Merawat Purun Sumatera Selatan, Menjaga Kehidupan Masa Depan
Bagi Warga Desa Pulau Geronggang, Kecamatan Pedamaran Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, purun danau bukan sekadar tanaman biasa, tetapi sudah menjadi tanaman penghidupan bahkan identitas desa.
Purun danau (Lepironia articulate) sejak lama menjadi sumber kehidupan bagi warga Desa Pulau Geronggang, Kecamatan Pedamaran Timur, Sumatera Selatan. Kehadirannya diharapkan bisa menjaga masa depan tetap indah bagi mereka yang hidup di sekitarnya. Purun menjadi sumber pemasukan sehari-hari warga hingga menjaga kawasan gambut dari kebakaran.
Tangan Sumiati (50) lincah membuat lubang kecil sedalam 20 sentimeter. Warga Pulau Geronggang itu kemudian meletakkan bibit tanaman purun ke dalam lubang tersebut. Tangannya kemudian langsung menutup lubang itu dengan tanah hitam.
Batang purun setinggi hampir 1 meter itu diikat agar posisinya tetap tegak. Siang itu, dia tidak sendirian. Ada puluhan rekannya yang melakukan hal sama di lahan gambut seluas hampir 10 hektar.
Desa Pulau Geronggang bisa dibilang penjaga sejarah dan masa depan. Desa ini sejak lama melestarikan purun. Kini, di sana menjadi segelintir tempat di Sumsel yang masih membudidayakan purun. Lokasi budidaya disediakan pemerintah desa sejak 2019 dengan produktivitas sekitar 50.000 batang per hektar setiap dua bulan sekali.
Ketika panen tiba, warga boleh mengambil purun, gratis. Tidak mengherankan, banyak warga bergantung hidup dari Purun, termasuk Sumiati. Dengan menganyam purun, ibu lima anak ini bisa membantu suaminya memenuhi kebutuhan keluarga.
"Kalau hanya mengandalkan penghasilan suami saya sebagai buruh perkebunan karet, tentu akan tidak cukup. Karena itu, saya menganyam purun,” ucap Sumiati.
Baca juga : Purun Sumsel Didorong Menembus Pasar Mode Internasional
Dalam satu hari, Sumiati setidaknya bisa menghasilkan dua tikar purun berukuran 1 meter x 1,5 meter. Kemampuannya mengayam purun sudah ia dapatkan sejak belia, hasil dari didikan ibunya.
”Menganyam purun sudah menjadi kebiasaan turun-temurun gadis dan ibu-ibu di desa,” kata Sumiati.
Sebelum dianyam, batang itu dikeringkan selama 2-3 hari. Selanjutnya batang purun diwarnai dengan bahan pewarna alami. Setelah proses pewarnaan, batang purun ditumbuk menggunakan kayu khusus yang disebut antan. Purun harus ditumbuk dengan tepat karena jika tekniknya salah, batangnya akan pecah sehingga sulit dianyam.
Kemudian, ujar Sumiati, dengan menggunakan kuku jarinya, dia membagi batang purun dalam dengan lebar 2 milimeter. Ketika bahan baku sudah tersedia, purun pun sudah bisa dianyam dengan beragam kreasi.
Hasil anyaman, saya tukar dengan beragam bahan kebutuhan seperti gula, beras, atau minyak.
Akan tetapi, seperti kebanyakan warga di sana, Sumiati sejauh ini hanya bisa membuat tikar. Hasil anyamannya itu kemudian dijual kepada pengepul yang biasanya juga membuka warung. Satu tikar purun yang dibuat Sumiati dihargai sekitar Rp 8.000-Rp 10.000, tergantung dari tingkat kesulitan dan motif purun tersebut.
”Hasil anyaman, saya tukar dengan beragam bahan kebutuhan, seperti gula, beras, atau minyak,” ujarnya.
Berbeda dengan Sumiati, Bambang Suswo Subianto (40) sudah mampu mengolah purun menjadi beragam kerajinan tangan, seperti dompet, tas, topi, sandal, bingkai cermin, kotak tisu, dan beragam hasil karya lainnya. Kemampuan ini diperoleh sejak 2015.
Saat itu, ia ikut pelatihan membuat kerajinan purun di Jawa Tengah, bersama tiga orang rekannya. Hasil pendidikan itu kemudian ditularkan kepada warga lain yang tergabung dalam kelompok bersama di desa.
Bambang menuturkan, dengan membuat purun menjadi beragam bentuk, nilai tambah yang diperoleh akan semakin tinggi. Jika warga hanya sekadar membuat tikar purun, hanya dihargai Rp 8.000 per lembar. Namun, jika dibuat kotak tisu atau beragam bentuk yang lain, harganya mencapai Rp 25.000 per unit.
Dengan menganyam purun menjadi beragam produk, setiap perajin bisa memperoleh pendapatan lebih dari Rp 800.000 per bulan. Berbeda dengan penghasilan mereka yang hanya membuat purun menjadi tikar, sekitar Rp 300.000 per bulan.
Hanya, warga masih terbentur dengan pemasaran. Selama ini, produk purun di Desa Geronggang hanya dijual secara daring atau dengan mengikuti pameran yang digelar sejumlah instansi atau pemerintah kabupaten. ”Belum ada perusahaan yang secara rutin memasok kerajinan purun dari desa kami,” ucap Bambang.
Memperluas jangkauan
Kesempatan mengembangkan sayap itu muncul ketika PT Eco Fesyen Indonesia, dipimpin perancang busana Merdi Sihombing, tertarik menyerap hasil karya warga desa. Merdi datang langsung di hadapan warga memberikan semangat untuk berkarya.
Di hadapan warga, Merdi memamerkan sebuah tas yang merupakan kombinasi dari anyaman purun dari Desa Geronggang dipadukan bahan kulit Garut dan tali tas Toba, Sumatera Utara. Kombinasi karya perajin dari sejumlah daerah di Indonesia ini bisa dihargai konsumen dari Eropa hingga Rp 2 juta per unit.
Konsumen mode dari Eropa memiliki karakteristik tersendiri. Menurut Merdi, mereka sangat memperhatikan detail asal-muasal sebuah produk kerajinan tangan yang akan mereka beli.
”Karena itu, narasi pembuatan sebuah produk harus disusun secara terinci,” ujarnya. Konsumen Eropa akan lebih tertarik ketika produk itu memang ramah lingkungan mulai dari pengambilan bahan baku hingga proses pembuatannya.
Merdi sudah memperkenalkan produk purun sejak tahun 2018 melalui sejumlah pameran di tiga negara, yakni Jerman, Belgia, dan Norwegia. Mereka yang melihatnya pun tampak sangat kagum karena purun merupakan hal baru bagi mereka.
Merdi mengakui belum menggunakan purun dari Pulau Geronggang, melainkan dari Desa Asia Baru, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Kini dengan memanfaatkan dana dari Pemerintah Norwegia dan dukungan dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), peningkatan kapasitas perajin purun terus diperluas hingga ke Sumatera Selatan.
Untuk itu, ujar Merdi, pelatihan berkelanjutan sangat diperlukan agar warga Pulau Geronggang dapat menciptakan produk yang ramah lingkungan mulai dari pengambilan batang purun, pengolahan, hingga tercipta hasil kerajinan yang berstandar internasional.
”Butuh waktu hingga lima tahun untuk menjadikan perajin benar-benar mempuni dan terbiasa menciptakan produk kelas dunia,” ujar perancang busana kawakan ini.
Merdi optimis cita-cita itu bisa terwujud karena beberapa motif kerajinan purun dari Indonesia hampir mirip dengan motif tas bermerek internasional seperti Burberry dan Chanel yang tentu sudah dikenal oleh konsumen mode dunia.
Bahkan, dengan teknik yang tepat, sebuah karya kerajinan purun tidak perlu menggunakan zat pewarna yang tentu akan memperkuat status produk purun yang ramah lingkungan. ”Kami akan bawa purun naik kelas tidak hanya dikenal di kancah domestik, tetapi bisa masuk ke pasar dunia,” ujar Merdi.
Dirinya juga telah berkoordinasi dengan Sekolah Teknik Teknologi Tekstil Bandung untuk menciptakan alat yang bisa mengubah purun menjadi serat yang bisa digunakan untuk membuat kain tenun. Purun memiliki sifat yang sangat kuat dan fleksibel sihingga bisa digunakan untuk pembuatan kain berbagai motif.
”Kita akan memanfaatkan purun, tidak hanya menjadi benda budaya, tetapi memberi nilai tambah ekonomi bagi mayarakat,” ujanya.
Kepala Dinas Koperasi, UKM dan Perindustrian Ogan Komering Ilir Herliansyah Hilaluddin menuturkan, cakupan pasar menjadi permasalah utama bagi warga Pedamaran dan Pedamaran Timur untuk memperluas jangkauan produknya. Dengan pelatihan dan pengembangan kapasitas warga diharapkan jadi tonggak awal warga untuk menembus pasar dunia.
Semuanya harus dilakukan, kata Herlainsyah, karena purun tidak hanya menjadi identitas bagi warga di Pedamaran, tetapi milik masyarakat Ogan Komering Ilir. Ini diperkuat dengan diterbitkannya Surat Edaran Bupati Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kearifan Lokal.
Bupati Ogan Komering Ilir Iskandar mengajak warganya, terutama instansi pemerintahan, untuk menggunakan produk purun dari Pedamaran maupun Pedamaran Timur di setiap menjalankan aktivitas. Mulai dari penggunaan sandal, kotak tisu, kotak sampah, hingga map.
”Ini merupakan salah satu bentuk intervensi untuk mendorong pengembangan kreasi dan inovasi warga lokal,” ujarnya.
Jaga lahan gambut
Direktur Purun Institut Syarifuddin Gusar mengatakan, pentingnya purun sebagai bentuk identitas daerah harus dibarengi upaya pelestarian purun itu sendiri. Sebelum tahun 1995, ujar Syarifuddin, lokasi purun di Kecamatan Pedamaran dan Pedamaran Timur terbilang cukup luas, yakni mencapai 10.000 hektar.
Akan tetapi, karena alih fungsi lahan menjadi perkebunan monokultur, seperti sawit dan karet, serta pembangunan jalan dan permukiman, kini keberadaannya hanya 857 hektar.
”Dan itu hanya ada di Desa Cinta Jaya, Kecamatan Pedamaran dan Pulau Geronggang, Kecamatan Pedamaran Timur,” jelasnya.
Karena kondisinya yang kian mengkhawatirkan, sejak 2018 dia mengusulkan agar kawasan gambut yang tersisa dijadikan kawasan lindung sehingga sampai kapan pun tidak bisa diubah fungsinya menjadi konsesi Hutan Tanaman Industri maupun perkebunan.
”Dalam waktu dekat perda mengenai hal itu akan disahkan dan diharapkan dapat melindungi tempat berlindungnya purun yang masih tersisa,” kata Syarifuddin.
Indonesia patut berbangga karena sudah sejak lama warganya bisa memanfaatkan purun. Negara lain seperti Madagaskar, Thailand, dan Sri Lanka baru menjadikan purun sebagai lahan konservasi dan belum bisa memiliki kemampuan untuk memanfaatkannya.
”Kearifan lokal inilah yang harus terus dikembangkan dan dijaga,” ujar Syarifuddin.
Kepala Desa Pulau Geronggang Syamsul Bahri menuturkan, sudah mengalokasikan lahan seluas 10 hektar yang digunakan sebagai tempat budidaya purun. Lokasi itu, tidak boleh dialihfungsikan menjadi komoditas tanaman lain.
”Jika tidak kita jaga, mungkin saja purun akan punah,” ucapnya.
Sekretaris Tim Restorasi Gambut Sumsel Eko Agus Sugianto beranggapan, kegiatan pemberdayaan masyarakat sangat penting meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan gambut. Dengan begitu, mereka akan memiliki kepedulian untuk melestarikan gambut di tempat mereka tinggal.
Ketika kesadaran itu sudah mulai tumbuh, kasus alih fungsi atau kebakaran lahan di Sumsel pasti bisa diredam. Secara keseluruhan, Sumsel memiliki luas gambut sekitar 1,2 juta hektar. Dengan itu, Sumsel merupakan provinsi dengan lahan gambut terluas nomor dua di Sumatera, di bawah Riau.
”Ketika gambut bisa memberi kesejahteraan bagi masyarakat, yakinilah mereka pun akan menjaga gambut,” ujarnya.
Ada banyak cara untuk sejahtera bersama alam. Purun menjadi alternatif lain yang menjanjikan di lahan gambut, selain sawit.
Baca juga: Kisah Tas Usang di Sudut Ruangan