini diperburuk dengan kondisi sanitasi yang buruk, dan jarang mandi karena kesulitan air bersih.
Anggota Komisi V DPRD NTT yang membidangi masalah kesehatan, Ana Waha Kolin, mengatakan, penanganan tengkes harus terintegrasi. Tidak hanya dibebankan pada dinkes, tetapi juga dinas pemberdayaan perempuan dan anak, dinas pemberdayaan masyarakat desa, dan dinas sosial. Mereka ini perlu koordinasi serta sinkronisasi data soal data di setiap desa dan alokasi anggaran.
Ana juga menyoroti soal buang air besar sembarangan. Ia mengatakan, hal itu perlu segera ditangani melalui program sanitasi total berbasis masyarakat. Penanganannya mulai dari stop buang air besar sembarangan, cuci tangan pakai sabun, hingga penanganan sampah rumah tangga.
”Mengatasi stunting tidak sulit, tinggal bagaimana menggerakkan semua potensi dan kekuatan yang ada, mulai dari tingkat provinsi sampai ke desa-desa,” kata Kolin.