Pekerjaan Rumah Menurunkan Tingkat Kebocoran Air
Kebocoran air masih menjadi masalah di sejumlah kota di Jawa. Selain karena pipa air yang bocor/rusak, kesalahan pada meteran air, dan sambungan ilegal yang berujung pada tindakan kriminal.
Beberapa wilayah di Jawa masih bergelut untuk mengatasi kebocoran dalam pengelolaan air wilayah, termasuk Jakarta. Semua wilayah memiliki nilai kebocoran di atas 40 persen, jauh melampaui standar yang ditetapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Kehilangan air menjadi salah satu penentu indikator kualitas layanan perusahaan air minum, selain kualitas air, rasio cakupan layanan, volume air yang terjual, dan jumlah sambungan baru. Indikator kehilangan air inilah yang akan memengaruhi kemampuan suplai air bersih perusahaan air minum.
Semakin tinggi nilai kehilangan air berarti pengelolaan perusahaan air minum tidak efisien dalam pengelolaan air bersih. Sebaliknya, jika berhasil menurunkan tingkat kehilangan air, menjadi indikasi keberhasilan penyelenggaraan pelayanan air bersih. Naiknya angka kehilangan air menurut ”Modul Air Tak Berekening (PU, 2018)”akan menjadi pengungkit semua indikator pelayanan air bersih seperti kuantitas air dan cakupan layanan.
Namun, dari penilaian indikator kinerja BUMD penyelenggara sistem penyediaan air minum (SPAM), tingkat kehilangan air bukan menjadi penentu utama indikator kinerja. Penilaian ditentukan oleh aspek-aspek lain, seperti keuangan, cakupan dan pertumbuhan pelanggan, serta sumber daya manusia BUMD.
Berdasarkan penilaian tersebut, belum tentu perusahaan pengelola air minum yang tingkat kehilangan airnya masih di atas 40 persen dikategorikan ”kurang sehat” atau ”sakit”.
Sebagai contoh pengelolaan air di Jakarta. Selama dua dekade pengelolaan air di Jakarta dikelola oleh korporasi swasta PT Palyja dan Aetra, angka kehilangan airnya tetap bertahan pada 40 persen. Angka ini tidak berbeda jauh dengan saat sebelum korporasi, yakni 55-57 persen.
Baca juga : Mafia Air Eksploitasi Warga Miskin
Namun, menurut penilaian Kinerja BUMD dalam Pengelolaan SPAM tahun 2019 (BPPSPAM, 2019), pengelolaan air bersih di Jakarta dikategorikan ‘sehat’ dengan nilai 3,21. Hal ini karena nilai indikatornya cukup baik, seperti cakupan layanan (62 persen) dan efektivitas penagihan 86,45 persen.
Berbeda halnya dengan PDAM Kota Blitar yang secara kinerja dikategorikan ”kurang sehat”. Angka tingkat kebocoran air mencapai 58,24 persen. Cakupan layanannya cukup minim dan terus menurun tiga tahun terakhir ini menjadi 20,38 persen.
Kebocoran Air
Kebocoran air juga biasa disebut dengan kehilangan air. Dalam suatu produksi air yang dihasilkan oleh perusahaan pengelola air minum, kehilangan air merupakan volume air yang tidak tercatat dan yang tidak menjadi penghasilan. Definisi kehilangan air menurut ”Modul Air Tak Berekening” adalah angka yang menunjukkan selisih antara volume penyediaan air dan volume air yang dikonsumsi.
Istilah yang dipakai adalah nonrevenue water (NRW) yang biasa diterjemahkan sebagai air yang hilang dapat diukur dan diketahui besarnya tetapi tidak dapat direkeningkan. Penyebab kehilangan air terbagi dua, kehilangan air secara fisik dan nonfisik atau komersial.
Kebocoran air ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga negara-negara lain di dunia. Volume kehilangan air di tingkat global mencapai 35 persen dari air yang sudah diolah dan masuk ke dalam sistem jaringan distribusi.
Baca juga: Harga Bintang Lima untuk Kaum Papa
Sementara, rata-rata tingkat kehilangan air di Indonesia sesuai data BPPSPAM pada 2019 adalah 32,75 persen. Angka tersebut membaik dibandingkan dengan tahun sebelumnya (33,16 persen).
Meski membaik, angka NRW tersebut masih cukup jauh dari ketentuan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 tahun 2006. Aturan tersebut menyebutkan, batas maksimal kebocoran air bersih untuk perusahaan air minum adalah 20 persen.
Kebocoran fisik
Kebocoran fisik mendominasi angka kebocoran air di Indonesia. Dalam kajian BPPSPAM tahun 2007 menggunakan sampel data 24 PDAM disebutkan, angka kebocoran fisik di Indonesia 68 persen. Hingga sekarang angka kebocoran fisik masih relatif tinggi di kota yang angka NRW-nya lebih dari 40 persen.
Seperti di Jakarta, mengutip dari paparan ”FGD Pengelolaan Air Minum DKI Jakarta”, tahun 2014 kebocoran fisik berkisar 55 persen. Adapun di Kota Mojokerto, angka kebocoran fisik merujuk penelitian ”Studi Kehilangan Air Komersial: Studi Kasus:PDAM Maja Tirta Kota Mojokerto” hingga 81 persen.
Angka kebocoran fisik yang tinggi ini cukup wajar karena mayoritas pipa jaringan distribusi air merupakan pipa-pipa lama. Bahkan, di Jakarta masih ada pipa yang dipasang zaman Belanda. Belum lagi jika pipa tersebut tertimbun oleh lapisan aspal/beton yang hampir setiap tahun ditambah ketebalannya.
Tak hanya soal faktor usia pipa. Faktor alam seperti longsor dan gerakan tanah juga menyebabkan kebocoran air di Kota Tegal.
Pipa distribusi air jatuh ke dalam jurang sedalam 5 meter, Februari lalu. Akibatnya masyarakat di Kecamatan Tegal Selatan dan Tegal Timur kekurangan air bersih selama beberapa hari.
Sambungan Ilegal
Adapun kebocoran nonfisik merupakan kebocoran yang tidak nyata yang menyebabkan air tidak terukur dengan baik sehingga tidak menjadi pendapatan dari jasa penyediaan air. Penyebab kehilangan nonfisik bisa karena faktor meteran air, seperti kesalahan pembacaan meteran, meteran air berjalan lambat atau rusak, dan tidak ada meter.
Sambungan ilegal jaringan air biasanya berakhir sebagai kasus hukum di pengadilan. Pelakunya bisa berasal dari perorangan hingga korporasi besar.
Hasil penelusuran di laman Mahkamah Agung, modus sambungan ilegal yang terjadi di Jakarta cukup bervariasi. Dari cara sederhana, yakni memotong jaringan pipa PAM dan memasangnya dengan pipa-pipa kecil yang dialirkan hingga ke rumah warga hingga ada yang menyalurkannya ke pabrik air, mal, dan apartemen.
Sambungan ilegal ini juga banyak ditemukan di permukiman ilegal. Laporan Palyja tahun 2015 menunjukkan, dari penelusuran di 48 permukiman ilegal ditemukan 793 kasus sambungan tidak resmi yang setara dengan pemakaian air 415.470 meter kubik/tahun.
Adapun di Bandung, yang dikatakan sambungan ilegal adalah masyarakat yang sudah tidak menjadi pelanggan sehingga pipanya diputus. Namun, kemudian masyarakat yang bersangkutan menyambung kembali pipa tersebut. Mengutip dari laman pemberitaan lokal, pada tahun 2016, diketahui ada 30.000 sambungan ilegal. Akibatnya, PDAM Tirta Wening menderita kerugian hingga Rp 30 miliar.
Selain sambungan ilegal, banyak juga terjadi kasus penggunaan ilegal. Modusnya bervariasi. Pelanggan yang sengaja merusak meteran, menghilangkan atau tidak merawat meter air, menutup akses meter bagi pembaca meter air, hingga menyadap sebelum meter air.
Upaya penurunan
Upaya menurunkan tingkat kebocoran air memang tidak mudah dan jelas tidak murah. Sebagai gambaran, dari laporan tahunan Palyja, salah satu pengelola air Jakarta, membutuhkan dana hingga Rp 598,5 miliar dalam 15 tahun untuk memperbaiki kebocoran fisik.
Perbaikan yang sudah dilakukan berupa rehabilitasi pipa primer dan distribusi, sambungan rumah dan penggantian meter, dan pembuatan permanen area (district meter area).
Selain itu, paparan ”Pegangan Air Tak Berekening untuk Manager (2018)” juga menyebutkan kurangnya sumber daya manusia yang terlatih serta kurangnya komitmen dari manajemen dan karyawan perusahaan pengelola air. Di sisi lain, bisa jadi karena tidak memahami masalah soal kebocoran air dan rendahnya insentif kinerja untuk mengatasi kebocoran.
Meski demikian, upaya menurunkan tingkat kebocoran air tetap harus dilaksanakan karena akan menguntungkan perusahaan pengelola air. Dari delapan wilayah di Jawa yang angka NRW-nya tinggi, ada tiga yang selama tiga tahun terakhir berhasil menurunkan angka NRW, yakni Kota Tasikmalaya, Kota Tegal, dan Kota Sukabumi.
Kota Sukabumi, contohnya, tercatat dalam Kinerja BUMD tahun 2019, turun 12 persen dari 2017 ke 2019. Upaya yang lebih banyak dilakukan adalah pada kebocoran fisik, di antaranya mengganti pipa lama dengan jenis pipa yang baru yang sudah dilakukan sejak akhir 2014 di sejumlah titik.
Sebaliknya di Jakarta selama lima tahun terakhir tercatat dalam LPJ Gubernur DKI Jakarta tahun 2020, justru meningkat. Dari angka 41,3 persen di 2015 perlahan naik menjadi 42,6 persen di 2019. Padahal, dua periode sebelumnya sudah menunjukkan tren menurun.
Penelitian ”Pemilihan Program Pengendalian Kehilangan Air serta Pengaruh Implementasinya terhadap Peningkatan Pendapatan PDAM (Imanullah dkk, 2014)” menyarankan untuk menurunkan NRW dari sisi kebocoran administratif. Pengendalian kehilangan air komersil hingga 20 persen dapat dianggap lebih unggul jika PDAM tidak ingin mengambil pinjaman dana dalam jumlah yang terlalu besar.
Kehilangan air memang tidak bisa dihilangkan sama sekali alias nol persen. Namun, bisa dikurangi hingga tingkat yang cukup rendah sekitar 20 persen. Hal ini membutuhkan komitmen dari semua pihak, dari perusahaan air minum hingga masyarakat. Terpenting, proses penurunannya merupakan aktivitas jangka panjang dan tidak instan.