Fokus, Banyak Target Saat Pandemi Bisa Jadi Berbahaya
Semua pihak butuh fokus menghadapi penularan Covid-19. Saat banyak target ditetapkan, usaha melawan pandemi dikhawatirkan akan berputar dalam lingkaran bahaya yang sama.
Pandemi masih jauh dari usai. Butuh fokus tinggi menghadapinya. Namun, saat banyak target hendak dicapai bersamaan, menang melawan Covid-19 bisa jadi sulit tercapai. Bukannya reda, pandemi bisa jadi lebih berbahaya. Kita bakal terus berputar di lingkaran kerentanan yang sama.
SMAN 22 Kota Bandung masih saja sepi, Senin (7/6/2021) siang. Lebih kurang 100 siswa yang diperkirakan datang dalam simulasi pembelajaran tatap muka hari itu batal datang. Hanya ada satu siswa masuk sekolah saat itu.
Kepala SMAN 22 Hadili terlihat lesu menerima keadaan ini. Dia mengatakan belum mengetahui penyebabnya pastinya. Ada kemungkinan orangtua siswa masih ragu mengizinkan anaknya ke sekolah dengan alasan pandemi Covid-19.
Baca juga: Kasus Covid-19 di Kota Bandung Berpotensi Melonjak Setelah Libur Lebaran
Padahal, sebelumnya pihak sekolah sudah menyiapkan sejumlah rencana. Formulir kesanggupan ikut pembelajaran tatap muka sudah disebar. Total, ada 100 orangtua siswa yang setuju kembali anaknya belajar di sekolah.
Siswa yang dipilih juga dari kelas X. Alasannya, kemungkinan siswa datang ke sekolah cukup besar karena mereka siswa baru yang belum pernah ke sekolah. Namun, ujungnya berkata lain.
”Nanti, kami akan yakinkan orangtua siswa lagi. Sekolah siap melaksanakan belajar tatap muka terbatas,” ujar Hadili.
Kembalinya kegiatan belajar mengajar ke ruang kelas tentu menjadi kabar menggembirakan. Lebih dari setahun, kelas-kelas itu hanya dijamah sepi. Namun, digelar saat fokus pada mitigasi penularan Covid-19 belum ideal, sikap itu rentan menuai bahaya.
Ragam pelanggaran terhadap protokol kesehatan di Kota Bandung santer terdengar belakangan ini. Jelang libur Lebaran, misalnya, kerumunan di pusat perbelanjaan dekat Rumah Dinas Wali Kota Bandung ramai diperbincangkan.
Kerumunan di beberapa tempat wisata saat libur Lebaran juga terjadi. Berdesakan, banyak wisatawan tidak menggunakan masker. Saat semua itu terjadi, gaung denda bagi para pelanggar protokol kesehatan tidak banyak terdengar.
Terus meningkat
Akibatnya nyata. Wakil Wali Kota Bandung Yana Mulyana mengatakan terjadi peningkatan kasus dari 30 kejadian per hari menjadi 110 kejadian per hari. ”Fasilitas dan tenaga kesehatan (Kota Bandung) sebentar lagi bisa kolaps,” katanya, Minggu (6/6/2021).
Berdasarkan data Pusat Informasi Covid-19 Kota Bandung, Selasa (8/6/2021), jumlah kasus positif mencapai 20.211 orang atau bertambah 114 orang dari hari sebelumnya. Dari jumlah itu, 358 jiwa di antaranya meninggal dan terkonfirmasi Covid-19. Sementara 851 pasien lainnya masih dirawat atau isolasi dan 19.002 orang dinyatakan sembuh dari Covid-19.
Sekretaris Daerah Kota Bandung Ema Sumarma mengatakan, angka penggunaan tempat tidur (bed occupancy ratio/BOR) sudah mencapai 79,9 persen. Menurut dia, tingginya angka BOR dipicu pelacakan kasus yang semakin aktif. Untuk mengantisipasi ketersediaan tempat tidur, dia mengatakan sudah meminta penambahan tempat isolasi di setiap kecamatan. Saat ini, ada 50 tempat isolasi di 19 kecamatan.
Baca juga: Cegah Penyebaran Covid-19, Enam Tempat Wisata di Bandung Ditutup
Tingginya BOR di Bandung ikut meningkatkan perhitungan ketersediaan tempat tidur rumah sakit di Jabar. Ketua Harian Satgas Penanganan Covid-19 Jabar Daud Achmad, di Bandung, Senin (7/6/2021), menyatakan, dalam sepekan terakhir, peningkatan BOR terjadi konsisten.
Hingga Minggu, BOR rumah sakit di Jabar menyentuh 49 persen dari 12.845 tempat tidur. Kenaikan ini diduga kuat terkait erat dengan aktivitas masyarakat pasca-libur Lebaran. ”Seminggu lalu, BOR di Jabar itu 39 persen dan sekarang menyentuh 49 persen. Ada peningkatan 1-2 persen per hari,” ujarnya.
Kondisi itu sejalan dengan turunnya kedisiplinan warga Jabar menerapkan protokol kesehatan. Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, dari biasanya mencapai di atas 80 persen, tingkat kedisiplinan warga turun menjadi 72 persen.
Untuk mengantisipasi lonjakan kasus, dia juga meminta rumah sakit yang sudah keterisiannya diambang batas untuk menambah ruang perawatan. Rumah sakit itu seperti Al Ihsan, Santosa, dan Immanuel.
Naik turunnya kasus Covid-19 akibat beragam hal itu jelas bukan kabar baik. Kematian jelas menjadi dampak terburuk. Namun, saat banyak semua pihak masih abai, sektor ekonomi rentan tidak kunjung menemukan titik pasti untuk menggeliat. Kualitas sumber daya manusia juga rentan anjlok akibat kesulitan beradaptasi dengan metode belajar selain tatap muka.
Apalagi, proses vaksinasi yang disebut bakal menjadi memicu kekebalan komunitas, masih jauh dari ideal. Data Kementerian Kesehatan pada Selasa menyebutkan, sasaran vaksiansi di Jabar tahap 1 dan 2 sebanyak 6.781.022 orang. Namun, untuk dosis 1 baru dilakukan pada 2.287.600 orang. Sedangkan dosis 2 diberikan pada 1.696.319 orang. Di Kota Bandung, untuk kalangan prioritas seperti lansia, baru diberikan sekitar 32 persen.
Belajar dari masa lalu
”Kenali dirimu, kenali musuhmu. Seribu pertempuran, seribu kemenangan”.
Saat pandemi ini, satu dari sekian banyak kata bijak Sun Tzu, filsuf dan ahli strategi perang China kuno, itu bisa jadi penting untuk semua pihak, termasuk Jabar dan pemerintah daerah di bawahnya. Bukan kali ini saja wabah menyerang manusia di Tatar Sunda. Wabah cacar hingga sampar pernah begitu kejam mencabut nyawa manusia.
Serangan wabah cacar dan sampar setidaknya bisa dipelajari dalam buku Kuris: Vaksinasi Cacar di Tatar Sunda 1779-1948 dan Jaman Woneng: Wabah Sampar di Priangan 1925-1937. Penulis kedua buku itu, Atep Kurnia, mengumpulkan data dari berbagai sumber dalam dan luar negeri dalam periode waktu yang panjang.
Mengutip tinjauan MF Polak, Kepala Jawatan Epidemilogi pada Institut Kerajaan Belanda, tentang pengendalian cacar di Indonesia, kasus cacar sempat turun setelah vaksinasi dan penambahan tenaga kesehatan periode 1920-1940. Periode 1937-1940, tercatat hanya ada 15 kasus cacar di Indonesia.
Akan tetapi, tahun 1947, cacar melonjak lagi. Menurunnya laju vaksinasi hingga kembali padatnya lalu lintas antarpulau dan negara tetangga menjadi pemicunya. Kemunculannya kembali terjadi di Riau.
Di Tatar Sunda, kasus itu kembali muncul tahun 1948. Tatar Sunda menurut Ensiklopedi Sunda disebut mencakup Jabar, DKI Jakarta, dan Banten. Pada September 1948, kasus penularan dari Sumatera terjadi di Banten.
Di Jakarta (Batavia), hingga 19 Juni 1949, tercatat 4.717 penderita dan 587 orang meninggal dunia. Namun, jumlahnya disinyalir lebih besar karena banyak pasien tidak terpantau atau bersembunyi karena takut diisolasi. Kasusnya diperkirakan terus muncul sebelum pada tahun 1979 saat WHO mengumumkan resmi cacar sudah diberantas.
Kasus di atas jelas memberi pesan berbahaya apabila lekas puas. Potensi gelombang serangan selanjutnya bisa saja terjadi. Cacar bisa melakukannya, bukan tidak mungkin Covid-19 bakal berulah serupa.
Selain vaksinasi dan sosialisasi, penegakan hukum juga penting diambil apabila tidak ingin penularan terjadi tanpa henti. Atep memasukkan kisah kerusuhan akibat penolakan vaksinasi sampar di Cibugel, Sumedang, 20 Mei 1937. Cibugel berjarak sekitar 65 kilometer dari pusat kota Bandung.
Penolakan terjadi saat warga mendapat kabar ada rencana vaksinasi pada 1 Juni 1937. Penduduk resah. Hingga akhirnya, ada sekelompok warga yang menyerang camat dan Kepala Desa Cibugel yang tengah menyosialisasikan vaksinasi.
Beruntung, kerusuhan bisa diredakan. Kepolisian Bandung menurunkan 16 personel ke Cibugel. Sebanyak 14 orang yang terlibat ditangkap. Sebagian adalah orang terpelajar dan berada. Mulai dari juru tulis, petani kaya, hingga mantan kepala desa. Para pelaku lantas dijatuhi hukuman penjara 1,5-3 tahun.
Bukan tanpa alasan tindakan tegas itu diambil penguasa. Sebelumnya, periode 1933-1935, sampar mewabah di Jawa. Di Jabar, jumlah kematian mencapai 15.188 orang pada tahun 1933 dan 20.569 orang (1934). Meski menurun, tahun 1935, korban sampar masih tercatat 10.307 orang.
Penurunan ini ditunjang mulai adanya pengambilan sampel darah untuk mendeteksi sampar, vaksinasi, dan perbaikan rumah mencegah perkembangbiakan tikus. Sudah melewati proses panjang sejak kasus pertama ditemukan tahun 1925 di Ciawi, tentu wajar apabila penguasa daerah tak ingin kecolongan.
Masih bahaya
Akan tetapi, memberi contoh baik tidak selamanya bisa dilakukan dengan mulus oleh penguasa. Setelah diserang Covid-19 pada Agustus 2020, jantung pemerintahan Provinsi Jabar, Gedung Sate, kembali dibekap kasus serupa.
Hingga Selasa, 40 aparatur sipil negara positif Covid-19. Diduga, kasusnya terkait kunjungan kerja beberapa orang ke Jakarta setelah Lebaran. Dalam kasus ini ditemukan kluster keluarga. Empat di antaranya memiliki alamat sama.
Pada saat bersamaan, Wakil Gubernur Jabar Uu Ruzhanul Ullum juga dinyatakan terpapar Covid-19. Dia mengakui lalai menerapkan protokol kesehatan setelah divaksinasi. Sebelumnya, pertengahan April 2021, istri Gubernur Jabar Atalia Praratya diserang Covid-19. Keduanya sudah mendapatkan dua kali vaksinasi.
Terkait itu, Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengharapkan doa semua pihak untuk kesembuhan Uu. ”Semoga, Wagub bisa segera menjalankan aktivitas kembali,” kata dia di Tasikmalaya, Selasa.
Dalam kesempatan yang sama, Kamil mengatakan, tingkat fatalitas di Jabar sekitar 1 persen atau menjadi salah satu yang terendah di Indonesia. Data Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jabar hingga Selasa malam menyebutkan ada 4.334 orang meninggal dari total 321.551 kasus atau 1,35 persen.
Kamil juga menyebut 1 persen saat menyebutkan kebocoran pemudik asal Jabar yang nekat pulang kampung saat Lebaran. Dia mengklaim, warga Jabar cukup patuh dengan aturan larangan mudik.
Angka 1 persen bisa jadi terlihat kecil. Namun, di tengah penambahan kasus, vaksinasi berjalan lambat, belum idealnya pelacakan kasus serta tes, dan begitu banyak ambisi program pemulihan ekonomi, 1 persen bisa berdampak jauh lebih berbahaya bila tidak siaga.