Orangutan yang Masuk Permukiman di Paser Dibawa ke Pusat Rehabilitasi
Orangutan yang masuk permukiman warga di Kabupaten Paser dibawa ke pusat rehabilitasi yang dikelola Yayasan BOS di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Orangutan di Pusat Rehabilitasi Orangutan Samboja Lestari yang dikelola Yayasan Borneo Orangutan Survival di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Jumat (30/8/2019).
BALIKPAPAN, KOMPAS — Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur akhirnya mengevakuasi orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) yang sempat masuk ke permukiman warga di Desa Lusan, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser. Primata berbulu coklat itu dibawa ke pusat rehabilitasi yang dikelola Yayasan Borneo Orangutan Survival di Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Selasa (8/6/2021), beredar video di media sosial yang merekam seekor orangutan berjalan di sekitar permukiman warga Desa Lusan. Sang Pongo terus berjalan tanpa melakukan perlawanan atau mengganggu warga.
Pelaksana Tugas Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim Nur Patria Kurniawan mengatakan, setelah kejadian, pihaknya dan tim Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) beranjak ke lokasi. Dengan dibantu warga, orangutan itu kemudian digiring masuk ke hutan pada Rabu (9/6/2021).
”Setelah itu, tim menginap di desa. Pada Kamis (10/6/2021) sekitar pukul 17.00 Wita, orangutan itu terlihat kembali. Tim memutuskan untuk membawanya ke pusat rehabilitasi di Samboja untuk diobservasi kesehatannya. Nanti akan diputuskan apakah perlu dilepasliarkan atau dirawat terlebih dahulu,” ujar Nur yang dihubungi dari Balikpapan, Jumat (11/6/2021).
Orangutan itu diperkirakan individu yang pernah dilepasliarkan. Hal itu terlihat dari microchip yang terdapat di tubuh kera besar tersebut. Nur menjelaskan, kemungkinan orangutan itu dilepasliarkan pada 2010 di sekitar Pegunungan Meratus.
Desa Lusan merupakan daerah di Kabupaten Paser yang terisolasi oleh hutan. Selain perkebunan milik warga, tak ada pertambangan atau aktivitas eksploitasi alam dalam jumlah besar. Hutan di dekat desa itu tersambung dengan Pegunungan Meratus yang memanjang di wilayah Kalimantan Selatan hingga perbatasan Kalimantan Tengah dan Kaltim.
Warga desa sempat memberi makan dan minum sang Pongo. Kepala Desa Lusan M Irham mengatakan, warga melakukan itu karena kasihan. Orangutan itu terlihat lemas dan bingung. ”Warga tidak tahu kalau orangutan itu seharusnya digiring kembali ke hutan. Setelah diberikan sosialisasi dari BKSDA Kaltim, warga baru mengerti,” ujar Irham.
Menghadapi satwa liar
Agus Irwanto dari Yayasan Samboja Lestari, pusat rehabilitasi satwa Yayasan BOS di Kaltim, menyebutkan, banyak faktor yang memungkinkan orangutan menjelajah hingga keluar hutan. Kemungkinan pertama, terjadi perubahan tutupan lahan yang sebelumnya hutan menjadi areal peruntukan lain.
Kompas/Priyombodo
Orangutan yang menjalani perawatan dan rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Orangutan Samboja Lestari yang dikelola Yayasan Borneo Orangutan Survival di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Jumat (12/3/2021).
Kemungkinan pertama itu kecil sebab daerah di sekitar Desa Lusan merupakan hutan belantara. Kemungkinan lainnya adalah masa paceklik buah-buahan hutan di wilayah tinggal orangutan saat itu. Kondisi tersebut memaksa orangutan keluar dari habitat untuk mencari daerah yang tersedia sumber pakan.
”Kemungkinan selanjutnya, areal kerja manusia atau permukiman tersebut dulunya adalah areal perlintasan orangutan untuk foraging (mencari makan),” ujar Agus.
Dengan kemungkinan-kemungkinan tersebut, cara terbaik menghadapi satwa liar, seperti orangutan, adalah tidak mengusiknya, apalagi memberi makan. Kecuali, satwa itu benar-benar butuh pertolongan, seperti mengalami luka atau meregang nyawa.
Cara terbaik adalah menjauhi dan tidak membuat gerakan yang membuatnya terusik.
Menghubungi ahli atau BKSDA juga penting dilakukan untuk memberi perlakuan tepat kepada satwa liar. Nur menjelaskan, kebanyakan satwa yang masuk permukiman warga karena mencari makanan atau minum. Kemungkinan lain, ia tersisih dari kelompoknya karena faktor tertentu.
”Dalam kondisi lapar dan tersisih, emosinya tinggi. Satwa liar berpotensi marah dengan perlakuan apa pun manusia karena merasa terganggu,” ujar Nur.
Dia menambahkan, cara terbaik adalah menjauhi dan tidak membuat gerakan yang membuatnya terusik. Sebab, satwa liar kemungkinan membawa patogen yang bisa menularkan ke manusia. Jika permukiman warga berada di dekat hutan, satwa bisa digiring dengan bunyi-bunyian agar masuk kembali ke habitatnya.
Memberikan makan kepada satwa liar sehat juga tidak bisa dibenarkan. ”Sebab, mereka juga belajar dari pengalaman. Satwa liar akan merasa mendapat makanan gratis dan mudah di permukiman. Mereka akan kembali lagi ke sana,” ujar Nur.
Forum Orangutan Indonesia (Forina) mencatat, orangutan Kalimantan berjumlah 57.350 individu di habitat seluas 16 juta hektar. Adapun orangutan di Kaltim diperkirakan 14.000 individu. Keberadaannya kini dilindungi.
Untuk itu, mengembalikan orangutan ke habitatnya amat penting. Sebab, orangutan merupakan bagian penting untuk kelestarian hutan. Primata besar itu merupakan salah satu spesies payung yang keberadaannya menyokong keberlangsungan spesies lain.
Dari sisa makanan dan kotoran mereka, penyebaran benih tumbuhan di hutan berlangsung alami bertahun-tahun. Hal itu melanggengkan keanekaragaman hayati dan menjaga hutan sebagai daya dukung lingkungan.
Pohon-pohon di hutan menyerap karbon dan menyerap air hujan. Bagi manusia, manfaat yang didapat adalah ketersediaan oksigen. Adapun kemampuan pohon di hutan alami dalam menyerap air berfungsi sebagai daya dukung lingkungan untuk menghindari longsor atau banjir wilayah sekitarnya.