Helmud Hontong: Berawal dari Salon, Berakhir sebagai Pejuang
Untuk saat ini, masyarakat berduka, seperti Save Sangihe Island yang menulis pesan, ”Kami semua kehilanganmu, Pak. Salam perjuangan, selamat beristirahat.”
Orang-orang berseragam coklat itu kocar-kacir di lapangan. Mereka berhamburan di bawah dengung lebah raksasa yang hilang kendali. Jangan sampai tersambar, apalagi ketiban kalau-kalau dia jatuh. Rumput dan pasir beterbangan menusuk kulit dan mata, tersapu badai kecil yang dibuatnya.
Gejolak di Lapangan Gesit Tahuna, Kepulauan Sangihe, itu baru berakhir setelah helikopter Mi-35P—si lebah raksasa—milik TNI AD mendarat meski bikin ringsek satu mobil. Doni Monardo, saat itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), keluar dari kabin helikopter. Nyawa satu pejabat negara terselamatkan di ”Bumi Nyiur Melambai”, Sulawesi Utara, pada hari keenam Januari 2020.
Di tengah shock yang mulai mereda, ada pria lain bertubuh kecil, berambut abu-abu, dan berkulit sawo matang, berjalan tertatih sendiri. ”Tadi saya sampai jatuh,” katanya seraya memperlihatkan bekas lecet di telapak tangan dan celananya yang kotor karena tanah gara-gara kepanikan itu.
Seperti yang lain, ia juga berseragam coklat, tetapi ada lencana emas bergambar Garuda Pancasila di luar saku dada sebelah kanan. Pakaian dinas harian aparatur sipil negara (ASN) itu terlihat sedikit kedodoran untuk tubuh kurusnya, kira-kira setinggi 155 sentimeter.
Baca juga: Kabut Kematian Mendadak Wakil Bupati Kepulauan Sangihe, Penolak Tambang Emas
Pria itu kemudian berlalu. Beberapa orang bertubuh lebih besar membantunya, mengiringi langkahnya. Ia menghilang bersama para ASN yang tadinya berniat mengantar Doni Monardo kembali ke Manado setelah meninjau keadaan Sangihe pascabanjir bandang.
Besoknya, lelaki setengah baya itu muncul di sebuah warung makan sederhana dekat Pelabuhan Tahuna. Kali ini, rambutnya tertata rapi. Dua pegawai Seksi Pemeliharaan Logistik dan Peralatan BNPB, Bowo dan Fadhil, yang sedari tadi duduk menunggu, segera menyambutnya.
”Selamat pagi Pak Wakil Bupati,” sapa mereka sambil berbungkuk dan menjabat tangannya.
Helmud Hontong, itulah nama pria itu, Wakil Bupati Kepulauan Sangihe. ”Pangge jo (Panggil saja) Om Helmud,” katanya, ramah dan semringah menyambut dua tamunya—sekalipun bukan pejabat—yang datang dari Ibu Kota.
Sebagai tuan rumah yang baik, dia menjamu mereka dengan menu spesial. Dengan semangat, Helmud ,yang kala itu berusia 57 tahun, memperkenalkan rahasia kenyang yang awet yang juga lezat, sagu kelapa sangrai.
”Sudah, jang sontong (jangan sentuh) itu nasi!” serunya agak galak, lalu menyediakan lembaran sagu sangrai. ”Hari ini kita makan sagu kelapa saja, asli Sangihe. Dijamin enak, lezat, dan tahan lama di perut!” katanya.
Helmud benar. Gurih dan harumnya sagu kelapa sangat cocok dimakan dengan ikan tude (kembung) bakar, tumis kangkung, dan rica bakar serta dabu-dabu. Tak ayal, Bowo dan Fadhil makan lahap sambil menyeka keringat.
Helmud tak ragu masuk ke dapur warung, lalu membawakan nampan berisi lebih banyak lembaran sagu bagi Bowo dan Fadhil. Pemilik warung seperti tidak heran lagi, tampaknya itu sudah menjadi keseharian pelanggan tetapnya, si wakil bupati.
Berawal dari salon
Helmud lahir pada 9 November 1962 di Pulau Mahangetang, salah satu dari gugusan pulau di sisi selatan Pulau Sangihe. Ia adalah warga biasa, bukan dari trah politisi seperti banyak pejabat di Sulut.
Karier politiknya justru dimulai dari sebuah salon di Tahuna. Wakil Bupati 2001-2004 dan juga Bupati Kepulauan Sangir Talaud 2004-2007, Winsulangi Salindeho, menyebut Helmud sebagai pengusaha salon yang baik dan profesional. Ia mendapat kepercayaan dari Pendeta Meiva Lintang, Ketua DPRD Sulut 2009-2014.
”Karena itu, dia selalu diminta oleh istri saya (Meiva), ketika ada acara-acara resmi, untuk menata rambut dan make up (rias). Menjelang pemilu legislatif di Sangihe, istri saya menawarkan dia untuk jadi calon angota DPRD Sangihe. Kebetulan saya waktu itu Ketua II DPD Partai Golkar Sangihe, jadi kami akomodasi tawaran istri saya,” kata Winsulangi.
Mungkin Helmud tak menyangka dirinya bisa terpilih dua kali sebagai anggota DPRD Sangihe pada 2009 dan 2014. Menurut Winsulangi, keberhasilan Helmud adalah buah dari kedekatannya dengan masyarakat di tingkat akar rumput.
Komunikasi dan pendekatannya ke masyarakat sangat bagus. Ketika ada konstituennya yang sakit, dia bilang masuk rumah sakit dulu saja sekalipun tidak ada uang, nanti dia yang urus.
”Komunikasi dan pendekatannya ke masyarakat sangat bagus. Ketika ada konstituennya yang sakit, dia bilang masuk rumah sakit dulu saja sekalipun tidak ada uang, nanti dia yang urus. Kalau ada acara duka atau apa pun, dia selalu datang. Dia sangat akrab dengan konstituennya dan kami berterima kasih kepada beliau untuk itu,” tutur Winsulangi.
Karier politik Helmud memuncak ketika Jabes Gaghana, sebelumnya Wakil Bupati Sangir Talaud 2006-2007 dan Wakil Bupati Kepulauan Sangihe 2011-2016, meminangnya menjadi wakil bupati dalam Pilkada 2017. Mereka kemudian terpilih sebagai pemimpin 105 pulau di Laut Sulawesi itu.
Saat itu, kata Winsulangi, popularitas Helmud sedang meroket. Orang-orang menyapanya embo, sebutan sayang bagi anak terakhir. Dia juga orang penting di DPD Partai Golkar Kepulauan Sangihe, kala itu menjabat sekretaris.
Sayangnya, keakraban Helmud dengan Jabes tak bertahan lama. Keduanya tak pernah tampak bersama di acara-acara resmi. Helmud seperti tak diberikan peran lebih dalam pemerintahan. Di partai, perannya tidak lagi vital. Jelang Pilkada Sulut 2020, Helmud menyeberang mendukung calon dari PDI-P, alih-alih partainya sendiri.
Puncaknya terjadi di awal 2021. Saat itu, Kepulauan Sangihe digemparkan berita pemberian izin operasi produksi pertambangan emas bagi PT Tambang Mas Sangihe (TMS) di wilayah kontrak karya seluas 42.000 hektar, lebih dari setengah dari luas pulau yang hanya 73.698 hektar. Kontrak karya itu berlaku sampai 33 tahun ke depan dan dapat diperpanjang dua kali.
Pada April 2021, Jabes mengatakan, ketetapan pemerintah pusat tak mungkin diganggu gugat pemkab. Namun, Helmud justru menyatakan penolakan secara resmi terhadap tambang emas PT TMS.
Baca juga: Tambang Emas Sangihe Masih Mungkin Meluas
Penolakan itu ia layangkan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral melalui surat. Helmud meminta Menteri ESDM mempertimbangkan pembatalan izin operasi pertambangan PT TMS. Helmud mengatakan dalam surat itu, kegiatan pertambangan hanya memberi keuntungan kepada pemegang kontrak karya, bukan untuk kesejahteraan masyarakat.
Dengan itu, Helmud menjadi satu-satunya figur pemerintahan di Sangihe yang menyatakan penolakan. Dia lantas dijadikan ikon gerakan perlawanan oleh koalisi masyarakat yang menolak kehadiran PT TMS, Save Sangihe Island.
Saya berdiri bersama rakyat karena rakyat memilih saya menjadi wakil bupati.
”Saya berdiri bersama rakyat karena rakyat memilih saya menjadi wakil bupati,” kata Helmud.
Kepergian
Namun, perlawanan Helmud terhenti pada Rabu (9/6/2021). Ia mendadak meninggal dalam usia 58 tahun saat perjalanan udara dari Denpasar, Bali, ke Maros, Sulawesi Selatan, sebelum melanjutkan perjalanan ke Manado.
Di tengah perjalanan Lion Air JT 740 itu, ia mengeluh kepada Harmen Kontu, ajudan yang duduk di sebelahnya, lehernya terasa sakit. Helmud kemudian meminta air minum, tetapi setelah minum dia terbatuk.
Dari hidung dan mulutnya keluar darah. Hawa kabin pesawat semakin panik setelah Helmud hilang kesadaran. Ia sempat mendapat bantuan pernapasan dengan masker oksigen. Namun, nyawanya tak terselamatkan. Seorang dokter dalam satu penerbangan dengannya, disebut bernama dr Timothy, menyatakan Helmud meninggal selagi di udara.
Setibanya di Bandara Sultan Hassanudin, Maros, tim Kantor Kesehatan Pelabuhan Makassar memeriksanya. Helmud dinyatakan meninggal pada 16.22 Wita. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulawesi Selatan Komisaris Besar E Zulpan mengatakan, dugaan sementara penyebab kematian adalah serangan jantung.
Kendati begitu, spekulasi segera menyeruak di jagat maya. Banyak warganet yang menghubung-hubungkan kematian Helmud dengan penolakannya terhadap tambang emas PT TMS. Banyak yang curiga ia diracun, seperti aktivis HAM Indonesia, Munir Said Thalib, pada 2004.
Save Sangihe Island pun segera membuat pernyataan resmi. ”Seandainya kematian almarhum Helmud diakibatkan penolakannya terhadap Tambang Mas Sangihe, kami tidak takut dan tidak akan diam. Kami akan terus menolak kehadiran tambang (emas),” demikian pernyataan koalisi itu pada satu postingan di Instagram.
Kendati begitu, jenazah Helmud langsung diterbangkan ke Manado, kemudian dikirim ke Tahuna tanpa otopsi. Zulpan menyatakan, pihaknya tidak berhak menyelidiki adanya kaitan dengan penolakan tambang. ”Lagi pula tidak ada tanda-tanda lain untuk menyebut kematian itu akibat pembunuhan,” katanya.
Jenazah Helmud kini sedang disemayamkan di Tahuna. Abner Menaung, Pelaksana Tugas Kepala Bagian Protokoler dan Komunikasi Sekretariat Kepulauan Sangihe, mengatakan, Helmud akan dimakamkan di halaman rumah pribadi di Kelurahan Manente, Tahuna.
Dalam situasi duka, Bupati Kepulauan Sangihe Jabes Gaghana memerintahkan pemasangan bendera setengah tiang. Namun, ia tak mau memberikan kesan dan komentar tentang sosok Helmud selama memerintah dengannya. ”Sudahlah, nanti saja kalau semua sudah clear,” kata Jabes tanpa menjelaskan apa yang harus di-clear-kan.
Terlepas dari kepentingan politiknya, embo Helmud tak pernah jauh dari masyarakat. Tambang emas ia jadikan lawan terakhir dari perjuangannya. Kini perjuangan itu harus rakyat lanjutkan sendiri. Untuk saat ini, masyarakat berduka, seperti Save Sangihe Island yang menulis pesan, ”Kami semua kehilanganmu, Pak. Salam perjuangan, selamat beristirahat.”
Baca juga: Perda dan UU Tidak Sinkron Buka Celah Tambang Masuk Sangihe