Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jatim menunjukkan produksi bawang merah 2020 mencapai 449.961 ton. Jumlah ini menyumbang 25,17 persen terhadap produksi nasional.
Oleh
DAHLIA IRAWATI DAN RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
NGANJUK, KOMPAS — Jawa Timur menjadi penyuplai bawang merah terbesar nasional. Namun, lumbung bawang merah ini masih rentan terhadap berbagai persoalan. Penanaman yang masih tradisional, ketidakkuasaan petani akan penetapan harga, hingga anomali cuaca menjadi tantangan besar.
Salah satu pertanian andalan Jawa Timur yang menguasai pasar nasional adalah bawang merah. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jatim menunjukkan produksi bawang merah 2020 mencapai 449.961 ton. Jumlah ini menyumbang sekitar 25,17 persen terhadap produksi nasional.
Produksi bawang merah Jatim terus menanjak sejak 2012 hingga 2020, kecuali pada 2018. Saat itu produksi bawang merah Jatim turun 16,54 persen dibandingkan 2017. Penyebabnya, terjadi cuaca ekstrem berupa hujan berkepanjangan, terutama pada triwulan pertama.
Nganjuk menjadi lumbung bawang merah Jatim terbesar dengan kontribusi produksi 38 persen, Probolinggo 18 persen, disusul Malang 11 persen. Selebihnya terbagi di sejumlah kabupaten di Jawa Timur.
Namun, produk pertanian yang besar itu masih dilakukan dengan sistem tradisional. Salah satu ciri sistem tradisional, yakni dikerjakan sendiri oleh petani tanpa dukungan support system memadai dan tidak ada jejaring kerja sama antarpetani yang bisa menguatkan posisi tawar. Ciri kedua, tidak adanya wadah pemasaran bersama seperti koperasi yang bisa membuka pasar secara lebih luas. Ketiga adalah belum digunakannya teknologi untuk membantu produksi.
Suki (54), petani bawang merah asal Desa Sumbersuko, Kecamatan Dringu, Kabupaten Probolinggo, bercerita bahwa selama ini petani menanggung semua beban sendirian. ”Petani di sawah musuhnya hama dan penyakit. Di pasar, petani berjuang agar bisa mendapatkan harga bagus. Seringnya, petani kalah dan merugi,” kata Suki, Sabtu (05/06/2021).
Menurut Suki, kelompok tani yang ada selama ini tidak berkuasa jika berhadapan dengan pedagang di pasar. ”Tidak bisa janjian menjual bawang merah dengan harga tertentu. Sebab, nanti kalau kita ngotot menahan bawang dengan harga tinggi, ternyata petani lain menjual dengan harga murah, bawang merah kita tidak laku,” kata Suki.
Ongkos bertanam yang tinggi juga membuat petani tergantung pada tengkulak yang berani memberi modal besar. Untuk satu hektar bawang merah, setidaknya petani harus menyiapkan uang Rp 75 juta per satu musim tanam. Biaya itu antara lain untuk membeli bibit (Rp 30 juta), pengolahan lahan (Rp 20 juta), dan sisanya untuk obat dan perawatan lahan seperti menyewa jaring (harga sewa jaring Rp 6 juta per dua musim tanam).
Saat menjual bawang merah ke pedagang, petani dibebani plasi atau potongan beban susut pada petani. Nilai plasi di Probolinggo sekitar 25-27 persen untuk setiap 2 kuintal bawang merah. Nilai plasi pun, terus bertambah dari hari ke hari. Saat ini, plasi bawang merah bisa mencapai 13,5 persen untuk 2 kuintal bawang merah.
”Tahun 2017, nilai plasi bahkan bisa mencapai 35 kg per 2 kuintal. Lalu petani mengadu ke dewan, dan akhirnya plasi bisa ditekan jadi 20 kg per 2 kuintal. Tapi kini, nilai plasi kembali naik jadi 25-27 kg per 2 kuintal,” kata Mahfud Hidayatullah (36), petani bawang merah lain asal Desa Sumbersuko, Probolinggo.
Petani juga tidak memiliki tempat penyimpanan memadai untuk bawang merah hasil panen. Akibatnya, petani tidak bisa menyimpan bawang cukup lama, sambil menunggu menjualnya saat harga naik.
Beberapa petani, menurut Mahfud, sudah berusaha menjual bawang melalui online atau melalu teman-teman jaringan. Hal ini dilakukan untuk menaikkan harga. Namun, daya serap jaringan pertemanan ini pun tidak bisa menampung seluruh produk petani.
Masih tradisionalnya pertanian bawang merah juga terlihat dari belum digunakannya teknologi dalam bertani. Anomali cuaca turut menjadi persoalan. Petani yang juga Ketua Asosiasi Petani Bawang Merah Jatim, Akat, mengatakan hasil panen kali ini kurang bagus. Terjadi penurunan produktivitas, secara kuantitas ataupun kualitas apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. ”Penurunan hasil panen saat ini mencapai 30-40 persen. Apabila sebelumnya panen bisa mencapai 8-10 ton per ha, sekarang tinggal 6-8,5 ton per ha,” ujar Akat, saat ditemui di sela menggarap ladangnya di Nganjuk, Sabtu.
Akat mengatakan, penurunan produktivitas bawang merah juga terjadi di Probolinggo, Malang, Kediri, dan Bojonegoro. Kerugian rata-rata yang harus ditanggung petani bawang merah saat ini mencapai Rp 7 juta per petak dengan luasan 1.500 meter persegi atau Rp 49 juta per ha. Nilai itu besar dan signifikan bagi kehidupan petani.
Membuka pasar luas
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo Mahbub Zunaidi mengakui selama ini petani tidak memiliki posisi tawar terhadap pedagang. Pihaknya berencana membuat koperasi agar petani bisa bersama-sama menentukan harga sendiri. Saat ini pemkab Probolinggo sudah memiliki pasar Bawangan. Pasar ini menjadi pusat jual-beli bawang merah baik untuk pedagang kecil maupun eksportir. Di sini, petani bisa mengikuti harga pasar.
Dinas Pertanian Jatim juga berupaya menciptakan stabilitas harga produk sayuran dengan memantau ketersediaan pasokan dan daya serap pasar melalui koordinasi lintas institusi. Kepala Dinas Pertanian Provinsi Jatim Hadi Sulistyo mengatakan, pengembangan usaha tani berbasis korporasi juga tengah digarap. Korporasi petani ini selain memberi jaminan pasar, berpotensi pula meningkatkan nilai tambah, daya saing, mengembangkan produk turunan. Selain itu meningkatkan kesejahteraan petani dengan menghadirkan pertanian yang maju, mandiri, dan modern.
Semua daya itu diharapkan mampu menjawab tantangan pengembangan bawang merah yang hingga saat ini masih terkendala fluktuasi harga, ketersediaan komoditas di pasar, tata niaga, iklim, dan tata cara tanam yang bercirikan spesifik agroekosistem tempat bawang merah diusahakan.