Pukulan Ganda Menghantam Petani Bawang Merah di Jatim
Pukulan ganda dirasakan petani bawang merah di Jawa Timur karena produktivitasnya menurun akibat cuaca ekstrem dan anjloknya harga akibat rendahnya daya beli masyarakat saat pandemi Covid-19.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI/DAHLIA IRAWATI
·5 menit baca
Anomali cuaca ekstrem membuat produktivitas budidaya bawang merah di luar musim menurun drastis. Kondisi itu diperparah dengan jatuhnya harga akibat penurunan daya beli masyarakat saat pandemi Covid-19. Pukulan ganda bagi kesejahteraan petani dan eksistensi budidaya bawang merah sebagai urat nadi perekonomian masyarakat.
Tumpukan bawang merah segar memenuhi deretan para-para bambu di Desa Kaliulo, Kecamatan Sukomoro, Nganjuk, Sabtu (5/6/2021). Pemandangan penjemuran bawang merah semakin banyak dijumpai sepanjang jalan dari Sukomoro menuju Kecamatan Gondang.
Di daerah lumbung bawang merah terbesar Jatim itu, sebagian petani memasuki masa panen untuk tanaman musim tanam off season (di luar masa tanam ideal). Namun, sebagian lagi baru menyiapkan lahan untuk musim tanam ideal. Masa panen raya diprediksi terjadi Agustus.
Petani yang juga Ketua Asosiasi Petani Bawang Merah Jatim, Akat, mengatakan, hasil panen kali ini kurang bagus. Terjadi penurunan produktivitas, baik secara kuantitas maupun kualitas, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
”Penurunan hasil panen saat ini berkisar 30-40 persen. Apabila sebelumnya panen bisa 8-10 ton per hektar, sekarang tinggal 6-8,5 ton per hektar,” ujar Akat saat ditemui di sela-sela menggarap ladangnya di Nganjuk, Sabtu.
Akat mengatakan, penurunan produktivitas bawang merah juga terjadi di Probolinggo, Malang, Kediri, dan Bojonegoro. Kerugian yang harus ditanggung petani bawang merah saat ini rata-rata Rp 7 juta per petak dengan luasan 1.500 meter persegi atau Rp 49 juta per ha. Nilai itu besar dan signifikan bagi kehidupan petani.
Nilai kerugian itu disebabkan penurunan produktivitas dan jatuhnya harga jual saat panen. Petani berharap saat panen raya Agustus nanti produktivitas lebih tinggi. Namun, harga jual diprediksi sulit naik karena stok bawang akan melimpah, sementara daya serap pasar tidak bertambah.
Petani yang juga Ketua Asosiasi Penangkar Benih Bawang Merah Nganjuk, Bambang Suparno, mengatakan, turunnya produktivitas bawang merah disebabkan anomali cuaca yang terjadi tahun ini. Hujan masih turun meski saat ini sudah memasuki musim kemarau.
”Hujan tersebut menyebabkan lahan tanam basah atau becek. Hal itu tidak baik bagi pertumbuhan tanaman bawang merah yang menyukai lahan kering dan memerlukan penyinaran matahari lebih dari 12 jam. Umbi bawang yang dihasilkan bentuknya kecil-kecil dan tidak gemuk atau bulat penuh,” kata Bambang.
Penurunan kualitas bawang merah tersebut berdampak pada harga jual. Di Pasar Sukomoro, yang merupakan pasar khusus bawang merah, bawang Nganjuk kualitas terbaik hanya dihargai Rp 15.000 - Rp 16.000 per kg. Harga tertinggi dikuasai bawang merah dari Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
”Bawang Bima buahnya merah merona dan umbinya besar-besar. Harga jualnya Rp 19.000 per kg, tertinggi di Pasar Sukomoro. Panen yang sama tahun lalu, harga bawang Nganjuk lebih tinggi, Rp 20.000 per kg,” ucap Lailiyah (38), pedagang di Pasar Sukomoro.
Sayangnya, Pasar Sukomoro masih dikelola secara tradisional sehingga belum ada mekanisme pencatatan transaksi, baik dari segi volume barang maupun nilainya secara real time. Pencatatan manual dilakukan para kuli angkut dan dilaporkan pada koordinator masing-masing. Ada tiga kelompok kuli angkut di pasar itu.
Pemilik UD Sumber Agung yang bergerak dibidang perdagangan bawang merah antarpulau, Nur Khozin, mengatakan, bawang merah Nganjuk kualitas biasa hanya dihargai Rp 8.000-Rp 10.000 per kg. Jatuhnya harga bawang merah tidak semata karena penurunan kualitas dan kuantitas produksi. Penyebab utamanya adalah daya serap pasar yang stagnan.
”Daya serap pasar itu sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang menurun karena ekonominya terimplikasi pandemi Covid-19. Ditambah lagi kegiatan seperti hajatan masih dibatasi,” ujar pedagang yang setiap hari mengirim 15 ton bawang merah ke Sumatera dan Kalimantan ini.
Selain memasok kebutuhan bumbu dapur untuk konsumsi rumah tangga, bawang merah juga diperlukan oleh usaha makanan olahan seperti warung makan, katering, restoran, hotel, hingga industri makanan olahan. Namun, semua sektor usaha itu belum pulih karena pandemi sehingga berdampak pada berkurangnya permintaan bawang merah.
Kepala Dinas Pertanian Provinsi Jatim Hadi Sulistyo memprediksi potensi produksi bawang merah sampai dengan Mei 135.121 ton atau 39,6 persen dari prognosis setahun yang sebesar 341.081 ton. Ketersediaan bawang merah di Jatim berpotensi surplus 239.969 ton.
”Bawang merah merupakan komoditas strategi bernilai ekonomi tinggi dan telah dimasukkan dalam kelompok pangan utama. Produksi bawang merah Jatim berkontribusi 25,17 persen terhadap produksi nasional,” kata Hadi Sulistyo, Senin (7/6/2021).
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jatim menunjukkan, produksi bawang merah 2020 sebesar 449.961 ton, naik dibandingkan tahun sebelumnya 407.877 ton. Kenaikan produksi itu salah satunya disebabkan bertambahnya luas hamparan panen dari 42.962 hektar (ha) menjadi 47.483 ha.
Produksi bawang merah Jatim terus menanjak sejak 2012 hingga 2020, kecuali pada 2018. Saat itu produksi bawang merah Jatim turun 16,54 persen dibandingkan 2017. Penyebabnya, terjadi cuaca ekstrem berupa hujan berkepanjangan, terutama pada triwulan I.
Mengacu pada buku Analisis Data Bawang Merah Provinsi Jatim 2019, luas panen terus meningkat selama delapan tahun terakhir atau sejak 2012. Kenaikan luas panen ini ditengarai terjadi sejak ditemukannya bibit bawang merah yang bagus ditanam pada masa off season dan menghasilkan harga tinggi.
Adapun lumbung bawang merah Jatim, tertinggi Nganjuk dengan kontribusi produksi 38 persen, Probolinggo kontribusi produksi 18 persen, Malang kontribusi produksi 11 persen, Sampang kontribusi produksi 7 persen), dan Pamekasan berkontribusi 4 persen. Selebihnya sekitar 22 persen terbagi, antara lain, di Kabupaten Bojonegoro, Kediri, Sumenep, dan Banyuwangi.