Menambang Ilmu dari Erupsi Merapi 2006
Erupsi Merapi tahun 2006 memberikan pengalaman berharga yakni adanya perubahan arah erupsi setelah gempa tektonik melanda wilayah selatan Yogyakarta.
Antonius Ratdomopurbo menjadi salah satu orang yang sibuk saat erupsi Merapi 2006. Kala “hajat” Merapi tahun 2006, ia menjabat sebagai Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTKG). Tak lama seusai erupsi, Purbo—sapaan Ratdomopurbo—menyudahi tugas di Yogyakarta setelah sekitar 20 tahun berada di sana.
Ia lantas mengemban sejumlah tugas lain, termasuk menjabat sebagai Sekretaris Badan Geologi Kementerian ESDM. Setelah jabatan itu paripurna, Purbo kini menjadi Penyelidik Bumi Ahli Utama di Badan Geologi. Penelitian tentang kaldera di Indonesia menjadi minat utamanya saat ini.
Erupsi pada 15 tahun silam telah memberikan pengalaman berharga bagi banyak orang, termasuk Purbo. Ini karena arah erupsi telah berubah dari “jalur tradisional” di sisi barat ke sisi tenggara.
Selain itu, gempa tektonik yang mengguncang wilayah selatan Yogyakarta pada 27 Mei 2006 turut mengubah kisah erupsi gunung yang terletak di perbatasan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah itu.
Untuk menggali kembali refleksi atas erupsi 15 tahun silam, Kompas menemui Ratdomopurbo di ruangan kerjanya, Selasa (25/5/2021). Berikut petikan wawancaranya.
K : Apa arti erupsi Merapi tahun 2006?
R : Saya bertugas di Yogyakarta dari tahun 1986 sampai 2006. Jadi 20 tahun. Ada kegiatan Merapi (erupsi) di tahun 1986; 1987; 1990 hanya keluar gas; 1992 keluar kubah tapi enggak meletus; 1994 kasus Turgo dan banyak yang meninggal kena awan panas; 1997 terbentuk kubah di Kaliputih; 2001 awan panas arah barat laut, teramati di pos Babadan; 2003 erupsi tetapi sedikit; dan baru 2006 yang besar.
Dari 1986-2006 itu, arah erupsi Merapi ke barat yaitu ke Kali Krasak, Putih, Boyong, Lamat.
Sebelum erupsi tahun 2006, saya enggak pernah punya pikiran bahwa awan panas Merapi akan masuk ke Sungai Gendol (sisi tenggara Merapi). Tahun 2006 ini penting dalam satu sisi, membuka erupsi ke arah tenggara. Mungkin ini pertama sejak awal abad ke-20.
Kalau Merapi pernah erupsi ke arah timur-tenggara, mungkin itu generasi kakek nenek buyut. Tapi itu kan sudah seratus tahun lalu. Sementara budaya kita lebih banyak budaya lisan, jadi tidak tertulis. Kita enggak punya dokumentasi soal itu karena enggak ada yang bercerita.
Tahun 2006, awalnya awan panas Merapi juga ke arah barat. Lalu, ada gempa bumi dan arah awan panas berubah.
Bagaimana proses pengamatan erupsi Merapi tahun 2006?
Sebenarnya, proses erupsi Gunung Merapi mereda sebelum gempa tektonik terjadi.
Sebulan saya menangani Merapi, erupsi 2006 ini aneh. Pada 26 April, magma sudah sampai ke puncak. Secara teknis, Merapi sudah erupsi.
Setelah itu, kubah lava naik terus, bentuknya bulat. Kemudian, deformasi berhenti. Lalu kami monitor apa lagi?
Akhirnya saya foto tiap pagi. Jam 5-6 pagi, saya ke pos Kaliurang. Saya ke pos, siapin kamera, saya foto. Itulah yang menjadi dokumentasi foto kronologi kubah lava Merapi.
Dengan foto itu, saya bisa ukur volume kubah lava itu bertambah berapa. Kita bisa bandingkan dari hari ke hari.
Foto hari ini saya overlay dengan foto hari sebelumnya di laptop. Lalu konversi. Jadi tahu volume kubah tambah berapa. Jam 7 itu saya sudah bisa tahu data detailnya.
Data detail ini baru kami miliki tahun itu. Tahun-tahun lalu enggak ada data detail kayak gitu, jadi nggak bisa bandingkan volume kubah lavanya.
Letusan besar memang 2010. Tapi erupsi 2006 itu erupsi standar yang terpantau lebih detail.
Geger boyo, sisa kubah lava, selama ini melindungi awan panas menerjang pemukiman di wilayah selatan Merapi. Bagaimana geger boyo bisa runtuh?
Kita nggak bisa memisahkan kasus itu dengan gempa tektonik. Gempa bumi itu sangat besar.
Gunung Merapi seperti dikocok-kocok, mirip kayak minuman bersoda. Di bagian bawah dikocok, lalu di puncak seperti ada sumbat, ya bablaslah.
Memang ada jeda waktu antara gempa bumi (27 Mei 2006) dan runtuhnya geger boyo (4 Juni 2006), karena Merapi butuh waktu untuk itu.
Jadi, gempa bumi 27 Mei itu betul-betul mengubah aktivitas Merapi yang semula sudah landai, menjadi lebih tinggi lagi.
Genjotan gempa ini menghasilkan gas lebih banyak, dan merapuhkan dinding kubah lava. Kebetulan yang dirapuhkan dinding geger boyo. Mungkin yang rapuh juga dinding kubah lava lain, tapi yang runtuh geger boyo.
Itulah kenapa saat 2006, jalur arah tenggara itu terbuka. Itulah jalan awan panas lurus ke Gendol dimulai.
Gempa seperti apa yang bisa memberi efek langsung bagi gunung api?
Gunung yang tidak dalam posisi aktif, diguncang gempa ya tidak apa-apa. Gunung dalam posisi aktif dan produksi gas tinggi, terkena guncangan gempa pasti punya efek
Tapi kalau pusat gempa itu jauh, ya enggak efek. Gempa bumi Yogyakarta itu dari sisi teknis termasuk gempa yang dekat.
Sementara, gempa Blitar (21/5/2021) kemarin, misalnya, tidak memberi efek apa-apa terhadap Merapi. Getaran gempa itu beda antara gempa dekat dan gempa jauh.
Getaran gempa jauh itu seperti polisi tidur yang landai. Ayunannya pelan. Gempa dekat itu rasanya kayak kalau lewat polisi tidur yang agak tinggi dan berjejer-jejer. Maka, aktivitas gunung api pasti terpengaruh.
Apakah seluruh arah di puncak Merapi sudah pernah kena awan panas?
Kalau enggak pernah kena, bentuk puncaknya pasti miring. Kalau ke barat terus, yang sisi timur kubahnya pasti tinggi.
Melihat bentuk puncak Merapi, semua arah sudah pernah.
Model awan panas seperti air yang mencari jalur jalan?
Iya.
Watak awan panas itu seperti air. Karena ada gas, material yang tergulung itu berjalan senyap. Ukuran batu bermacam-macam, termasuk yang besar. Gasnya sangat kuat, sehingga batu sebesar satu rumah seperti enteng saja (meluncur ke bawah).
Kalau lahar itu antar batu bertumbukan.
Bagaimana menetapkan waktu yang tepat agar warga mengungsi?
Tahun 2006, secara teknis sempat saya berpikir, masyarakat nggak perlu diungsikan. Tapi saya dikasih masukan, nggak bisa besok saya bilang warga harus diungsikan, terus langsung mengungsi. Nggak bisa. Daerah itu perlu waktu. Nggak bisa tiba-tiba.
Fase persiapan mengungsi itu harus dilakukan saat status Merapi siaga. Tetapi karena siaga panjang begini, orang anggap biasa. Karena anggap biasa, ketika awas, jadi byayakan (pontang-panting). Semua rush. Pengen pergi. Nah itu sisi sosial.
Secara teknologi, kita paham bahwa gunung status sedang membahayakan.
Tetapi dari sisi sosial, kita tidak bisa mengatakan kalau Merapi ini kelihatannya belum akan meletus jadi kita tunggu saja, biar mengirit biaya pengungsian kita tunggu sampai mepet.
Apakah mengungsi berarti gunungnya akan meletus? Tidak juga. Kita nggak pernah tahu. Pengungsian itu tindakan mitigasi bencana. Begitu cara memahaminya.
Secara teknis, kita hanya bisa mengatakan, probabilitas yang membahayakan masyarakat. Apakah meletus? Belum tentu. Terserah gunungnya. Ini persepsi yang harus dipersamakan terlebih dulu.
Bagaimana pantauan Bapak saat awan panas 14 Juni 2006?
Saya sempat naik ke atas sesaat sebelum awan panas, untuk memastikan pemukiman warga sudah kosong.
Saya berada di samping Sungai Gendol saat awan panas meluncur. Jarak saya sekitar 200 meter dari sungai. Di situ, material awan panas sudah tidak bisa meluncur lagi. Jadi menimbun di situ.
Saya lihat material dari awan panas itu seperti bubur yang bergemelutuk. Tapi enggak ada airnya. Itu saya rekam video untuk pengetahuan, seperti apa awan panas itu. Setelah itu, saya turun.
Itu kejadian sore ya.
Lalu masuk laporan, ada yang terjebak di bunker.
Pak Subandriyo, waktu itu Kasi Gunung Merapi BPPTKG, saya minta naik. Jam 19.00, dia mengatakan kalau Kaliadem rata seperti gurun panas. Merah. Ban mobil warga sampai kempes.
Akhirnya pukul 19.30, saya naik lagi dari kantor.
Saya lewat tempatnya Mbah Maridjan, di situ nggak kena. Gendung Bunder kena. Lalu pohon beringin yang dikasih pagar, juga kena. Kaliadem merah membara. Rata. Material putih.
Bunker tidak kelihatan.
Kami mencari korban. Tetapi, material masih panas. Beberapa teman, warga lokal Kinahrejo, berteriak, “Pak sudah ada. Kelihatan bunker disini.”
Lalu kami ditandai saja. Kami pulang. Besok kami cek lagi.
Waktu pulang itu, kaki saya kejeblos. Saya pakai sepatu kets, alasnya lepas. Setelah itu, saya ke rumah sakit untuk cek kaki saya.
Bagaimana peristiwa bunker itu bagi Bapak?
Saya sangat terpukul dan sedih dengan kondisi itu. Kami berusaha, kami tunggui agar tidak ada korban. Tapi kami nggak sangka sampai ada yang meninggal.
Bunker nggak dirancang untuk evakuasi?
Memang bunker tidak boleh dibangun di lokasi rawan karena suhu awan panas itu panas sekali sehingga nggak mungkin bunker bisa melindungi.
Bunker mungkin bisa melindungi dari tekanan. Melindungi dari material bersuhu 100 derajat Celcius juga mungkin bisa. Tapi malam itu, kami ukur pakai termometer, panasnya sampai 500 derajat Celcius. Itupun suhu material yang ada di permukaan. Belum lagi panas material di dalamnya.
Kalau di Indonesia, kawasan di sekitar Gunung Merapi termasuk padat?
Lumayan padat. Dari dulu. Merapi memang sekitarnya lumayan padat penduduk. Maka, tidak harus meletus besar untuk menimbulkan bencana di situ.
Berapa kecepatan awan panas dan jarak luncurannya?
Standar Merapi, luncuran awan panas sejauh 6 kilometer. Kecepatan bisa sampai 90 km per jam.
Bagaimana dengan penambangan pasir?
Penambangan pasir, di satu sisi baik karena mengosongkan. Asal, tahu waktulah proses penambangannya. Saat status siaga, orang harus mulai menjauh. Meskipun instruksional itu di awas.
Kehati-hatian tetap harus.