Pemegang Konsesi Dua Kali Dikirimi Surat Peringatan
Pembalakan liar kerap memicu kebakaran. Pembukaan kanal besar-besaran oleh korporasi di wilayah Kumpeh dan Sungai Gelam, Muaro Jambi, tak hanya merusak jaringan hidrologi gambut tapi juga memicu pembalakan liar.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Dinas Kehutanan Provinsi Jambi telah mengusulkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengevaluasi izin konsesi dua korporasi terkait maraknya pembalakan liar dan kebakaran berulang di Muaro Jambi, Jambi. Menindaklanjuti permintaan itu, KLHK sudah dua kali melayangkan surat peringatan kepada kedua perusahaan terkait.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Ahmad Bestari mengatakan, evaluasi izin diusulkan karena kedua perusahaan, yakni PT PDIW dan PT PBP, selaku pemegang konsesi hak pengusahaan hutan (HPH), dinilai tidak serius mengelola. Sejak 2015, perusahaan juga tidak mengusulkan rencana kerja tahunan alias tidak berproduksi.
Di sisi lain, aktivitas pembalakan liar dibiarkan masif hampir tanpa penanganan. Bahkan, jalur kanal perusahaan dimanfaatkan para pembalak liar dengan leluasa untuk mengalirkan kayu-kayu curian keluar hutan negara.
”Dari hasil monitoring inilah, kami menyimpulkan bahwa perusahaan tidak serius mengelola sehingga pemerintah perlu mengevaluasi kembali perizinannya,” ujarnya, Senin (14/6/2021).
Usulan kepada KLHK, lanjut Bestari, juga telah ditanggapi. Sejak tahun lalu, pemerintah dua kali mengeluarkan surat peringatan. ”Jika masih tidak ditanggapi perusahaan, akan dilayangkan SP-3. Jika masih sama, pemerintah pusat mengambil langkah keputusan berikutnya,” katanya.
Berdasarkan aturan, jika pemegang izin konsesi tidak melaksanakan surat peringatan ke-1 hingga ke-3, pimpinan tertinggi instansi akan menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan telantar, mencabut izin konsesi atau izin berusaha, dan atau menegaskan kawasan dikuasai langsung oleh negara.
Evaluasi izin diusulkan karena kedua perusahaan, yakni PT PDIW dan PT PBP, selaku pemegang konsesi hak pengusahaan hutan (HPH), dinilai tidak serius mengelola. (Ahmad Bestari)
Sebagaimana diketahui kayu-kayu curian dialirkan para pembalak liar lewat kanal-kanal gambut korporasi di batas Jambi dan Sumatera Selatan. Temuan serupa Kompas dapati juga saat patroli udara bersama tim Kepolisian Daerah Jambi, Sabtu (13/6/2021).
Tampak bekas sejumlah industri pengolahan kayu tersebar dalam hutan itu. Saat digelar operasi Maret lalu oleh tim Polda Jambi, sebagian pelakunya melarikan diri. Dalam operasi terbaru, pekan lalu, tim gabungan Polri, TNI, dan polisi kehutanan di Jambi mendapati sejumlah pembalak tengah mengalirkan kayu-kayu curiannya. Tiga pelaku ditangkap dan ditetapkan statusnya sebagai tersangka.
Kompas menghubungi Direktur PT PDIW Teuku Irwan melalui sambungan Whatsapp, tetapi belum direspons. Sebelumnya, lewat pesan singkat, dirinya membenarkan masih adanya aktivitas liar dalam wilayah konsesinya. Sejauh ini pihaknya masih berupaya mendekati masyarakat setempat agar tidak membalak liar.
Akhir tahun lalu, tim penegakan hukum KLHK mendapati dua truk tronton bermuatan kayu ilegal sebanyak 72 meter kubik dalam operasi di wilayah Tangerang. Setelah ditelusuri, kayu-kayu liar tersebut berasal dari Jambi untuk tujuan industri di wilayah Jabodetabek. Temuan di hilir ditindaklanjuti dengan penelusuran hingga ke hulu kayu.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jambi Komisaris Besar Sigit Dany mengatakan, para pelaku adalah pekerja di lapangan. Mereka dapat dijerat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusahan Hutan.
Sesuai Pasal 37, pelaku terancam pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun serta denda minimal Rp 500 juta dan maksimal Rp 2,5 miliar. ”Kasusnya kini dilimpahkan untuk ditangani Balai Penegakan Hukum Sumatera KLHK,” katanya.
Pembalakan liar kerap memicu kebakaran di wilayah itu dari tahun ke tahun. Pembukaan kanal besar-besaran oleh korporasi di wilayah Kumpeh dan Sungai Gelam, Muaro Jambi, tak hanya merusak jaringan hidrologi gambut, tetapi juga membuka maraknya aktivitas pembalakan liar.
Untuk memberantas maraknya pembalakan liar di jalur itu, pihaknya terus menyisir para pelaku lainnya. Wilayah itu, lanjutnya, menjadi jalur prioritas pengawasan karena aktivitas pembalakan liar di sana menjadi faktor utama terjadinya karhutla. Api timbul dari kegiatan pembalak menebang, memasak, ataupun merokok selama berada dalam hutan.
Tahun 2015, kebakaran hutan termasuk di kedua konsesi menimbulkan kabut asap pekat. Pemandangan kota tertutupi asap selama hampir 5 bulan lamanya. Tahun itu merupakan masa-masa paling kelam bagi masyarakat Jambi karena besarnya dampak dan korban.
Hasil identifikasi di kedua konsesi hutan tersebut, luas kebakaran lebih dari 3.000 hektar. Atas peristiwa itu, pemerintah pun sempat membekukan izin lingkungan PT PBP selama enam bulan.
Pada 2017 dan 2019, kebakaran kembali berulang di sana. Yang lebih parahnya, pada 2019, didapati pembalakan liar marak di sekitar lokasi terjadinya karhutla.