Suara Penuh Harap dari Bilik-bilik Hunian Sementara Palu
Penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Sulteng, yang masih tinggal di hunian sementara, menaruh asa pada pemerintah untuk mempercepat penyelesaian pembangunan hunian tetap.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
Masih banyak penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Sulawesi Tengah, belum menempati hunian tetap setelah 2,5 tahun bencana berlalu. Mereka menaruh asa agar pemerintah segera merealisasikan pembangunan tempat tinggal itu.
Ariyati (32) sudah dua kali menggendong putra bungsunya, Afrizal (5 bulan), untuk keluar menikmati udara segar dari dalam hunian sementara. Anaknya itu terus menangis karena gerah.
Padahal, tempat anaknya diayunkan itu adalah bagian tambahan dari hunian sementara yang dibangun oleh Taufik (38), suami Ariyati. Tempat tambahan itu digabung dengan kios. Kondisinya lebih terbuka daripada hunian sementara standar yang setiap biliknya hanya memiliki dua jendela.
Meskipun matahari tidak terlalu terik, Senin (31/5/2021), angin tak berembus seperti biasanya di kompleks hunian sementara Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan. Siang itu udara lebih tenang.
”Setiap kali angin tak banyak berembus, dia selalu menangis karena gerah. Kalau sudah tidur nyenyak, baru kami bisa aman untuk beraktivitas sedikit di hunian sementara,” tutur Ariyati sambil menggendong putranya.
Ariyati dan Taufik tinggal di hunian sementara sejak April 2019. Mereka penyintas gempa dan likuefaksi di Petobo, 28 September 2018. Bersama dua buah hati, mereka tinggal di hunian sementara sambil menunggu hunian tetap atau rumah rampung dibangun pemerintah.
Taufik memodifikasi hunian sementara dengan membangun kios di sampingnya. Kios tersebut berukuran 4 meter x 3 meter. Ia menjual rupa-rupa kebutuhan harian. Kios itu pulalah yang menopang kehidupan keluarganya dalam dua tahun terakhir.
Hunian sementara untuk penyintas dibangun berbentuk panggung. Lantai dan sekat antarkamarnya dari papan lapis. Hunian sementara tersebut tersebar di Petobo, Kelurahan Talise, Kelurahan Mamboro, Lere, dan Pantoloan.
Di hunian sementara, sejumlah fasilitas digunakan bersama, antara lain, dapur, kamar mandi, dan kamar kecil. Di awal-awal warga menempatinya, air bersih menjadi masalah utama. Saat ini, dengan sumur bor, persediaan air memadai.
Taufik tak menyangka keluarganya masih berada di hunian sementara hingga pertengahan 2021 ini. Ia masih ingat jelas pemerintah menjanjikan hunian tetap selesai dibangun pada akhir 2020 atau setidaknya awal 2021.
”Saya sabar saja, tetapi pemerintah juga perlu bekerja keras untuk memastikan cepat selesainya masalah hunian tetap, terutama soal lahan. Ini masalah sudah lama, masak tidak selesai juga,” katanya.
Dalam rencana rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana Sulteng, hunian tetap untuk penyintas yang direlokasi ditargetkan selesasi pada akhir 2020. Sejauh ini, untuk Palu, dari kebutuhan 6.000 hunian tetap, baru terbangun dan ditempati 2.000 unit. Itu tersebar di Kelurahan Tondo (Hunian Tetap Tondo I), Kelurahan Duyu, dan Kelurahan Balaroa.
Taufik mengaku memilih hunian tetap di Kelurahan Tondo (Hunian Tetap Tondo II), Kecamatan Mantikulore, sekitar 8 kilometer dari kompleks hunian sementara Petobo. Ia pun sudah mengikuti semua sosialisasi dan verifikasi untuk kepastian data.
Namun, asa Taufik untuk segera menempati hunian tetap tampaknya masih butuh waktu lama untuk terwujud. Lahan untuk pembangunan hunian tetap di Tondo bersama dengan lahan hunian tetap Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, masih belum bebas dari masalah klaim warga.
Warga Talise, Tondo, dan Talise Valangguni, mengklaim lahan yang sudah diratakan tersebut sebagai miliknya. Akibatnya, pengerjaan hunian tetap dihentikan sambil dicarikan solusi atas sengketa tersebut.
Di tengah penyintas banyak sekali informasi yang membingungkan.
Namun, Taufik masih menaruh banyak harapan pada pemerintah. Ia percaya pemerintah dan semua pihak bisa secepatnya mengurus masalah lahan hunian tetap. ”Kami percaya pemerintah. Saya hanya meminta pemerintah secara berkala berdialog dengan penyintas agar kami memahami betul perkembangan pembangunan hunian tetap,” ujarnya.
Dialog itu jadi penting, dia menambahkan, karena di tengah penyintas banyak sekali informasi yang membingungkan. Informasi tersebut, misalnya, tidak jelasnya perihal pembangunan hunian tetap, selesainya hunian tetap sampai pada 2022, atau bahkan 2023.
Kasiron (34), penyintas di kompleks hunian sementara Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, seperti Taufik, juga terus berharap agar pemerintah secepatnya membangun hunian tetap. Penyintas tsunami di pantai Talise itu memilih hunian tetap di Talise.
”Kami berdoa agar semua masalah terkait hunian tetap segera diselesaikan. Kami percaya pemerintah bisa mencarikan jalan keluar terbaik,” ujarnya yang juga membangun kios di kompleks hunian sementara.
Koordinator Badan Pelaksana Harian Lembaga Pengkajian dan Studi HAM Sulteng Ridwan Lapasere menyatakan, pemerintah hendaknya memprioritaskan penyediaan lahan hunian tetap penyintas. Penanganan bencana hal mendesak untuk segera diselesaikan.
Adapun penyediaan lahan untuk warga yang mengklaim tetap bisa diurus dengan tak mengganggu pengerjaan hunian tetap. ”Sampai kapan orang harus tinggal di hunian sementara? Kehidupan penyintas pascagempa itu isu kemanusiaan yang harus secepatnya ditangani pemerintah,” ujarnya.