Korem Binaiya Bangun Tiga Jembatan di Pedalaman Maluku
Korem 151/Binaiya Ambon membangun tiga jembatan penyeberangan di pedalaman Maluku. Masyarakat setempat pun merasakan kehadiran negara secara nyata.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Komando Resor Militer 151/Binaiya membangun tiga jembatan gantung melintasi sungai di wilayah pedalaman Maluku. Jembatan yang diberi nama Jembatan Negara Kesatuan Republik Indonesia itu menjadi impian warga setempat yang belum mendapat perhatian serius sejak negara ini merdeka. Sejumlah pihak mengapresiasi pembangunan jembatan tersebut.
Dari tiga jembatan yang dibangun prajurit TNI Angkatan Darat itu, dua di antaranya berada di Kecamatan Leksula, Kabupaten Buru Selatan, dengan masing-masing panjangnya 80 meter dan 60 meter. Sementara jembatan yang satu lagi berada di Kecamatan Kilmuri, Kabupaten Seram Bagian Timur, dengan ukuran panjang 120 meter.
Komandan Korem 151/Binaiya Brigadir Jenderal Arnold AP Ritiauw di Ambon, Minggu (13/6/2021), mengatakan, tiga jembatan itu sudah dapat digunakan warga. Pada Jumat (11/6) lalu, Arnold meresmikan pengoperasian jembatan di Kilmuri. Pembangunan tiga jembatan itu berlangsung sejak awal tahun ini.
Arnold mengatakan, inisiatif untuk membangun jembatan itu berawal dari kunjungan lapangan yang ia lakukan sejak menjabat Danrem tahun 2020. Ia menemukan warga setempat harus menyeberang sungai yang dalam dengan berbagai risiko. Ada juga di mana warga harus berjalan memutar selama berjam-jam.
”Di Kilmuri, misalnya, pernah warga bawa pasien lewat pantai menunggu air laut surut. Pasien itu dinaikkan ke dalam gerobak dorong kemudian pada saat tiba di muara sungai, pasien dipikul. Banyak pasien yang tidak tertolong sehingga meninggal di tengah jalan,” ujarnya.
Ia lalu berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk sukarelawan Vertical Rescue Indonesia, untuk membangun jembatan. Jembatan gantung berbahan kayu itu diperkirakan berumur hingga lebih dari 10 tahun. Ke depan, lanjutnya, direncanakan akan dibangun jembatan serupa di daerah lain yang masih terisolasi.
Menurut dia, keberadaan jembatan tersebut menjadi simbol kehadiran negara di sana. Selama ini, warga setempat kecewa dengan minimnya perhatian pemerintah kepada mereka. Sudah lama warga menyampaikan keluhan dan mengusulkan pembangunan jembatan, tetapi tidak direspons pengambil kebijakan.
Salah satu yang paling manderita adalah anak sekolah. (Adman Sokanfuty)
Adman Sokanfuty, tokoh masyarakat di Kilmuri, menyampaikan terima kasih kepada TNI AD atas pembangunan jembatan tersebut. Ia menganggap, pembangunan tersebut sebagai bentuk kepedulian TNI AD terhadap penderitaan masyarakat di sana yang sejak dulu tidak didengar.
”Salah satu yang paling manderita adalah anak sekolah. Selama ini, mereka berbasah-basahan sebelum tiba di sekolah karena harus menyeberang sungai. Sering kali mereka tenggelam saat menyeberang dengan perahu dayung yang kecil,” tutur Adman menambahkan.
Ia berharap, pemerintah daerah membuka mata dengan memperhatikan pelayanan publik di sana. Selain infrastruktur, tenaga kesehatan segera didatangkan ke sana. Beberapa desa di Kilmuri sering kali terserang wabah campak dan gizi buruk. Banyak anak tidak menerima imunisasi secara lengkap.
Apresiasi serupa juga datang dari Ketua Fraksi Golkar DPRD Provinsi Maluku Anos Yeremias. Ia meminta para kepala daerah di Maluku agar peka dengan kondisi yang terjadi di daerahnya. Tak hanya di Buru Selatan dan Seram Bagian Timur, masih banyak daerah di Maluku juga masih terisolasi.
Keterisolasian itu menjadi faktor utama Maluku tidak bisa berkembang lebih cepat. Kemiskinan masih tinggi, sekitar 19 persen dari jumlah penduduk 1,8 juta jiwa. ”Bagaimana orang bisa menjual komoditas pertanian kalau tidak ada akses transportasi? Langkah Presiden Joko Widodo untuk menggenjot pembangunan infrastruktur harus diselaraskan di daerah,” ujarnya.
Pada kesempatan sebelumnya, Wakil Gubernur Maluku Barnabas N Orno kepada Kompas mengatakan, kondisi geografis kepulauan menjadi salah satu tantangan pembangunan infrastruktur di Maluku. Rentang kendali yang sulit memerlukan biaya besar.
Menurut dia, dengan besaran Anggaran Pendapatan dan Belanda Daerah Provinsi Maluku yang berjumlah di bawah Rp 4 triliun, itu tidak akan cukup untuk mengakselerasi pembangunan. Pasalnya, lebih dari 40 persen anggaran itu sudah habis untuk belanja rutin dan menggaji aparatur negara di daerah.